Pemuda Korban Sistem Kapitalisme
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2023/02/pemuda-korban-sistem-kapitalisme.htmlPenulis: Zikra Asril
Bonus demografi yang Allah berikan untuk Indonesia menjadi sasaran empuk eksploitasi ideologi kapitalisme. Gempuran pemikiran, peraturan, dan gaya hidup telah membuat pemuda muslim makin jauh dari Islam. Semua ini mampu mencabut identitas Islam, eksploitasi ekonomi, sampai perubahan gaya hidup dan mental pemuda.
Hari ini, kita melihat pemuda muslim makin jauh dari identitas Islam. Potensi pemuda untuk membangun peradaban Islam telah dibajak menjadi sekadar tenaga kerja dan target pasar industri kapitalisme. Bahkan, pada era digitalisasi nasib pemuda makin memprihatinkan.
Oleh karena itu, nasib pemuda muslim harus menjadi perhatian umat Islam, baik bagi generasi muda maupun generasi tua. Pemuda muslim telah hilang kesadaran akalnya bahwa saat ini mereka hidup dalam keterjajahan. Diperlukan akal jernih dan kesadaran politik yang sempurna dari umat Islam untuk menyingkap bentuk penjajahan ini. Tidak hanya pada tataran teknis, melainkan harus paradigmatis.
Penjajahan Ideologi, Politik, dan Ekonomi
Pasca-Perang Dunia II Barat telah mengubah bentuk penjajahannya terhadap negeri-negeri Islam. Dari kekuatan militer dan perang, berubah menjadi nonfisik berupa intervensi politik dan ekonomi. Ibarat serigala berbulu domba, upaya mereka ini mampu mengecoh pemuda muslim. Mereka tidak sadar dengan kondisi mereka yang saat ini yang masih terjajah.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah akibat penerapan ideologi penjajah, yaitu kapitalisme. Negeri yang sudah Allah limpahi kekayaan SDA seharusnya bisa menyejahterakan rakyatnya. Namun, liberalisasi ekonomi dengan jalan investasi dan perdagangan bebas mengakibatkan SDA yang seharusnya untuk rakyat dikuasai negara maju penjajah. Akibatnya, negeri ini hanya mendapatkan remeh-remeh berupa pajak.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah bahaya akut penerapan Kapitalisme. Prinsip persaingan bebas hanya akan menjadikan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Michael Moore, seorang sutradara dan pengamat sosial politik Amerika, menggambarkan, “Kapitalisme telah menunjukkan hanya beberapa orang yang akan sukses dan berhasil. Sisanya akan melayani mereka yang sukses tersebut.”
Hasil survei oleh Deloitte, sebuah kelompok akuntan global terbesar di dunia yang berkantor di Amerika Serikat, dalam laporan mereka yang berjudul “The Deloitte Global 2022 Gen Z and Millennial”, mengatakan bahwa 72% generasi Z dan 77% generasi milenial peserta survei di seluruh dunia setuju ketimpangan ekonomi makin melebar. Artinya, secara global perbedaan jumlah uang yang dimiliki si kaya dan si miskin makin jauh selisihnya. Uang si kaya makin bertambah dan si miskin makin berkurang.
BPS juga merilis tingkat ketimpangan pengeluaran (belanja) penduduk Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini pada Maret 2020 adalah 0,381. Pada September 2020, rasio gini menjadi 0,385 atau naik 0,004 dari Maret 2020. Pada periode Maret 2021, angkanya kembali turun 0,001 menjadi 0,384. Angka ini tidak mengalami perubahan sampai Maret 2022. Artinya, setelah 77 tahun merdeka, penduduk Indonesia masih saja dalam kondisi ketimpangan dan gagal untuk membangun kesejahteraan yang merata.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi ini akhirnya berdampak pada sektor pendidikan yang juga tidak merata bagi seluruh pemuda. Kesenjangan terlihat pada akses pendidikan antara daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah di kawasan tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Ini terlihat juga dari Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMA/sederajat yang masih rendah. Untuk anak keluarga 20% termiskin, APK jenjang SMA sebesar 71,35, lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 20% terkaya dengan APK mencapai 92,96.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo juga mengakui kualitas pendidikan di Indonesia belum merata. Buktinya, mayoritas penduduk Indonesia atau sebesar 65%-nya hanya tamatan SMP/Sederajat. Tingkat kecerdasan anak Indonesia juga berada pada urutan 72 dari 78 negara. Hasto juga membeberkan data jika 54% angkatan kerja adalah mantan penderita stunting.
