TZd6YZLmRqLbTFG8YZR9Tqw4d6ezdJbeIrbuNrbcM6fedj==

Telaah Demokrasi Sistem Kufur

×
Telaah Demokrasi Sistem Kufur
Silahkan klik layar

Betulkah Fardu Kifayah Bisa Berubah Menjadi Fardu Ain?

https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2023/02/betulkah-fardu-kifayah-bisa-berubah.html


Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman

Bagaimana kedudukan fardu kifayah dalam Islam? Apa bedanya dengan fardu ain? Apakah fardu kifayah bisa dianggap gugur begitu ada yang menunaikan atau belum gugur sampai selesai dengan sempurna? Jika tidak tertunaikan, apakah fardu kifayah bisa berubah menjadi fardu ain?

Jawab:

Perbedaan fardu kifayah dan fardu ain telah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut,

فَرْضُ الْكِفَايَةِ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهِ مَنْ يَكْفِيْ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَفَرْضُ الْعَيْنِ هُوَ مَا أَوْجَبَهُ اللهُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ، وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُ بِفِعْلٍ غَيْرِهِ لَهُ

“Fardu kifayah itu adalah fardu yang dilakukan oleh sejumlah orang yang mencukupi, maka ia telah gugur dari yang lain. Sedangkan fardu ain itu adalah apa yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap orang, dan tidak gugur darinya, meski dikerjakan oleh yang lain.”1

Al-Isnawi (w. 773 H), dalam Nihayatu as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul, menyatakan,

اَلْوُجُوْبُ إِنْ تَنَاوَلَ كُلَّ وَاحِدٍ، كَالصَّلَوَات الخَمْسِ، أَوْ وَاحِدٍ مُعَيَّنٍ، كَالتَّهَجُّدِ فَيُسَمَّى فَرْضَ عَيْنٍ، أَوْ غَيرٍ مُعَيَّنٍ كَالْجِهَادِ، وَيُسَمَّى فَرْضًا عَلَى الْكِفَايَةِ . فَإِنْ ظَنَّ كُلُّ طَائِفَةٍ إِنَّ غَيْرهَ فَعَلَ، سَقَط عَنِ الْكُلِّ. وَإِنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْ، وَجَبَ.

“Kewajiban itu, jika meliputi semua orang, seperti salat lima waktu, atau satu orang tertentu (Nabi Muhammad saw.), seperti salat tahajud, disebut fardu ain; atau tidak untuk orang tertentu [tetapi umum], seperti jihad, disebut fardu kifayah. Jika setiap kelompok menduga kuat bahwa yang lain telah menunaikan, maka kewajiban itu telah gugur atas semuanya. Namun, jika setiap kelompok menduga kuat bahwa yang lain belum menunaikannya maka mereka wajib (menunaikannya).”2

Al-Isnawi memberikan catatan bahwa gugurnya kewajiban tersebut dari semua orang bergantung pada pelaksanaan tanggung jawab tersebut oleh mereka. Artinya, kewajiban tersebut baru gugur jika maksud (pelaksanaan kewajiban) tersebut sudah terwujud.

Imam az-Zarkasyi (w. 794 H), dalam kitabnya, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, menyatakan,

فَرْضُ الْكِفَايَةِ لاَ يُبَايِنُ فَرْضَ الْعَينِ بِالْجِنْسِ خِلاَفًا لِلْمُعْتَزِلَةِ، بَلْ يُبَايِنُهُ بِالنَّوْعِ، لأنَّ كُلاًّ مِنْهُمَا لا بُدَّ مِنْ وُقُوْعِهِ، غَيْرَ أنَّ اْلأوَّلَ شَمُلَ جَمِيْعَ الْمُكَلَّفِيْنَ، وَالثَّاني كَذَلِكَ، بِدَلِيْلِ تَأْثِيْمِ الْجَمِيْعِ عَنِ التَّرْكِ، لَكِنَّه يَسْقُطُ بِفِعْلِ الْبَعْضِ، لأنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنْهُ تَحْصِيْلُ الْمَصْلَحَةِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةِ.

“Fardu kifayah itu tidak berbeda dengan fardu ain dari segi jenis. Ini berbeda dengan (pemahaman) Muktazilah. Namun, keduanya berbeda karena bentuk. Masing-masing (fardu ain dan fardu kifayah) harus ditunaikan. Yang pertama (fardu ain) meliputi semua orang mukalaf (balig dan berakal). Demikian pula yang kedua (fardu kifayah). Buktinya, semuanya berdosa jika meninggalkan. Namun, fardu kifayah gugur saat telah dikerjakan oleh sebagian orang. Ini karena yang menjadi targetnya adalah kemaslahatan (pelaksanaan hukum) terwujud secara umum.”3

Oleh karena itu, jumhur ulama berpendapat, fardu kifayah ini wajib bagi semua orang. Imam Abu Bakar as-Shairafi, Abu Ishaq, Al-Qadhi, dan Al-Ghazali, semuanya berpendapat,

