Memahami Bala, Musibah, dan Azab
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2022/12/memahami-bala-musibah-dan-azab.htmlPertanyaan:
Akhir-akhir ini dalam waktu yang cukup berdekatan banyak terjadi bencana alam dan kecelakaan yang merenggut korban yang jumlahnya tidak sedikit. Sebagian orang kemudian menghubung-hubungkan kejadian tersebut dengan perilaku penduduk negeri ini. Mereka berpendapat bahwa penduduk negeri ini sudah terlalu banyak berdosa sehingga diberi siksa oleh Allah. Benarkah demikian?
Jawaban:
Definisi
Bala
Secara literal, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hal. 65). Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan bahwa bala itu memiliki tiga bentuk: ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85).
Di dalam Al-Qur’an, kata ‘bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda; (QS al-Baqarah [2]: 49; QS. al-A’râf [7]: 141; QS. al-Anfâl [8]: 17; QS Ibrahim [14]: 6; QSash-Shafât [37]: 106; QS ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan).
Bala dalam konteks ujian yang buruk, misalnya, terdapat di dalam firman Allah Swt. berikut ini,
“Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.”(QS al-Baqarah [2]: 49)
Ayat ini bercerita tentang diselamatkannya Bani Israil dari penyembelihan dan kekejaman Firaun. Menurut Ali ash-Shabuni, bala dalam ayat ini adalah al-mihnah wa al-ikhtibâr (ujian dan cobaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil; yakni penyembelihan anak laki-laki (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 1, hal. 57).
Adapun bala dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah Swt.. berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Anfâl [8]: 17)
Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata ‘bala’ pada ayat di atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berwujud, pertolongan Allah (al-nashr), al-ganimah (harta rampasan perang), dan al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal. 97).
Musibah
Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535).
Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah Swt.. memerintahkan kaum muslim untuk meyakini bahwa semua musibah itu datang dari Allah Swt.., dan atas izin-Nya. Allah Swt.. berfirman,
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Taghâbun [64]: 11).
Azab
Secara literal, azab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah Swt. berfirman,
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS al-Baqarah [2]: 7)
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (QS al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun demikian, kata azab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia. Allah Swt. berfirman,
“Tak ada suatu negeri pun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab lauhulmahfuz.” (QS al-Isrâ’ [17]: 58)
Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiat kepada perintah Allah Swt.., mendustakan Rasul-rasul-Nya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Di ayat yang lain, Allah Swt.. berfirman,
“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (QS al-Fath [48]: 25)
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengazab orang-orang kafir dengan azab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48). Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah Swt. yang lain, yakni,
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka.” (QS al-Hasyr [59]: 3)
Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan bahwa jikalau Allah Swt.. tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, niscaya mereka akan diazab dengan pembunuhan (al-qatl). Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa azab tidak hanya berasal dari Allah Swt., tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Penyebab Datangnya Azab Allah
Pada dasarnya, penyebab datangnya azab Allah Swt. adalah kezaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Allah Swt. telah menyatakan hal ini di beberapa ayat; diantaranya adalah firman Allah Swt.,
“Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman.” (QS al-Qashash [28]: 59)
“Maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (QS al-Ahqâf [46]: 35)
“Kami telah membinasakan mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (QS ad-Dukhân [44]: 37)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa azab Allah hanya akan dijatuhkan kepada penduduk negeri yang melakukan kezaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Dengan kata lain, azab Allah hanya akan dijatuhkan tatkala peringatan-peringatan Allah Swt. melalui lisan Rasul-Nya telah diabaikan dan didustakan.
Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa azab Allah bisa saja mengenai orang-orang mukmin tatkala mereka enggan mencegah kemungkaran, padahal mereka mampu melakukannya. Dari Adi bin Umairah dituturkan, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengazab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” (HR Imam Ahmad)
Sedangkan azab manusia, baik berupa pembunuhan, teror, pengusiran, dan lain sebagainya semata-mata tergantung dari kehendak manusia itu sendiri. Contohnya, Firaun pernah mengumumkan hukuman bunuh bagi bayi yang lahir laki-laki. Rasulullah saw. menghukum Bani Quraidzah dengan pembunuhan atas pengkhianatan mereka. Nabi saw. juga pernah mengusir Bani Nadzir dari kota Madinah, sebagai hukuman atas makar yang mereka lakukan.
Jenis-Jenis Azab Allah
Azab Allah Swt. ada dua jenis. Pertama, azab yang ditimpakan kepada penduduk suatu negeri yang berakibat musnahnya penduduk kota tersebut (isti’shâl). Kedua, azab yang sangat keras, tetapi tidak sampai memusnahkan penduduk negeri tersebut.
