Refleksi tentang Qada dan Qadar
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/03/refleksi-tentang-qada-dan-qadar.htmlSebagai Muslim, istilah qada’ dan juga qadar bukanlah sesuatu yang asing. Bahkan, pembahasannya masuk ke dalam rukun iman yang enam. Namun, bagaimana sih detail qada’ dan qadar itu? Kita mungkin sudah mendapatkan penjelasannya saat Sekolah Dasar dahulu. Akan tetapi, apakah kita sudah betul-betul memahaminya?
Tentang qada’–qadar
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمًوْتَ إِلَّابِإذْنِ اللهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”(Q.S. Ali Imran (3):145)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبًةٍ فِى الْأَرْضِ وَلَا فِى أَنْفُسِكُمْ إَلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلُ أَنْ نَبْرَأَهَا ْ إِنَّ ذَالِك عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.S. Ali Imran (3):145)
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا ْ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ المُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakkal.”(Q.S. At-Taubah (9):51)
Sebagai Muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (al-Khaliq) dan juga Pengaturnya (al-Mudabbir). Maka segala yang diciptakan (makhluk) di dunia ini tidak akan terlepas dari pengaturan serta pengawasan Allah termasuk kita manusia.
Terkadang kita mempertanyakan, “Apakah Allah tahu apa yang akan saya lakukan setelah ini?” atau mungkin, “Jika Allah tahu kapan saya meninggal dunia, apakah Allah tahu dengan cara apa saya meninggal dunia?”
Jawabannya adalah tentu saja Allah tahu. Ilmu Allah meliputi seluruh yang ada di langit dan di bumi, di segala masa tanpa terbatas waktu, dan seperti yang dijelaskan pada surah Ali Imran ayat 145 di atas, semua telah diputuskan Allah di dalam Lauh Mahfudzh.
Namun, kita jadi bertanya-tanya lagi:
“Jika begitu, apakah manusia dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk, ataukan diberi kebebasan memilih?”
Atau mungkin, “Apakah manusia diberi pilihan melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya, atau sama sekali tidak diberi hak untuk memilih (ikhtiar).”
Rupanya, dalam menjawab pertanyaan ini kita harus berhati-hati. Sebab, dalam sejarahnya banyak sekali umat Islam yang terjebak dalam pembahasan ini dan mengikuti pendapat yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah.
Menjawab: apakah manusia diberi kebebasan memilih ataukah dipaksa dalam hidupnya?
Sebelum masa Khilafah Abbasiyah, pertanyaan tentang apakah manusia dipaksa atau diberi kebebasan dalam hidupnya tidak pernah ditanyakan oleh umat Islam. Sebab, umat Islam mempercayai mutlak bahwa pokoknya semua yang ada di bumi ini sudah dipastikan oleh Allah dan manusia tinggal berikhtiar sebaik mungkin. Namun, ketika umat mulai membaca pemikiran-pemikiran Yunani, ketika itu pulalah mereka mulai mempertanyakannya.
Dahulu, ketika umat Islam memulai Abad Keemasannya, berbagai literatur dari negeri asing dibawa untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dipelajari, salah satu jenisnya adalah buku-buku filosofi dari Yunani. Pada awalnya, para ulama dan cendekiawan mempelajarinya untuk menumbangkan pemahaman filosofi Yunani yang bersumber pada materialisme tersebut. Namun, semakin lama sedikit-banyak filosofi Yunani telah mempengaruhi pemikiran umat sehingga mereka terpecah menjadi tiga dalam memahami qada’ dan qadar, dua di antaranya adalah:
1. Kaum yang meyakini bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya dan Allah tidak ada andil dalam menciptakan perbuatan itu baik/buruk. Kaum ini disebut Qadariyah/Muktazilah.
2. Kaum yang meyakini bahwa Allah menciptakan hamba beserta perbuataannya dan ia ‘dipaksa’ Allah untuk melakukan perbuatan itu sehingga tidak bebas memilih. Kaum ini disebut Jabariyah.
Efek dari paham Jabariyah adalah karena semua perbuatan hamba ada di wewenang Allah, maka hamba tidak berhak untuk dihukum karena semua perbuatannya itu dikendalikan oleh Allah. Efek dari paham Qadariyah adalah bertentangan dengan nash yang menyebutkan bahwa Allah mengatur segala alam ini.
Pendapat yang dapat menjadi solusi dari kedua permasalah ini adalah pendapat yang berpendapat bahwa dalam masalah perbuatan hamba, ada dua area pembahasan/wewenang. Wewenang pertama ialah wewenang Allah. Allah memiliki kendali terhadap makhluk-makhluk-Nya, perbuatan makhluk-Nya. Wewenang kedua ialah wewenang manusia. Manusia diberi kehendak untuk memilih apa yang ingin dia lakukan. Apa dia ingin tidur, ingin ngaji, atau ingin belajar dan sebagainya.
