TZd6YZLmRqLbTFG8YZR9Tqw4d6ezdJbeIrbuNrbcM6fedj==

Telaah Demokrasi Sistem Kufur

×
Telaah Demokrasi Sistem Kufur
Silahkan klik layar

Fitnah Kehidupan

https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2022/11/fitnah-kehidupan.html


Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman

Hari ini, saya ditakdirkan Allah Swt. berjumpa dengan orang-orang hebat dan luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang memberi inspirasi dalam perubahan. Namun, mereka tetap manusia biasa dengan segala masalah yang dihadapinya, begitu juga saya.

Jangankan kita yang tidak maksum, Nabi saw. yang maksum juga tetap saja menghadapi masalah. Bahkan, masalah yang lebih berat daripada kita. Itulah “fitnah” kehidupan. Selama kita hidup, selama itu juga kita tidak boleh menghindari “fitnah”.

Allah Swt. pun memberikan penegasan dalam firman-Nya,

وَنَبْلُوَكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

“Dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (ujian).” (QS al-Anbiya’: 35)

Ayat ini menegaskan, bahwa “fitnah” (ujian dan cobaan) yang dihadapi manusia dalam hidupnya dapat berupa keburukan (syarr) sekaligus kebaikan (khair).

Ketika Allah menguji kita dengan sakit, kesusahan, kekurangan, belum dikaruniai keturunan, belum mendapatkan jodoh, dan lain-lain yang kita anggap buruk (syarr), walaupun sesungguhnya kita tidak pernah tahu apa yang ada di belakang semuanya itu, tetapi pastinya, Allah Swt. hendak menguji kita, sejauh mana kesabaran, keyakinan, dan harapan kita kepada-Nya. Semuanya merupakan fitnah bagi kita.

Begitu juga ketika Allah menguji kita dengan sehat, kemudahan, rezeki yang berlebih, mempunyai keturunan, pasangan hidup, keluarga, dan lain-lain yang kita anggap baik (khair), boleh jadi ujian ini jauh lebih berat dibandingkan keburukan yang menimpa kita, namun kita selalu tidak merasa bahwa ini semua adalah fitnah.

Padahal, keduanya, baik fitnah yang kita anggap buruk (syarr), maupun fitnah yang kita anggap baik (khair), dua-duanya merupakan keputusan Allah Taala.

Oleh karena itu, ramai di antara kita yang boleh jadi bersabar ketika mendapat ujian keburukan, sebaliknya justru tersungkur ketika mendapat ujian kebaikan.

Sebagaimana yang dilukiskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an,

أَلاَ فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوْا وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيْطَةٌ بِالْكَافِرِيْنَ

“Ingat, mereka telah tersungkur di dalam fitnah. Dan, sesungguhnya neraka Jahanam itu mengepung orang-orang Kafir.” (QS at-Taubah: 49)

Kesimpulannya, kita tidak boleh menghindari fitnah, baik yang kita anggap baik maupun buruk. Sebab, semuanya itu memang senantiasa ada dalam kehidupan kita. Apa yang kita boleh dan seharusnya kita hindari adalah fitnah yang menyesatkan (mudhillati al-fitan), sehingga kita terperosok atau tersungkur.

Karena itu, Sayidina ‘Ali –Karrama-Llahu wajhah—mengajarkan doa kepada kita,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُضِلاَّتِ الْفِتَنِ

“Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.”

Ya, fitnah yang menyesatkan (mudhillati al-fitan) itulah fitnah yang membuatkan kita terperosok atau tersungkur. Fitnah yang menyebabkan kita terperosok dan tersungkur itu boleh jadi bukan keburukan, tetapi sebaliknya, kebaikan.

Lalu, apa yang membuat kita terperosok atau tersungkur dalam lubang fitnah kehidupan? Jawabannya adalah hawa nafsu.

Ketika kita dikendalikan oleh hawa nafsu, akal dan kesadaran kita kalah. Ibn al-Jauzi dalam kitabnya, Dzamm al-Hawa, menjelaskan bahwa dorongan hawa nafsu itu tidak selamanya buruk, tetapi wajib tetap dikendalikan oleh akal dan kesadaran kita.

Orang makan, tergerak untuk makan, karena merasa lapar. Orang tidur, akhirnya tidur karena mengantuk. Orang beribadah, tergerak untuk beribadah, karena ada dorongan mendekatkan diri kepada Allah. Orang menikah, tergerak untuk menikah, karena ada dorongan cinta dan melestarikan keturunan dengan lawan jenisnya.

