Toleran Tanpa Menggadaikan Jati Diri
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/03/toleran-tanpa-menggadaikan-jati-diri.htmlToleransi, dikenal juga dengan tasamuh, dijunjung tinggi dalam Islam dan tidak ada sedikit pun larangan untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hidup harmonis, menjalin hubungan kerabat, tolong-menolong serta berlaku adil dengan non-Muslim sangat dianjurkan selama tidak ada sangkut pautnya dengan aqidah dan ibadah.
Ini disebutkan pada firman Allah SWT dalam surah Al-Mumtahanah[60] ayat 8-9 bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melarang setiap Muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil pada lainnya selama mereka tidak memerangi kita dalam masalah agama. Sebagai contoh Salahuddin Al-Ayyubi yang berhasil menaklukkan Yerussalem tetap berlaku adil dan tak mendzolimi penduduk non-Muslim di situ. Mereka masih diperbolehkan tinggal disana dan mendapatkan hak-haknya dengan layak.
Beginilah Islam mengatur segala sesuatunya secara rinci agar membawa manfaat dan maslahat bagi semua orang. Bahkan, Ali Mustafa Yaqub menegaskan dalam bukunya bahwa dalil ini mewajibkan umat Islam untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Rasulullah SAW pun mengancam umat Islam yang memerangi non-Muslim yang memang tidak memerangi kita.
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan di dunia.”
(HR Bukhari)
Maka, kita diperkenankan untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada setiap agama. Bahkan, kita boleh memberi hadiah pada mereka terlebih lagi apabila hadiah itu membuat mereka tertarik pada Islam. Baiknya lagi jika pemberian kita menjadi perantara Allah memberikan hidayah kepada mereka. Aspek ini akan terhitung sebagai berbuat baik pada sesama dalam hal ber-muamalah. Karena setiap orang, meski berbeda agamanya memiliki hak untuk kita perlakukan secara baik sebagai seorang manusia.
Akan tetapi, harus digarisbawahi bahwa toleransi ini hanyalah sebatas masalah dunia dan apabila sudah merambat pada masalah agama dan akidah maka itulah yang ditentang oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Firman-Nya dalam surah Al-Kafirun[109] ayat 1 – 6 melarang adanya pencampuradukkan keyakinan dalam beribadah. Lakum diinukum wa liya diin, untukmu agamamu dan untukku agamaku.
Ini yang kerap kali salah diartikan oleh umat Islam dengan mengganggap bahwa turut memeriahkan dan mengucapkan selamat atas perayaan hari besar agama lain merupakan bagian dari toleransi. Padahal sangat jelas dalam ayat ini tidak ada toleransi dalam pelaksanaan aqidah dan agama untuk menjaga kemurnian agama kita sendiri, Islam sebagai agama yang rahmatan lil‘alamin.
“Ah, cuma ngucapin selamat aja kok. Kan cuma kata-kata, bukannya meyakini,” ucap si Fulan tanpa menyadari bahwa dengan pengucapan selamat itu berarti dia telah mengakui eksistensi agama lain, yang berarti juga menyetujui bahwa ada keberadaan tuhan lain selain Allah yang padahal Allah adalah Dzat Yang Maha Esa yang satu-satunya berhak kita sembah (Al-Ikhlas). Pada hakikatnya pula, perayaan hari besar itu adalah bagian dari syiar agama mereka.
Beralibi hanya sekedar perkataan tanpa ingat bahwa iman juga termasuk mengucapkan dengan lisan. Nauzubillaahi min dzalik betapa minimnya kesadaran kita. Mendengungkan toleransi namun menggadaikan jati diri kita, menggadaikan aqidah kita. Hanya demi pengakuan belaka, kah?
Lantas apa artinya pengakuan itu ketika ketaatan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berada di atas toleransi itu sendiri. Apakah dengan tidak mengucapkan kita akan dicap sebagai orang yang tidak toleran? Apalah artinya sebuah ucapan yang cepat atau lambat pun akan dilupakan. Apalah artinya dianggap toleran ketika harus mengorbankan ketaatan terhatap Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan, penulis pernah menemukan si Fulan yang hadir dalam perayaan agama lain dengan dalih “hanya coba-coba, sekali-kali tidak apa-apa, lah.” Nauzubillahi min dzalik, betapa murkanya Allah SWT saat aqidah dipermainkan.
Keimanan tidaklah seremeh itu.
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Janganlah kalian masuk pada non-Muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.” Umar berkata, “Jauhilah musuh-musuh Allah diperayaan mereka.”
Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Jangan sampai kita menjadi orang yang lalai atau pura-pura lalai sehingga mengorbankan aqidah dan prinsip kita dengan melakukan loyalitas dan cinta kepada mereka yang terlarang dalam agama. Ketahuilah, perayaan hari besar umat Nasrani dan Yahudi sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi apakah Rasul SAW dan para sahabat mengucapkan selamat dan ikut merayakannya? Tentu saja tidak! Apakah kita berani mengatakan bahwa Rasul SAW dan sahabat tidak toleran? Garisbawahi bahwa Islam tidak pernah mengakui kebenaran agama lain. Sudah ditegaskan pula di surah al-Kaafirun, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Tak dibenarkan mencampur adukkan apapun dalam hal aqidah dan ibadah, apalagi yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Akhir kata, mari kita renungkan ya kawan-kawan. Ini bukan masalah budaya semata, namun ada prinsip akidah yang harus kita bela di dalamnya. Semoga dengan menyadari jati diri umat Islam tentang batasan toleransi yang telah ditetapkan syariat ini, kita menjadi pribadi yang lebih baik dalam hablumminallah, hablumminannafs, serta hablumminannaas-nya. Insyaallah.
Wallahu’alam bish-shawab.
Penulis: Amanda Rozi Kurnia
Editor: Meutia Z. Arianti
Sumber:
[1] Mustahal, Muadz. (2019, Desember 26). Toleran Tanpa Menggadaikan Iman. Diakses dari https://jurnalislam.com/toleran-tanpa-menggadaikan-iman/
[2] As Sidawi, Abu Ubaidah. (2016, Desember 2016). Toleransi Bukan Berarti Korbankan Akidah. Diakses dari https://muslim.or.id/29176-toleransi-bukan-berarti-korbankan-akidah.html
[3] Isra, Yunal. (2018, Januari 24). Belajar Toleransi Beragama dari Nabi Muhammad. Diakses dari https://islam.nu.or.id/post/read/85507/belajar-toleransi-beragama-dari-nabi-muhammad
[4] Sablenk, Wiro. (2013, Desember 24). Toleransi Beragama itu Bukan “Menggadaikan” Aqidah. Diakses dari https://www.kompasiana.com/wirosablenk/551fd43f8133113d719de0b1/toleransi-beragama-itubukan-menggadaikan-aqidah#
[5] https://dalamislam.com/landasan-agama/jenis-jenis-toleransi-yang-diperbolehkan-dalamislam