Bidang kesehatan juga mengalami ketimpangan. Menteri PMK Muhadjir Effendy mengakui masih ada ketidaksetaraan pelayanan kesehatan yang dialami masyarakat peserta JKN. Masalah itu berkaitan dengan sebaran fasilitas, infra/suprastruktur, dan tenaga kesehatan yang tidak merata.
Rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan akan berdampak terhadap rendahnya kualitas pemuda. Secara ekonomi, ini berpengaruh terhadap kualitas angkatan kerja pemuda. BPS melaporkan, hingga Februari 2022, jumlah angkatan kerja tercatat sebanyak 144,01 juta orang. Dari angkatan kerja ini, yang bekerja 135,61 juta orang dan pengangguran sebanyak 8,4 juta orang.
Dari jumlah bekerja ini, status pekerjaan utamanya terbanyak adalah buruh/karyawan/pegawai sebesar 36,72% dan disusul oleh yang berusaha sendiri sebesar 19,84%. Penduduk yang berusaha sendiri dan dibantu buruh tetap paling sedikit, yakni 3,31%. Data menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan pemuda saat ini adalah buruh dan pekerja informal dengan rata-rata upah buruh Rp2,8 juta per bulan.
Kemiskinan ini juga menjadikan anak-anak menjadi buruh dan pekerja. BPS mencatat sekitar 2,3 juta pekerja anak. Tentu saja hal ini akan mengantarkan perempuan dan anak-anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Pertanyaannya, jika postur ketenagakerjaan Indonesia seperti uraian di atas, apakah mungkin Indonesia Emas 2045 bisa terwujud? Apakah mungkin pemuda di negeri mayoritas muslim ini mampu menjadi pemimpin arus digitalisasi yang selalu dinarasikan pemerintah? Atau malah menjadi korban/budak digital?
Penjajahan Identitas dengan Nilai-Nilai Sekuler Liberal
Industri kapitalisme yang mengarahkan pada kehidupan konsumerisme dan hedonisme telah memalingkan pemuda muslim dari identitas Islam. Industri gaya hidup, hiburan, dan digital yang mengeksploitasi kesenangan, seperti film, konser musik, media sosial, fesyen, dan perayaan—seperti hari Valentine dan Halloween—telah membuat pemuda Islam tidak lagi berpikir mendalam dalam aktivitas kehidupannya.
Eksploitasi ini mengantarkan pada proses hegemoni akal dan pikiran. Keberadaan akal yang seharusnya digunakan untuk menemukan jalan keimanan dan mengukuhkannya, malah terkooptasi; memikirkan kesenangan kehidupan duniawi semata. Akibatnya, pemuda muslim makin lemah keimanannya kepada Allah Taala.
Tentu saja, lemahnya iman berakibat tidak mau terikat dengan aturan syariat. Mereka bahkan menganggap syariat adalah beban atau menghalangi kesenangan yang mereka inginkan. Mereka insecure dengan syariat dan identitas dirinya sebagai muslim.
Fenomena tidak butuhnya pemuda pada syariat juga berdampak terhadap kurangnya perhatian untuk mengkaji/menuntut ilmu agama. Kebebasan berekspresi yang diaruskan kapitalisme demokrasi juga berdampak pada makin jauhnya adab pemuda muslim dari kepribadian Islam.
Selain menjauhkan pemuda muslim dari identitas dan nilai Islam, Barat juga berupaya memadamkan kebangkitan pemuda muslim. Proyek Countering Violent Extremism (CVE) yang diaruskan Amerika secara global dan The UN Global Counter-Terrorism Strategy-nya PBB telah menjadikan pemuda Islam terkooptasi dengan narasi radikalisme dan terorisme yang dilekatkan pada Islam.
Lalu, arus moderasi beragama dijadikan alat untuk menangkal radikalisme yang disematkan Barat penjajah. Akibatnya, moderasi beragama malah berefek pada kerancuan berpikir pemuda muslim. Apa yang jelas-jelas terlarang dalam Islam, menjadi kabur di mata pemuda saat ini. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan baik dan buruk ataupun terpuji dan tercela karena standarnya tidak jelas. Dengan alasan menghargai pendapat dan label open-minded, pemuda muslim tidak memandang feminisme, sekularisme, maupun liberalisme sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam.
