Hukum Aborsi Bayi Cacat
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/11/hukum-aborsi-bayi-cacat.htmlOleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai ciri-ciri sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Yakni maksudnya haram untuk dibunuh. Maka tindak penganiayaan terhadap janin tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat (tebusan) bagi janin yang gugur. Diyatnya adalah seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (yaitu 10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Jika usia janin sudah berumur 120 hari (atau empat bulan), keharaman aborsi lebih tegas lagi, sebab dalam usia 120 hari tersebut, Allah SWT sudah memberikan nyawa (ruh) pada janin tersebut. Perhatikanlah dalil-dalil syar’i berikut :
Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’ (zigote), kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ (embrio) selama itu pula [40 hari], kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ (fetus) selama itu pula [40 hari], kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).
Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (QS Al An’aam [6] : 151)
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (QS Al Isra` [17] : 31 )
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (QS Al Isra`[17] : 33)
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (QS At Takwir : 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka aborsi juga haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi adalah pembunuhan yang telah diharamkan Islam.
Selama tidak terdapat dalil syar’i –dari Al-Qur`an dan al-Hadits– yang mentakhsis (mengecualikan) dalil-dalil umum tersebut, maka hukum aborsi pada bayi cacat tetap haram. Dalam hal ini kaidah ushul menyebutkan :
“Al-‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam yarid daliil al-takhshish.”
(Dalil yang bersifat umum tetap berlaku dalam keumumannya, selama tidak terdapat dalil yang mentakhsisnya [mengecualikan keumumannya]).
Dalam hal ini kami tidak mendapatkan dalil syar’i yang mengecualikan keumuman dalil-dalil tersebut, sehingga hukum aborsi pada bayi cacat tetap haram, bagaimana pun juga keadaannya. Tidak peduli apakah dia mempunyai tempurung kepala atau tidak, juga tidak peduli apakah dia hanya mampu bertahan 2 hari atau tidak. Dalam semua keadaan ini hukum aborsi janin cacat tetap haram dan tetap merupakan dosa di sisi Allah Azza wa Jalla.
Memang, menurut buku teks ilmu kedokteran dan kandungan (obstetri dan ginekologi), bayi yang tidak kompetibel dengan kehidupan, boleh diaborsi (the baby that incompetible with life, can be aborted). Maksudnya, bayi yang diperkirakan tidak akan dapat bertahan hidup lama di luar kandungan, sah-sah saja diaborsi.
Namun, kami tidak setuju dengan pendapat tersebut. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syariah apa pun, baik dari al-Qur`an atau al-Hadits. Itu hanyalah semata-mata opini manusia yang hanya berlandaskan realitas empirik dengan standar manfaat.
Karena itu, pendapat tersebut tertolak (mardud) secara tinjauan syar’i. Tidak pantas seorang muslim, baik pasien maupun dokter ahli kandungan, berpegang dengan pendapat salah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan petunjuk kami (Islam), maka perbuatan itu tertolak (mardud).” (HR. Muslim).
Hanya saja, jika keberadaan bayi cacat itu mengancam jiwa si ibu, dalam kondisi seperti ini aborsi dibolehkan secara syariah. Sebab kondisi darurat memperbolehkan tindakan haram demi menjaga kelangsungan hidup manusia.
Kaidah fiqih menyatakan : “Adh-Dharuuratu tubiihu al-mahzhuuraat.”
(Keadaan darurat membolehkan apa-apa yang diharamkan).
Namun sekali lagi patut dicatat, kebolehan aborsi ini bukan karena bayinya cacat, melainkan karena kondisi darurat. Andaikata bayinya tidak cacat, namun keberadaannya mengancam jiwa ibu, boleh pula ia digugurkan.
Tapi jika keberadaan bayi cacat itu mengancam jiwa si ibu, maka dalam kondisi seperti ini aborsi bayi cacat dibolehkan secara syariah. Wallahu a’lam.