TZd6YZLmRqLbTFG8YZR9Tqw4d6ezdJbeIrbuNrbcM6fedj==

Telaah Demokrasi Sistem Kufur

×
Telaah Demokrasi Sistem Kufur
Silahkan klik layar

Mengambil Upah dari Mendoakan Orang Lain, Bolehkah?

https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2023/02/mengambil-upah-dari-mendoakan-orang.html


Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

Tanya :

Afwan Ustaz, ada yang menanyakan bagaimana hukumnya jasa mendoakan orang lain? Ada yang membuat iklan seperti ini, ”Open jasa doa, harga Rp5.000 per doa, didoakan setiap setelah salat fardu, selama 24 jam.” Apakah ini sah atau tidak? (Firli, Yogyakarta).

Jawab:

Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai masalah akhdzul ujrah ‘alā a’māl al-qurab (al-‘ibādāt) (mengambil upah (ujrah) dari aktivitas-aktivitas ibadah), misalnya, mengajarkan Al-Qur’an, melaksanakan badal haji untuk orang yang sudah wafat, mengumandangkan azan, menjadi imam salat rawatib, termasuk berdoa untuk orang lain.

Ada 3 (tiga) pendapat sebagai berikut:

Pertama, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak memperbolehkan. (Fatḥul Qadīr, 7/179-180; Ḥāshiyah Ibnu ‘Ābidīn, 6/35-36; Sharah Muntahā al-Irādāt, 4/41-42; Kashshāful Qinā’, 9/90).

Kedua, Imam Malik membolehkan sebagian, tidak membolehkan sebagian. Imam Malik membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an, melaksanakan badal haji, dan mengumandangkan azan. Adapun menjadi imam salat rawatib, tidak boleh mengambil upahnya jika hanya menjadi imam, tetapi kalau digabungkan dengan mengumandangkan azan, boleh (Al-Sharah al-Saghīr, 1/94 & 2/275; Ḥāshiyah al-Dasūqiy, 4/16-17).

Ketiga, Imam Syafi’i juga membolehkan sebagian dan tidak membolehkan sebagian lainnya. Imam Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan menjadi badal haji. Adapun menjadi imam salat, jika salat wajib, tidak boleh mengambil upahnya. Sebagian ulama Syafi’iyyah membolehkan mengambil upah dari aktivitas menjadi imam salat tarawih dan mengumandangkan azan (Tuḥfatul Muḥtāj, 6/156-159; Nihāyatul Muḥtāj, 5/291-293; Al-Muhadzdzab, 1/87). (Lihat : Akhdzul Ujrah ‘Alā A’māl al-Qurab, https://www.alukah.net/sharia/0/92547/).

Pendapat yang rajih (kuat), menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, adalah pendapat yang memberikan rincian (tafṣīl) dengan melihat apakah aktivitas ibadah itu manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, ataukah dapat juga manfaatnya dinikmati oleh orang lain. Patokannya, jika manfaat aktivitas ibadah hanya berlaku bagi pelakunya saja, tidak boleh mengambil upah atas aktivitas tersebut, misalnya, melaksanakan haji atau membayar zakat untuk diri sendiri.

Adapun jika manfaat dari aktivitas ibadah berlaku untuk pelakunya dan juga untuk orang lain, boleh mengambil upah atas aktivitas tersebut, misalnya mengumandangkan azan, atau menjadi imam salat rawatib, atau melaksanakan badal haji untuk orang yang sudah wafat, atau membagikan zakat dari orang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādiy fī al-Islām, hlm. 94—95).

Berdasarkan patokan ini, mengambil upah untuk mendoakan orang lain, boleh hukumnya menurut syarak karena manfaat ibadah ini dapat dinikmati oleh orang lain yang didoakan. Kebolehan ini diperkuat dengan sejumlah hadis Nabi saw. yang membolehkan seseorang untuk minta didoakan oleh orang lain. (Imam Nawawi, Al-Adzkār al-Nawawiyyah, hlm. 643). Di antaranya:

Pertama, dari ‘Umar bin Khaththāb ra., Rasulullah saw. bersabda mengenai akan datangnya ‘Uways bin ‘Āmir (al-Qarniy) ke kota Madinah. ‘Umar bin Khaththāb ra. berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ

Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Nanti akan datang seseorang bernama ‘Uways bin ‘Āmir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad, kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali seukuran satu koin dirham. Dia punya seorang ibu dan dia sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah kepada Allah, maka Allah akan memperkenankan apa yang ia pinta. Jika kamu dapat meminta dia untuk memohonkan ampunan Allah untukmu, maka lakukanlah itu!” Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uways mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah. Umar pun bertanya pada Uways, “Engkau hendak ke mana?” Uways menjawab, “Ke Kufah.” Umar pun mengatakan pada Uways, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?” Uways menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).” (HR Muslim No.2542)

Kedua, hadis dari ‘Athā’ bin Abi Rabāh sebagai berikut,

عَن عَطَاءُ بْنُ أَبِى رَبَاحٍ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى . قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ إِنِّى أُصْرَعُ ، وَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِى . قَالَ « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ » . فَقَالَتْ أَصْبِرُ . فَقَالَتْ إِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا

Dari ‘Athā’ bin Abi Rabāh, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbās ra. berkata padanya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita yang termasuk penduduk surga?” ‘Atha’ menjawab, “Ya, mau.” Ibnu ‘Abbās ra. berkata, “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi saw., lantas ia pun berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering tersingkap [ketika aku kambuh], maka berdo’alah pada Allah untukku.” Nabi saw. bersabda, “Jika kamu mau sabar, bagimu surga. Jika kamu mau, aku akan berdoa pada Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun berkata, “Aku memilih bersabar.” Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa tersingkap (ketika ayanku kambuh). Berdoalah pada Allah supaya auratku tidak tersingkap.” Nabi saw. pun berdoa pada Allah untuk wanita tersebut (HR Bukhari No. 5652 dan Muslim No. 2576).

Hadis-hadis di atas menunjukkan bolehnya seseorang untuk minta didoakan oleh orang lain, khususnya orang yang mempunyai keutamaan (min ahli al-fadhl), seperti ulama. (Imam Nawawi, Al-Adzkār al-Nawawiyyah, hlm. 643).

Perbuatan tersebut boleh saja dilakukan tanpa upah dan boleh pula dengan upah, karena tidak terdapat larangan syarak (al-māni’) yang melarang melakukan perbuatan tersebut (mendoakan orang lain) dengan upah.

Kesimpulannya, boleh hukumnya seseorang mengambil upah dari mendoakan orang lain. Wallahualam.

Sumber : fissilmi-kaffah.com

576923221414935698
#Tsaqofah    #Dakwah     #Syariah    #Tafsir    #Hadits    #Khilafah     #TanyaJawab    #Analisis

#Ekonomi    #Nafsiyyah    #Muslimah    #KitabMutabannat    #Video    #PowerPoint     #Ramadhan 

20210121-204514-0000-picsay
20210121-204514-0000-picsay
Tonton Penyebab Runtuhnya Khilafah
Mengambil Upah dari Mendoakan Orang Lain, Bolehkah?

Form Bantuan Whatsapp

Assalamualaikum! Ada yang bisa dibantu?
×

Relasi

Chat Kami disini
Home
0
Notif
Darkmode
Total Harga ( Produk)

:

:

Ongkos kirim akan muncul setelah ongkir dipilih

Biaya ongkir: dg berat ()
Total Pembayaran:

Mulai dari jalan, RT/RW, Kec, Kab, Prov dan Kode POS

Tulis catatan disini untuk keterangan lainnya

KIRIM