Penjajahan Mental, Keluarga, dan Sosial
Nilai materialistis dan lemahnya iman pada era digitalisasi telah mengakibatkan pemuda hari ini rentan dengan penyakit mental. Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Sandersan Onie mengungkapkan bahwa mental Gen Z saat ini memang lebih rentan depresi. Berbagai tantangan dan persaingan yang jauh lebih berat dianggap jadi penyebab utama mental Gen Z disebut lemah. Media sosial membuat mereka jadi sibuk membandingkan diri sendiri dengan persona sempurna yang diunggah di dunia maya.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan ada lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Untuk saat ini, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Kepala Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM Diana Setiyawati, Ph.D. mengatakan penelitian mendapati kondisi dalam sistem kesehatan mental yang tidak setara di Indonesia. Diana menjelaskan, faktor umum yang memperbesar risiko pengembangan gangguan jiwa di Indonesia, yakni kemiskinan, pendidikan kesehatan mental rendah, pola asuh di keluarga, kekerasan antarremaja dan perundungan.
Dalam hubungan keluarga, gaya hidup bebas juga menjadi penyebab keretakan orang tua dan anak. Seorang ibu di Palembang, misalnya, dilaporkan ke polisi oleh anak kandungnya yang masih SMP karena dilarang pacaran kelewat batas.
Budaya hedonisme dengan menciptakan kepuasan materi juga telah mengajarkan sikap konsumerisme dan materialisme sejak dini. Anak-anak dimanjakan dengan fasilitas oleh orang tua. Tidak ada permintaan anak yang tidak dikabulkan. Anak-anak yang tumbuh dalam suasana ini merasa bahwa pemberian materi adalah simbol kasih sayang. Materi adalah ukuran kasih sayang. Makin besar pemberian materi, makin besar penilaian terhadap kasih sayang.
Budaya hedonisme ini berpotensi menciptakan konflik antaranggota keluarga, termasuk anak dengan orang tua karena ketidakpuasan akan materi. Kondisi inilah yang terjadi belakangan; perebutan harta waris antarsaudara kandung ataupun anak menggugat warisan dari orang tua. Bahkan, sampai terjadi kekerasan dan pembunuhan.
Pada Januari 2021, seorang ibu bernama Hj. Daminah berusia 78 tahun, digugat tiga anak perempuan kandungnya soal warisan. Berkali-kali sang ibu menghadiri sidang di Pengadilan Negeri dengan menggunakan kursi roda karena sudah lanjut usia. Terbaru, kasus pembunuhan ayah-ibu dan kakak oleh anak laki-lakinya di Magelang. Tidak berlebihan jika hari ini kita bisa bahkan harus mengatakan Indonesia sedang mengalami krisis nilai-nilai keluarga.
Dalam kehidupan sosial, pemuda saat ini dihadapkan pada seks bebas, elge bete, miras, dan narkoba. Data dari survei Reckitt Benckiser Indonesia pada 2019 menyebutkan, 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. Kejahatan narkoba dan psikotropika di Indonesia menembus angka 15.455 kasus dalam semester pertama 2022. Bahkan, data Pusiknas Bareskrim Polri menunjukkan perkara narkoba menjadi kejahatan tertinggi kedua setelah pencurian dengan pemberatan atau curat. Total pengguna narkoba sampai tahun 2019 saja sudah mencapai 4,5 juta orang di seluruh Indonesia. Bahaya elge bete juga makin mengkhawatirkan. Diprediksi jumlah g4y saja mencapai 3% penduduk Indonesia. Data di atas memperlihatkan betapa mirisnya dehumanisasi pada pemuda saat ini.
Khatimah
Melihat potret menyedihkan pemuda hari ini, umat Islam harus bersegera menyelamatkan mereka agar tidak terus-menerus menjadi korban sistem kapitalisme. Aktivis dakwah Islam harus berupaya mengembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah.
Umat Islam harus bersatu membangun visi politik bersama dengan pemuda mewujudkan generasi khairu ummah. Umat harus mampu menggambarkan bahwa Islam itu sebuah tawaran dan solusi, bukan beban. Tentu agar pemuda bisa berubah menuju lebih baik, lebih kritis, dan tidak mudah terbawa arus penjajahan ideologi kapitalisme.
Rasulullah saw. telah membuktikan keberhasilan thariqah dakwah yang istikamah dan istimrar dalam membina para pemuda di tengah arus jahiliah kemusyrikan. Insyaallah, pada saatnya, nanti Allah akan menurunkan pertolongan-Nya kepada kita sebagaimana dahulu terpilih sejumlah pemuda terbaik untuk berdakwah bersama Rasulullah saw. hingga mampu mengantarkan pada kemenangan, yaitu tegaknya Negara Madinah. Allahu Akbar!
Sumber artikel: Media Al-Wa’ie 24-1-2023