Mutiara Keteladanan Para Pejuang Khilafah
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/03/mutiara-keteladanan-para-pejuang.htmlSungguh dalam diri Nabi saw. dan para Sahabat terdapat samudera keteladanan. Cukuplah seorang Muslim membaca, merenungkan dan menghayati sirah Nabi saw. dan para Sahabat. Tentu membaca sirah Nabi saw. dan para Sahabat itu bukan hanya secara garis besar, selintas atau dalam aspek-aspek tertentu saja ataupun sebagai produk yang sudah jadi. Namun, hendaknya sirah itu dibaca dengan detil berikut dialog-dialog dan setting-nya, disertai dengan penghayatan sehingga seolah-olah kita menjadi bagian dan terlibat di dalamnya.
Namun, kadang-kadang terbersit anggapan, “Wajar saja, Nabi saw. kan langsung dibimbing wahyu. Pantas para Sahabat seperti itu, mereka kan langsung dididik oleh Rasul saw.”
Ada pula ungkapan, “Kita kan bukan Sahabat. Kondisi kita pun jauh beda dengan mereka.”
Mungkin pula ada pertanyaan, “Apa mungkin keteladanan Nabi saw. dan para Sahabat diaplikasikan saat ini? Apa iya ada sosok seperti Sahabat pada masa modern seperti sekarang?”
H. Ya’qub Ishaq al-Hanini-Abu Marwan dalam memoarnya menceritakan, “Pada masa-masa awal, dakwah menghadapi banyak halangan. Terjadi pertarungan intelektual yang sengit antara kami dengan orang-orang komunis, ba’ats, sosialis dan jamaah-jamaah lain. Pertarungan sengit itu dibarengi dengan tekanan yang keras dari negara dan intelijennya. Kami menyebarkan leaflet politik secara heroik dan setelah itu dilakukan berbagai penangkapan terhadap kami dari satu waktu ke waktu lain. Kami bahkan harus keluar rumah memakai baju tidur di balik baju kerja sebagai persiapan jika terjadi penangkapan. Penggerebekan, penggeledahan rumah dan tempat kerja kami oleh intelijen terjadi hampir setiap hari. Namun demikian, alhamdulillah, semua itu tidak menghalangi kami dari perjuangan atau menyelewengkan kami dari misi kami.”
Syaikh Ya’qub Abu Ramilah dalam wawancara memoarnya 9 Juli 2006 mengatakan, “Anda sekarang menikmati pembiaran oleh pemerintah dan sebagian besar syabab tidak mengalami tekanan-tekanan politis. Sebaliknya, kami pada masa kami dulu bagaikan api yang menyala-nyala. Para syabab saat itu mengemban dakwah seraya membusungkan dadanya menghadapi segala bentuk tekanan dan penyiksaan. Kami tidak kenal rasa takut kecuali kepada Allah SWT. Kami tidak bermanis muka dan tidak berlaku hipokrit. Perintah Amir wajib dilaksanakan sendiri atau bersama-sama pada waktu, tempat dan sesuai yang diperintahkan tanpa rasa takut atau gentar.”
Keberanian itu baru teruji pada kondisi yang memang menuntut keberanian sikap. Banyak sekali contoh keberanian para pengemban dakwah syabab Hizb generasi awal. Contohnya adalah delegasi yang diutus menyampaikan koreksi kepada Moammar Qaddafi atas pengingkarannya terhadap kehujjahan as-Sunnah. Delegasi dengan penuh keberanian berbicara di depan Qaddafi. Berlangsunglah diskusi/perdebatan selama beberapa jam. Setelah itu, memoar tersebut (tertanggal 7 Syawal 1398 H/9 September 1978) disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Qaddafi murka. Akibatnya, sejarah mencatat, puluhan syabab Hizb gugur sebagai syahid dibunuh oleh rezim Qaddafi.