Azab jenis pertama dijatuhkan Allah Swt. kepada umat terdahulu, seperti kaumnya Nabi Nuh, kaum Tsamud, dan lain sebagainya. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah Swt. akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt.. Sebab, jika tanda-tanda kebesaran Allah Swt. telah ditunjukkan kepada suatu kaum, tetapi kaum tersebut tetap saja ingkar dan mendustakan Allah dan Rasul-Nya, Allah Swt. pasti akan memusnahkan kaum tersebut. Allah Swt. berfirman,
“Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (lauhulmahfuz). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami, melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS al-Isrâ’ [17]: 58-59)
Allah Swt. telah menetapkan bahwa orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaan-Nya akan dimusnahkan Allah Swt.. Tanda kebesaran Allah ini pernah diberikan kepada rasul-rasul terdahulu; misalnya, unta betinanya Nabi Shaleh bagi kaum Tsamud. Sayangnya, kaum Tsamud mengingkari tanda kebesaran Allah ini. Akhirnya kaum Tsamud dimusnahkan dari muka bumi.
Mayoritas ahli tafsir menyatakan, bahwa ayat ini berhubungan dengan permintaan orang-orang Quraisy kepada Nabi saw. agar beliau saw. menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai bukti kebenaran kenabian dan risalahnya. Akan tetapi, Allah Swt. memberitahu Nabi saw., bahwa jika Allah mengabulkan permintaan mereka, tetapi mereka tetap saja ingkar dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah tersebut, niscaya mereka akan dimusnahkan, sebagaimana kaum-kaum terdahulu (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165). Oleh karena itu, Allah Swt. tidak mengiyakan permintaan kaum Quraisy tersebut, dikarenakan Ia tidak ingin memusnahkan kaum Quraisy.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa azab isti’shâl (pemusnahan) tidak akan menimpa umat Muhammad saw.. Namun, umat Muhammad saw. tidak luput dari azab yang keras, jika mereka melakukan kezaliman, kefasikan, dan kekufuran.
Azab Akibat Pembesar-Pembesar Fasik Dan Zalim
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiatan, kedurhakaan, dan kezaliman, niscaya Allah akan mengirimkan azab kepada penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas,
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah Swt.), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al-isrâ’ [17]: 16). Ibnu Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan,
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiat di dalamnya, maka Allah Swt. akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan azab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371).
Di ayat lain, Allah Swt. telah mendiskripsikan kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia. Allah Swt. berfirman,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS ar-Rûm [30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik al-jadb), kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan, akibat kemaksiatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 2, hal. 106).
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).
Kezaliman penguasa dan keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya azab dari Allah Swt.. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah Swt. merupakan kunci bagi perbaikan bumi dan seisinya.
Khatimah
Seorang mukmin harus meyakini bahwa seluruh musibah yang menimpa dirinya berasal dari Allah Swt.. Sebab, tidak ada satupun musibah yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas kehendak dan izin Allah Swt.. Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia.
Sesungguhnya, musibah maupun azab yang ditimpakan Allah Swt. kepada manusia ditujukan agar mereka kembali mentauhidkan Allah Swt., dan menjalankan seluruh syariat-Nya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sayangnya, banyak orang memandang musibah sebagai peristiwa dan fenomena alam biasa, bukan sebagai peringatan dan pelajaran dari Allah Swt.. Akibatnya, mereka tetap tidak mau berbenah dan memperbaiki diri.
Mereka tetap melakukan kemaksiatan dan menyia-nyiakan syariat Allah Swt.. Mereka lebih percaya kepada kekuatan ilmu dan teknologi buatan manusia untuk menangkal bencana dan musibah, daripada kekuatan dan kekuasaan Allah Swt.. Adanya musibah tidak justru menjadikan mereka rendah diri dan bersandar kepada Allah, tetapi justru menyeret mereka untuk semakin ingkar kepada Allah Swt..
Benar, salah satu bentuk pembenahan diri adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menangkal bencana dan musibah dengan berbagai sarana dan prasarana; misalnya merancang master planning yang komprehensif, membangun sistem drainase yang baik, mendirikan tembok dan bendungan beton yang kokoh, dan lain sebagainya.
Namun, pembenahan harusnya tidak hanya berhenti pada aspek-aspek fisik seperti ini, tetapi harus mencakup pula pembenahan spritual yang mampu mengantarkan kepada ketakwaan yang hakiki; yakni mentauhidkan Allah Swt.. dan menjalankan seluruh syariat-Nya. Sebab, penyebab utama datangnya ‘adzab adalah kemaksiyatan, bukan semata-mata karena lemah maupun kurangnya sarana dan prasarana fisik. Wallahualam bissawab.