Begitu juga hasrat untuk memiliki kekayaan, telah mendorong orang bekerja dan mengumpulkan harta. Semuanya itu tidak ada yang salahnya, ketika dikendalikan dengan akal dan kesadaran yang lahir dari akidah dan pandangan hidup kita

Masalahnya, adakah kita sudah mempunyai bekal yang cukup untuk membina akal dan kesadaran kita, sehingga kita bisa mengendalikan hawa nafsu kita dengan akidah dan pandangan hidup kita?

Inilah yang menjadi cobaannya. Kita selalu merasa sudah cukup, karena setidaknya seminggu sekali kita sudah mengikuti kajian ilmu. Tanpa melihat, adakah yang kita dapatkan tadi benar-benar sudah mencukupi untuk menjawab semua permasalahan yang kita hadapi?

Pada realitasnya, cobaan hidup yang kita hadapi sesungguhnya lebih rumit daripada ilmu yang kita dapatkan. Karena itu, sesungguhnya kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki. Kita juga tidak boleh berhenti belajar.

Jika kita merasa cukup dengan ilmu kita dan kita pun berhenti belajar, sesungguhnya tanpa kita sadari kita sudah masuk dalam perangkap setan.

Akibatnya, ketika kita menghadapi berbagai masalah yang rumit dalam kehidupan kita, kita tidak memiliki bekal yang mencukupi. Ketika masalah itu datang, kita pun akan menjadi tidak siap siaga. Saat itulah kita akan terperosok. Kita tersungkur.

Jika pada masa itu kita sadar, mungkin pada masa itulah kita baru berpikir untuk belajar. Mencari penyelesaian dari masalah yang kita hadapi.

Namun, kadang kala ada yang tidak sadar. Akibatnya, terus-menerus berada dalam lubang fitnah dan dia pun tidak bisa menyelamatkan diri dari fitnah itu.

Di sinilah sesungguhnya cobaan kita setelah kita bertobat. Oleh sebab itu, kita mesti terus belajar, baik untuk mengetahui hukum dan pemikiran yang mesti kita terapkan, maupun melatih jiwa dan nafsu kita.

Mengetahui hukum dan pemikiran itu memang lebih mudah. Tetapi, yang paling susah adalah ketika kita perlu melatih jiwa dan nafsu kita. Berbicara tentang konsep ikhlas jelas lebih mudah, tetapi menjadikan jiwa dan nafsu kita supaya meraih keikhlasan itu jelas lebih susah.

Di sini, yang kita perlukan bukan sekadar konsep, tetapi latihan (riyadhah). Begitu juga ketika membincangkan tentang sabar, lebih mudah jika kita membincangkannya. Namun, kita tidak akan pernah meraih kesabaran jika kita tidak pernah berlatih sabar.

Padahal, semuanya itu kita butuhkan selama kita menghadapi fitnah (ujian). Pendek kata, hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan kita dari fitnah yang menyesatkan (mudhillati al-fitnah), yang akan menyebabkan kita terperosok dalam kehidupan, yaitu terus belajar dan menyempurnakan diri.

Inilah yang dicontohkan oleh Nabi, dengan terus-menerus belajar dan membina para sahabat sepanjang hayatnya. Inilah yang diwarisi dan diwariskan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya.

Inilah yang juga sepatutnya menjadi tradisi kita. Semoga kita boleh mewarisi warisan mereka, dan dengannya Allah Swt. menyelamatkan kita dari fitnah yang menyesatkan.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُضِلاَّتِ الْفِتَنِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.” Aamiin yaa mujibas saillin…

576923221414935698
#Tsaqofah    #Dakwah     #Syariah    #Tafsir    #Hadits    #Khilafah     #TanyaJawab    #Analisis

#Ekonomi    #Nafsiyyah    #Muslimah    #KitabMutabannat    #Video    #PowerPoint     #Ramadhan 

20210121-204514-0000-picsay
20210121-204514-0000-picsay
Tonton Penyebab Runtuhnya Khilafah
Fitnah Kehidupan

Form Bantuan Whatsapp

Assalamualaikum! Ada yang bisa dibantu?
×

Relasi

Chat Kami disini
Home
0
Notif
Darkmode
Total Harga ( Produk)

:

:

Ongkos kirim akan muncul setelah ongkir dipilih

Biaya ongkir: dg berat ()
Total Pembayaran:

Mulai dari jalan, RT/RW, Kec, Kab, Prov dan Kode POS

Tulis catatan disini untuk keterangan lainnya

KIRIM