TZd6YZLmRqLbTFG8YZR9Tqw4d6ezdJbeIrbuNrbcM6fedj==

Telaah Demokrasi Sistem Kufur

×
Telaah Demokrasi Sistem Kufur
Silahkan klik layar

HUKUM GARANSI DALAM JUAL BELI BARANG

https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/11/hukum-garansi-dalam-jual-beli-barang.html


Diasuh Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, apa hukumnya garansi dalam jual beli barang?

 

Jawab :

Garansi adalah bagian dari perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kualitas barang yang dijual untuk suatu jangka waktu yang ditentukan, yaitu apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat maka segala perbaikannya ditanggung oleh penjual, dengan syarat-syarat tertentu yang biasanya ditulis dalam suatu surat garansi. (Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1980, Jilid II hlm. 1082-1083). 

Contohnya, A membeli hp (handphone) di toko B, maka pihak B memberikan garansi selama satu tahun atas kerusakan atau kecacatan yang terjadi pada handphone itu sendiri, yang terjadi bukan karena kelalaian atau kesengajaan dari pihak A. Pihak B akan menanggung semua beban kerusakan yang terjadi pada handphone tersebut, selama jangka waktu satu tahun. (Taufik Hidayat, Garansi dan Penerapannya Dalam Hukum Islam, hlm. 120-121).

Menurut kami, garansi dalam jual beli barang ini secara syar’i hukumnya boleh, dengan dua syarat; pertama,  akad jual belinya sendiri telah sah menurut syara’. Kedua, syarat-syarat yang tertuang dalam surat garansi tidak bertentangan dengan syara’ atau menafikan konsekuensi akad (muqtadha al ‘aqad).

Mengenai syarat pertama, yaitu akad jual belinya sendiri telah sah, didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi :

اَلتَّابِعُ تَابِعٌ

At taabi’ taabi’ (perkara cabang hukumnya mengikuti perkara pokoknya). (M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 2/158).

Juga kaidah fiqih yang berbunyi :

إذَا سَقَطَ الأصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ

Idza saqatha al ashlu saqatha al far’u (jika perkara pokok telah gugur, maka gugur pula perkara cabangnya). (M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/271).

 

Kedua kaidah ini berarti bahwa hukum perkara cabang mengikuti hukum perkara pokok. Dalam hal ini akad jual beli adalah perkara pokok sedang syarat-syarat dalam akad jual beli adalah perkara cabang.

Maka dari itu, jika jual belinya sah, maka segala syarat dalam garansi sah pula hukumnya. Sebaliknya, jika jual belinya sudah tidak sah, maka segala syarat dalam garansi juga tidak sah. Misal, garansi yang diberikan pada jual beli barang palsu. Maka garansinya tidak sah, karena jual beli barang palsu hukumnya haram dan tidak sah. Garansi barang palsu ini biasanya adalah garansi yang diberikan oleh toko, bukan garansi yang diberikan oleh pabrik/perusahaan.

Adapun syarat kedua, didasarkan pada hadits Nabi SAW  :

اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلالا اَوْ أحَلَّ حَرَامًا

”Kaum muslimin bertindak sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”  (HR Abu Dawud no 3557; Tirmidzi no 1352, menurut Imam Syaukani ini hadits hasan, lihat Nailul Authar, 5/379). (Yusuf  Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mu’ashirah, hlm. 19). 

Selain itu syarat kedua tersebut juga didasarkan pada kaidah fiqih yang dirumuskan fuqaha dari hadits-hadits, yang berbunyi :

اَلأصْلُ فِي الشُّرُوْطِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِعَقْدِ الْبَيْعِ الإبَاحَةُ إلاَّ شَرْطًا خَالَفَ الشَّرْعَ أوْ تَنَافَى مَعَ مُقْتَضَى الْعَقْدِ

Al ashlu fi as syuruuth al muta’alliqah bi ‘aqd al bai’ al ibaahah illa syarthan khaalafa as syar’a aw tanaafa ma’a muqtadha al ‘aqd (Hukum asal mengenai syarat-syarat yang berkaitan dengan akad jual beli adalah boleh, kecuali syarat yang menyalahi syara’ atau menafikan konsekuensi akad). (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al Buyu’ fi Ad Daulah Al Islamiyah, hlm. 28).

Maka dari itu, selama syarat-syarat dalam garansi tidak bertentangan dengan syara’ atau menafikan konsekuensi akad (muqtadha al ‘aqad), hukumnya boleh. Jika bertentangan dengan syara’, tidak boleh. Misalnya terdapat klausul dalam surat garansi bahwa “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Ini bertentangan dengan syara’, sebab syara’ menetapkan adanya khiyar ‘aibyaitu adanya hak opsi (pilih) bagi pembeli untuk meneruskan jual beli atau untuk membatalkan (fasakh) jual beli itu, jika terdapat cacat (aib) pada barang yang semula tidak diketahui oleh pembeli. Dalam kasus ini, pembeli boleh memilih meneruskan jual beli dan rela atas cacat yang ada, atau mengembalikan barang kepada penjual dan meminta kembali uangnya secara utuh. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 197; Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al Buyu’ fi Ad Daulah Al Islamiyah, hlm. 48). Wallahu a’lam.

 

Sumber : Fisilmi Kaffah

Simak video berikut ini !



576923221414935698
#Tsaqofah    #Dakwah     #Syariah    #Tafsir    #Hadits    #Khilafah     #TanyaJawab    #Analisis

#Ekonomi    #Nafsiyyah    #Muslimah    #KitabMutabannat    #Video    #PowerPoint     #Ramadhan 

20210121-204514-0000-picsay
20210121-204514-0000-picsay
Tonton Penyebab Runtuhnya Khilafah
HUKUM GARANSI DALAM JUAL BELI BARANG

Form Bantuan Whatsapp

Assalamualaikum! Ada yang bisa dibantu?
×

Relasi

Chat Kami disini
Home
0
Notif
Darkmode
Total Harga ( Produk)

:

:

Ongkos kirim akan muncul setelah ongkir dipilih

Biaya ongkir: dg berat ()
Total Pembayaran:

Mulai dari jalan, RT/RW, Kec, Kab, Prov dan Kode POS

Tulis catatan disini untuk keterangan lainnya

KIRIM