Jadi, demikian inti dari pembahasan keterkaitan antara qada’ dan qadar dengan penciptaan perbuatan hamba yang telah tertulis di Lauh Mahfudz, Iradah Allah, Ilmu Allah yang mengetahui apa yang diperbuat hamba-Nya. Bukan seperti pemahaman Syiah yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat manusia sebelum ia melakukan perbuatannya. Pembahasan qada’ dan qadar dapat diacu sebagaimana yang telah diuraikan diatas agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman para mutakallimin zaman dahulu.
Jadi, kita harus membawa bahasan ini kepada kondisi fitrah bahwa setiap manusia memiliki dua area di dalam hidupnya: area yang dikuasai Allah dan area yang dikuasai manusia.
1. Area yang dikuasainya manusia adalah area yang berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatan/kejadian yang muncul berada dalam lingkup pilihannya sendiri. Misalnya, manusia memilih untuk makan siang atau diet, manusia memilih belajar atau rebahan, dan manusia memilih berbuat baik atau durhaka kepada orangtua. Ini semua adalah perbuatan-perbuatan yang ada di area yang dikuasainya.
2. Area yang dikuasai Allah adalah area yang padanya terjadi perbuatan/kejadian yang tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/kejadian itu berasal dari dirinya sendiri atau yang menimpanya.
Perbuatan manusia yang terjadi pada area yang kedua ini tidak ada andil dan urusan sedikitpun dengan manusia atas kejadiannya. Sementara itu ada dua jenis kejadian yang terjadi di area ini:
- Kejadian yang ditentukan oleh Sunnatullah (nizhamul wujud). Nizhamul wujud ini adalah hal-hal yang sudah berupa ‘efek lazim’. Misalkan, bebek bisa berenang, kucing suaranya mengeong, dan domba bulunya lebat. Untuk hal-hal di alam misalnya adalah gunung bisa meletus, awan bisa memproduksi hujan, dan angin bisa menjadi tornado. Untuk yang berkaitan dengan manusia itu seperti warna matanya, bentuk kepalanya, serta besar tubuhnya.
- Kejadian yang tidak ditentukan oleh Sunnatullah (nizhamul wujud). Seperti namanya, kejadian ini bukan kejadian yang ‘efek lazim’, tapi manusia tetap tidak punya kuasa apapun untuk menolaknnya—biasanya berupa ketidaksengajaan. Misalkan saja seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga orang lain itu meninggal. Atau orang yang mau menembak burung tapi ternyata pelurunya meleset dan mengenai orang lain hingga meninggal dunia.
Nah, segala yang terjadi pada area yang menguasai manusia (tusaytiru ‘alaih) inilah yang disebut sebagai qada’ (keputusan Allah). Karena itulah, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfaat atau kerugiannya. Area qada’ adalah area yang dijelaskan seperti pada diagram berikut ini (pada bagian area yang beririsan). Oleh sebab itulah, pembunuhan yang tidak sengaja/tidak berencana tidak mendapatkan sanksi di dalam Islam karena berada di luar kekuasaan manusia… juga ketidaksengajaan lainnya.
Sementara itu, penjelasan tentang qadar (ketetapan Allah)adalah segala karakteristik/khasiat yang telah diciptakan Allah dan bersifat baku sesuai dengan Sunnatullah-nya. Setiap khasiat ini memiliki qabiliyah/potensi yang dapat dimanfaatkan manusia untuk hal apapun; hal baik maupun buruk.
Jadi misalkan api. Api memiliki khasiat panas menyala-nya dan memiliki qabiliyah membakar. Nah, qabiliyah api itu dapat dimanfaatkan manusia untuk perbuatan baik seperti membakar marshmallow saat camping atau perbuatan buruk seperti membakar rumah tetangganya.
Nah, mengambil contoh api itu saja dengan khasiat dan qabiliyah-nya… Berhubungan dengan area yang dikuasai manusia manusia bisa memanfaatkannya untuk membakar marshmallow atau membakar rumah tetangganya seperti yang dicontohkan… Maka, ia akan dihisab karena perbuatan yang dipilihnya itu, jika membakar marshmallow berarti perbuatan mubah atau bahkan bisa mendapat pahala karena marshmallow-nya dimakan dan memberikan nutrisi untuk tubuh. Namun, jika yang dipilihnya adalah membakar rumah tetangganya, maka ia akan mendapat dosa karena mencelakakan nyawa dan harta orang lain.
Qada’-qadar dan kaitan riil di kehidupan kita sehari-hari
Setelah melalui pembahasan berbelit di atas, mari kita menyimpulkan dengan memberikan contoh serta aplikasinya.