اَلْجُمْلَةِ مُخَاطَبَةٌ، فَإِذَا وَقَعَتْ الْكِفَايَةُ سَقَطَ اْلحَرَجُ، وَمَتَى لَمْ تَقَعْ الْكِفَايَةُ فَالْكُلُّ آثِمُوْنَ. وَاخْتَارَهُ اِبْنُ الْحَاجِبْ، وَنَقَلَهُ اْلآمِدِيْ عَنْ أَصْحَابِنَا، وَأَنَّهُ لاَ فَرْقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْوَاجِبِ مِنْ جِهَةِ الْوُجُوْبِ، إِلاَّ أَنَّهُمَا افْتَرَقَا فِي السُّقُوْطِ بِفِعْلِ الْبَعْضِ

“Secara keseluruhan terkena seruan (khithab hukum). Jika fardu kifayah itu terlaksana, dosa tersebut telah gugur. Jika fardu kifayah itu belum terlaksana, semuanya berdosa. Ibn Hajib memilih pendapat ini. Ini dinukil oleh al-Amidi dari Ashhab kami (mazhab as-Syafii), bahwa tidak ada bedanya antara fardu kifayah dengan kewajiban lain dari aspek kewajibannya. Bedanya hanya terletak pada gugurnya kewajiban tersebut dengan ditunaikan oleh sebagian.”4

Oleh karena itu, jika fardu kifayah ini ditinggalkan oleh semua orang, semuanya berdosa. Jika fardu tersebut harus ditunaikan, sedangkan tidak ada orang yang menunaikannya, kecuali orang itu, maka kewajiban tersebut tidak bisa diwakilkan, atau dialihkan kepada orang lain. Dalam konteks ini, fardu kifayah tersebut berubah menjadi fardu ain bagi orang tersebut. Misal, ketika seseorang ditunjuk oleh Khalifah untuk mengurus jenazah, maka fardu kifayah mengurus jenazah tersebut berubah menjadi fardu ain bagi orang tersebut.5

Ini juga berlaku ketika seseorang melihat terjadi kecelakaan di depannya, sedangkan tidak ada orang lain, kecuali ia. Dalam keadaan demikian, menolong orang kecelakaan yang hukumnya fardu kifayah itu, karena tidak ada orang lain di TKP, kecuali ia, maka hukumnya berubah menjadi fardu ain bagi dirinya.

Jika terjadi benturan di antara dua kewajiban, misalnya, harus menolong orang kecelakaan dan menunaikan salat fardu, yang hukumnya fardu ain, mana yang harus didahulukan? Jawabannya, fardu kifayah tersebut harus didahulukan. Pasalnya, dengan menunaikan fardu kifayah, menolong orang kecelakaan tersebut, ia telah menunaikan dua kewajiban sekaligus, yaitu fardu kifayah dan fardu ain. Setelah itu baru menunaikan kewajiban salat fardu yang hukumnya fardu ain bagi dirinya.

Berbeda halnya jika di sana ada orang lain yang bisa menolongnya, dan cukup untuk menunaikan kewajiban tersebut, boleh ia tunaikan salat terlebih dahulu, baru kemudian menolong orang tersebut.6

Menurut Imam Az-Zarkasyi, fardu kifayah harus ditunaikan segera, tidak boleh ditangguh-tangguhkan. Ini adalah pendapat yang masyhur.7 Ini berdasarkan firman Allah,

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian. (QS At-Taghabun [64]: 16).

“Ittaqu-Llah Mastatha’tum” bukan berarti ngasal (minimalis). Akan tetapi, maknanya adalah “aqsha al-istitha’ah” (dengan kemampuan maksimal). Misalnya, kita mempunyai kemampuan 10, maka wajib diberikan 10. Tidak boleh memberikan kemampuan hanya 5. Ini namanya “aqsha al-istitha’ah”.

Selain itu, juga berkonotasi, “aqsha as-sur’ah” (secepatnya). Tidak boleh ditunda-tunda. Apalagi jika kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang sangat penting, seperti jihad dan mengurus jenazah,8 termasuk menegakkan Khilafah.

Secara umum, para ulama ushul sepakat tentang fardu kifayah ini. Hanya saja, penjelasan Imam asy-Syathibi (w. 790 H), mengenai siapa yang wajib menunaikan kewajiban ini, menarik untuk dikemukakan. Beliau membagi dua kategori,

فَبَعْضُهُمْ قَادِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لهَاَ. وَالْبَاقُوْنَ – إِنْ لمَ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا – قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْن.

