Hukum DP (Uang Muka) dalam Jual Beli
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/11/hukum-dp-uang-muka-dalam-jual-beli.htmlOleh: KH Shiddiq Al Jawi
Tapi jika pembeli membatalkan pembelian maka apa yang dibayarkan itu menjadi hak penjual. (Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah Al Fuqaha', hlm.85).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli dengan uang muka ini; pertama, mengharamkan. Ini pendapat jumhur ulama dari fuqaha Hanafiyah, Syafi'iyyah, dan Malikiyah. Kedua, membolehkan, ini pendapat ulama Hanabilah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1035; Imam Ash Shan'ani, Subulus Salam, 3/17; Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah, bab Bai'Al'Urbuun, Juz 9 hlm. 93-95; Rafiq Yunus Al Mashri, Bai' Al'Urbuun, hlm. 10-12; Wahbah Az Zuhaili, Bai'Al 'Urbuun, hlm. 5-7).
Dalil ulama yang mengharamkan, hadits dari 'Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata,"Nabi SAW telah melarang jual beli dengan uang muka ('urbaan)." (HR Ahmad, 2/183; An Nasa'i, 6/342, Abu Dawud no 3502; Malik dalam AlMuwaththa', 2/609).
Sedang ulama yang membolehkan, dalilnya antara lain; pertama, hadits yang melarang tersebut dinilai lemah (dhaif), karena sanadnya munqathi' (terputus). Dalam riwayat Malik,disebutkan Malik mendengar dari 'Amr bin Syu'aib, padahal Malik tidak pernah bertemu dengan 'Amr bin Syu'aib. Jadi, ada perawi antara Malik dan 'Amr bin Syu'aib yang tak disebutkan namanya. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1034).
Kedua, terdapat pendapat Umar bin Khaththab yang membolehkan 'urbuun (uang muka). Dari Nafi' bin Abdul Harits bahwa dia membeli untuk Umar rumah tahanan dari Shafwan bin Umayyah seharga 4.000 dirham. Jika Umar ridha, maka jual belinya jadi dan jika Umar tidak ridha, maka Shafwan berhak mendapat 400 dirham. (HR Abdur Razzaq, dalam Mushonnaf Abdir Razzaq, 5/7; Ibnu Hazm, Al Muhalla,8/373).
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat ulama yang membolehkan, dengan tiga alasan sebagai berikut: Pertama, hadits 'Amr bin Syu'aib yang melarang jual beli 'urbuun adalah hadits lemah, karena sanadnya terputus (munqathi').
Kedua, terdapat hadits yang membolehkan jual beli 'urbuun, yaitu dari Zaid bin Aslam (seorang kibaar tabi'in / tabi'in senior), "Dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi SAW telah menghalalkan uang muka ('urbaan) dalam jual beli" (HR Ibnu Abi Syaibah, Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Juz 3 no 23185).
Hadits Zaid bin Aslam di atas dalam ilmu hadits disebut hadits mursal, yaitu hadits yang tak disebut siapa perawi di level generasi shahabat. Hal itu karena Zaid bin Aslam bukan generasi shahabat melainkan generasi tabi'in, jadi Zaid bin Aslam sebenarnya tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. (Sholahuddin Ahmad Al Idlibi, Hadits An Nahyi 'An Al 'Urbuun Riwayatan wa Dirayatan wa Fiqhan, hlm. 29).
Para ulama berbeda pendapat apakah hadits mursal dapat dijadikan hujjah (dalil) atau tidak. Dalam hal ini kami condong kepada pendapat ulama yang membolehkan hadits mursal menjadi hujjah/dalil syariah. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/342).
Ketiga, terdapat hadits yang membolehkan persyaratan secara umum, termasuk syarat 'urbuun. Maka jual beli 'urbuun dibolehkan, karena tak terdapat dalil yang shahih yang mengharamkannya. Sabda Rasulullah SAW, "Kaum Muslimin sesuai syarat-syarat di antara mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau syarat yang menghalalkan yang haram." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). (Abu Hussamuddin Ath Tharfawi, Bai' Urbuun fii Dhau Asy Syarii'ah Al Islamiyyah, hlm. 23-24; Ziyad Ghazal, Masyru Qanun Al Buyu', hlm. 112).
Kesimpulannya, uang muka dalam jual-beli hukumnya boleh. Hanya saja, ada dua catatan, pertama, wajib ditetapkan waktu tunggu tertentu bagi pembeli untuk mengambil keputusan, apakah jual belinya diteruskan atau dibatalkan. (Ziyad Ghazal, Masyru` Qanun Al Buyu', hlm. 113).
Kedua, uang muka tidak dibolehkan pada akad-akad tertentu, yaitu bai'ussalam (jual beli pesan), sharf (pertukaran mata uang), dan bai'ul istishna' (jual beli yang mensyaratkan pembuatan barang oleh pihak penjual) jika penjual belum memiliki dan menguasai (al qabdhu) barang dagangannya. (Ziyad Ghazal, Masyru' Qanun Al Buyu', hlm. 114). Wallahu a'lam.
Simak video selengkapnya :