1. Bingung soal IPK.
Setelah mengetahui bahwa ada area dikuasai Allah, kita mahasiswa Muslim harus yakin bahwa Allah lah yang memutuskan perolehan nilai kita di setiap akhir semester. Namun, karena ada area yusaytiru (yang dikuasai manusia), kita juga harus mengupayakan diri untuk belajar sebaik mungkin. Apalagi, manusia memiliki akal yang qabiliyah-nya bisa memisahkan yang baik dari yang buruk—seperti semangat belajar vs. semangat rebahan. Sehingga, sayang sekali kan kalau tidak dimanfaatkan untuk belajar dan memperoleh pahala?
2. Bingung soal jodoh.
Jodoh pun adalah area yang mutlak diputuskan oleh Allah. Namun, kita sebagai Muslim mengoptimalkan area wewenang kita untuk selalu membenahi diri, menjaga hati, menjaga pergaulan dari zina atau hal-hal yang mendekatinya, dan jika sudah merasa mampu kita bisa ber-ta’aruf hingga memutuskan untuk menikah.
Jadi, setelah berlebar-panjang membahas mengenai qada’ dan qadar, kita menyadari bahwa yang terpenting adalah:
- Allah telah memutuskan segala sesuatu dengan adil sehingga tidak ada kata-kata ‘menggugat takdir’ di dalam kamus kita karena semuanya sudah diputuskan.
- Kita tetap berusaha sebaik mungkin dalam segala hal yang kita lakukan karena perbuatan kita akan dihisab. Apalagi telah diciptakan kepada diri kita perangkat-perangkat yang sempurna; akal, tangan, kaki, mata, mulut, dan sebagainya—apakah kita mau memanfaatkannya untuk berbuat jahat seperti korupsi ketika menjadi pejabat, sehingga akan berat timbangan keburukannya di akhirat kelak? Ataukah kita mau memanfaatkannya untuk berbuat baik seperti mendakwahkan Islam dengan cara yang ma’ruf, sehingga akan berat timbangan kebaikannya di akhirat kelak? Ataukah kita mau bersikap ‘netral’ dengan rebahan sepanjang hari, sehingga kita menjadi sia-sia?—silakan memilih.
Lalu, bagaimana dengan kematian? Semua orang pastilah meninggal dunia, termasuk kita, ini masuk ke dalam area yang kuasai Allah. Tapi, kapan kita meninggal dunia? Kita tak tahu.
Akan tetapi, yang masuk ke area itu tidak perlu kita pikirkan. Sebab ini adalah wilayah Allah ta’ala dan kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Yang perlu kita pikirkan adalah area yang merupakan ranah kita. Misalkan, seperti apa kita ingin melewati hari-hari kita, termasuk di sisa hidup kita? Apakah kita ingin menghabiskannya dengan berzina? Mabuk-mabukan? Mencuri? Ataukah hal yang baik-baik…?
Terkadang kita berpikir, “Saya ingin nakal selagi muda dan taubat di hari tua”. Namun sekali lagi, kita tak tahu kapan kita akan meninggal. Bisa saja saat tua dan sakit, namun bisa juga saat muda dan sehat.
Oleh sebab itu, selama kita hidup mari melakukan hal-hal baik yang diperintahkan oleh Allah serta dicontohkan oleh Rasulullah. Memperbanyak mengingat kematian, ber-amar ma’ruf nahi munkar, dan ber-fastabiqul khairat untuk mengejar jannah-Nya.
Sebab, sekali lagi, kematian itu pasti, namun kita belum pasti amal kebaikan kita lebih berat dari amal keburukan kita di hari nanti.
.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.(HR Ibnu Majah, no. 4.258; Tirmidzi; Nasai; Ahmad)
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
Mayit akan diikuti oleh tiga perkara (menuju kuburnya), dua akan kembali, satu akan tetap. Mayit akan diikuti oleh keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarganya dan hartanya akan kembali, sedangkan amalnya akan tetap.(HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa-i)
حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: “Ya, Rabbku. Kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan.(Al Mu’minun :99-100).
Penulis: Meutia Z. Arianti, Staf Midle Kutu Kitab Dakwah Kreatif JMMI ITS
Editor: Yaqzhan Elkiya, Staf Kutu Kitab Dakwah Kreatif JMMI ITS
*Refleksi ini kami dedikasikan kepada kawan kami yang baru saja meninggal dunia, Rachmad Budi Santoso, Staf Midle Tim Website Dakwah Kreatif JMMI ITS. Semoga amal baik, ibadah, serta dakwahnya diterima Allah subhanahu wa ta’ala. Aamiin.
Referensi:
[1] Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam (Nizhamul Islam), (2) Qadla dan Qadar,pp. 27-42, cetakan ke-6 tahun 2001
[4] Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Tahqiiqul Maqam