“Sebagian di antara mereka mampu menunaikan fardu kifayah secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan untuk mengerjakannya. Sedangkan yang lain, jika mereka tidak mampu menunaikannya, mereka sebenarnya mampu untuk mewujudkan orang yang mampu (menunaikan kewajiban secara langsung).”9

Jadi, jelas, semuanya terkena kewajiban, baik yang mampu maupun tidak. Bagi yang mampu, wajib mengerjakannya secara langsung. Adapun bagi yang tidak mampu, wajib mengusahakan orang yang mampu menunaikan kewajiban tersebut secara langsung. Beliau kemudian melanjutkan,

فَمَنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَرَ، وَهُوَ إِقَامَة ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا. فَالْقَادِرُ إِذَنْ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ. إِذْ لاَ يَتَوَصَّلُ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاَّ بِالإقَامَةِ، مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِه

“Jadi, siapa saja yang mampu mewujudkan kekuasaan (untuk menerapkan Islam), maka dia dituntut untuk menegakkannya. Siapa saja yang tidak mampu, maka dia dituntut untuk mengerjakan yang lain, yaitu mewujudkan orang yang mampu [menunaikannya], dan memaksa orang itu untuk mengerjakannya. Karena itu orang yang mampu diperintahkan untuk menegakkan fardu tersebut secara langsung, sementara yang tidak mampu diperintahkan untuk menghadirkan orang yang mampu tadi. Pasalnya, orang yang mampu tadi tidak akan bisa melaksanakan tugasnya, kecuali dengan diadakan. Ini bagian dari bab, ‘Tidak sempurna kewajiban, kecuali dengan adanya sesuatu.’”10

Sebagai ilustrasi sederhana, jika ada anak-anak terkunci di kamar mandi, kemudian minta tolong, maka hukum menolongnya adalah fardu kifayah. Jika ada di rumah itu orang yang mampu membuka pintu kamar mandi tersebut, maka ia wajib membukanya. Misalnya dengan kunci, atau alat yang dibutuhkan.

Jika ia tidak mampu, maka ia bisa memanggil orang lain, yang mampu untuk membukanya. Jika tidak, kemudian anak tersebut dibiarkan lemas sampai meninggal di kamar mandi, maka ia berdosa. Pasalnya, ia tidak mampu, tetapi diam tidak mencari orang yang mampu melakukan kewajiban tersebut.

Begitulah tabiat dalam melaksanakan fardu kifayah. Dalam konteks kewajiban menegakkan Khilafah juga demikian. Bagi ulama yang mempunyai kemampuan untuk menunaikan secara langsung, ia wajib untuk menunaikannya. Dengan cara menyiapkan rancangannya (sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, politik dalam dan luar negerinya) sekaligus metode mewujudkannya.

Karena kewajiban ini luar biasa besarnya, maka tidak mungkin diwujudkan sendiri. Oleh karena itu, harus ada jemaah yang mewujudkannya. Jemaah ini harus dibentuk. Karena jamaah ini membutuhkan SDM, maka SDM-nya pun harus dipersiapkan. Untuk mewujudkan SDM yang dibutuhkan, dibutuhkan tsaqafah tertentu, maka SDM ini harus dipersiapkan dengan matang sesuai dengan tuntutan kewajiban tersebut. Begitu seterusnya.

Semuanya ini dalam rangka menyiapkan dua subjek, pelaksana fardu kifayah di atas. Tanpa kedua-duanya, tidak mungkin bisa diwujudkan. Wallahualam.

Catatan kaki:

1 Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1416 H/1996 M, hal. 312.

2 Al-Imam Jamaluddin ‘Abdurrahim bin Al-Hasan al-Isnami, Nihayatu as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 1420 H/1999 M, Juz I/99.

3 Al-Imam az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/242.

4 Al-Imam az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/243.

5 Al-Imam az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/251.

6 Al-Imam az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/251.

7 Al-Imam az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/251.

8 Ini pendapat Imam Ar-Rafi’i, Imam An-Nawawi, al-Qadhi Al-Barizi. Bahkan, Al-Ghazali, dalam Al-Wasith, itu merupakan pendapat Ashhab. Lihat, Al-Imam az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/250.

9 Al-Imam as-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tt, Juz I/128.

10 Al-Imam as-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tt, Juz I/128-129.

576923221414935698
#Tsaqofah    #Dakwah     #Syariah    #Tafsir    #Hadits    #Khilafah     #TanyaJawab    #Analisis

#Ekonomi    #Nafsiyyah    #Muslimah    #KitabMutabannat    #Video    #PowerPoint     #Ramadhan 

20210121-204514-0000-picsay
20210121-204514-0000-picsay
Tonton Penyebab Runtuhnya Khilafah
Betulkah Fardu Kifayah Bisa Berubah Menjadi Fardu Ain?

Form Bantuan Whatsapp

Assalamualaikum! Ada yang bisa dibantu?
×

Relasi

Chat Kami disini
Home
0
Notif
Darkmode
Total Harga ( Produk)

:

:

Ongkos kirim akan muncul setelah ongkir dipilih

Biaya ongkir: dg berat ()
Total Pembayaran:

Mulai dari jalan, RT/RW, Kec, Kab, Prov dan Kode POS

Tulis catatan disini untuk keterangan lainnya

KIRIM