Bersyukur dalam Menghadapi Musibah
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2022/11/bersyukur-dalam-menghadapi-musibah.htmlOleh : Ustadz M Taufik NT
Pada dasarnya musibah adalah ujian dalam hidup. Sebagaimana layaknya suatu ujian, dia akan menyaring dan membedakan manusia, mana yang lulus mana yang tidak, mana yang nilainya tinggi, dan mana yang nilainya rendah.
Musibah telah memetakan nilai manusia pada empat kelompok: pertama, orang yang selalu berkeluh kesah dan mengadu kepada sesama manusia, kedua, orang yang bersabar, tidak mengeluh dan mengadu kecuali kepada Allah, ketiga, orang yang ridho dengan musibah yang menimpanya, dan keempat adalah kelompok orang yang bersyukur dalam suasana musibah tersebut.
Kelompok pertama adalah orang yang tidak lulus dalam ujian, sementara tiga kelompok lainnya akan mendapatkan ganjaran atas sikap mereka menghadapi musibah tersebut.
Perbedaan antara sabar, ridho dan syukur terletak pada sikap dalam hati seseorang, orang yang sabar dia tidak akan berkeluh kesah kepada manusia, namun dia masih sangat berharap sekiranya musibah itu segera berlalu, sementara orang yang ridha, dia adalah orang yang sabar dan tidak begitu memperhatikan apakah musibah tersebut segera berlalu atau tidak, yang lebih diharapkannya adalah pahala yang Allah berikan atas kesabarannya menghadapi musibah. Sementara itu orang yang “mensyukuri” musibah, dia adalah orang yang sabar dan tidak mempedulikan lagi musibah tersebut karena memandang banyaknya nikmat Allah dan keutamaan yang diberikan walau musibah menimpa.
Abu Qilabah (w. 104 H)[1]adalah salah satu contoh bagaimana hasil didikan para Sahabat r.a dalam menghadapi musibah.
Di ujung hidupnya, belia kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya, pendengarannya pun telah lemah dan matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya, kecuali lisannya. Namun dalam kondisi demikian, beliau senantiasa memuji Allah dan bersyukur, dalam munajatnya beliau berkata:
اللَّهُمَّ أَوْزِعْنِي أَنْ أحمدك حمدا أكافىء بِهِ شُكْرَ نِعْمَتِكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ بِهَا عَلَيَّ، وَفَضَّلْتَنِي على كَثِيرٍ مَنْ خَلَقْتَ تَفْضِيلا
“Wahai Allah, ilhamkan kepadaku agar aku bisa memuji-Mu dengan pujian yang memadai untuk menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan atas kelebihan yang telah Engkau berikan kepadaku atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan.”
Ketika beliau ditanya, apa kelebihan yang telah Allah berikan kepadanya hingga beliau begitu memuji dan bersyukur?, beliau menjawab:
وَمَا تَرَى مَا صَنَعَ رَبِّي، وَاللّٰهِ لَوْ أَرْسَلَ السَّمَاءَ عَلَيَّ نَارًا فَأَحْرَقَتْنِي، وَأَمَرَ الْجِبَالَ فَدَمَّرَتْنِي، وَأَمَرَ الْبِحَارَ فَغَرَّقَتْنِي، وَأَمَرَ الأَرْضَ فَبَلَعَتْنِي، مَا ازْدَدْتُ لِرَبِّي إِلا شُكْرًا لِمَا أَنْعَمَ عَلَيَّ مِنْ لِسَانِي هَذَا
“Tidakkah engkau melihat apa yang telah Tuhanku lakukan kepadaku? Demi Allah, seandainya Dia menyuruh langit untuk mengirim api yang membakarku, dan memerintahkan gunung-gunung untuk (menindih) hingga menghancurkan tubuhku, dan memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, dan memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah semua itu, kecuali semakin membuat aku bersyukur kepada-Nya, karena Dia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidahku ini.” (Ibnu Hibban, w.354 H, Ats Tsiqât, 5/3).
Bandingkan dengan diri kita, adakah Allah mengurangi anggota tubuh kita? Adakah Allah mengurangi fungsi lidah kita? Bukankah nikmat yang diberikan-Nya tak terhitung banyaknya? Bukankah dengan demikian kita seharusnya lebih bersyukur kepada-Nya dibandingkan dengan Abu Qilabah? Syukur yang tercermin bukan hanya lewat lidah kita, karena Allah tidak hanya memberikan lidah saja, namun syukur yang tercermin dengan ketundukan semua anggota tubuh kita kepada-Nya, menggunakannya untuk hidup sesuai syari’ah-Nya dan memperjuangkannya agar bisa terlaksana dalam setiap sendi kehidupan kita.