Contoh lain: pernah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dipanggil Raja Husein di istananya. Ketika Raja Husein bertanya ketiga kalinya kepada Syaikh dan meminta beliau untuk ber-wala’ kepada orang yang loyal kepada Raja Husein dan memusuhi orang yang memusuhi dia, Syaikh an-Nabhani rahimahullah menjawab, “Sungguh sebelumnya aku sudah berjanji kepada Allah untuk ber-wala’ kepada orang-orang yang ber-wala’ kepada Allah dan Rasul-Nya serta memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.” Raja Husein pun naik pitam. Dia berteriak menyuruh Syaikh an-Nabhani keluar dan memerintahkan kepada intelijen agar menjebloskan beliau ke penjara. Sejumlah syaikh dan ulama yang ada ketika itu tidak ada yang berani angkat bicara. Muhammad Hamdi Abdurrouf al-‘Ariyan dalam memoarnya (Januari 1985) mengatakan, “Aku tahu kemudian bahwa Raja mengutus seseorang untuk menawarkan jabatan Qadhi Qudhat kepada Syaikh an-Nabhani asal Syaikh menampakkan wala’ kepada Raja. Tentu saja Syaikh menolak mentah-mentah tawaran tersebut.”
Syaikh Ya’qub Abu Ramilah menuturkan pengalamannya, “Untuk sekadar halqah kami mengalami banyak kesulitan, di antaranya kami harus jalan kaki dengan jarak yang jauh. Pada satu malam ketika aku pergi ke halqah, aku terjatuh ke lubang hampir sedalam sumur, dan aku terus di situ hingga Subuh sampai akhirnya aku bisa keluar dari lubang itu. Pada beberapa kondisi kami terpaksa harus saling bermalam di tempat sesama syabab. Pasalnya, intel terus menguntit kami dan setiap waktu siap menangkap kami.”
Mereka juga sangat serius mengisi halqah. Kesempatan mengisi halqah bagi mereka merupakan suatu kehormatan. Kesungguhan mereka itu terlihat dari memoar Abu Arqam berikut, “Aku menikah tahun 1957. Aku ingat bahwa aku ada janji memberikan halqah mingguan bertepatan dengan malam pengantin. Aku pun pergi meninggalkan pesta pengantin, padahal aku sedang jadi pengantin. Aku pergi sesaat memberikan halqah sampai aku menyelesaikannya dengan sempurna. Setelah selesai mengisi halqah, baru aku kembali ke pelaminan. Sungguh aku dapati seluruh yang hadir bertanya-tanya tentang pengantin pria dan dimana ia bersembunyi. Ketika itu aku memegang 12 halqah dalam satu minggu. Yang aku laksanakan ada yang malam hari, ada yang siang hari, dan aku lakukan itu tanpa kenal lelah dan merasa berat.”
Memegang banyak halqah mingguan dilakukan oleh banyak orang dari generasi awal. Bahkan Ustadz Hafizh Shalih, pengarang buku An-Nahdhah, menceritakan kepada anak keturunannya bahwa beliau ketika di Tunisia pernah memegang 40 halqah (http://www.hafezsaleh.com/cv.html).
Muhammad Hamdi Abdurrouf al-‘Ariyan menceritakan bahwa makanan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani-Abu Ibrahim sangat sederhana dan apa adanya. Sering makanan beliau berupa hanya roti diolesi minyak. Abu Ibrahim mengatakan, “Zuhud itu bukan bersikap asketis dari makanan, tetapi zuhud itu engkau makan yang ada pada dirimu (tanpa mencari-cari yang tidak ada dan tidak mengeluh dengan yang ada). Nabi saw. pernah makan makanan paling enak dan beliau memuji dan bersyukur kepada Allah. Beliau pun sering memakan makanan yang paling jelek, tetapi tetap memuji dan bersyukur kepada Allah.”
Muhammad Hatim Mishbah Nashiruddin mengatakan, “Akhi Ya’qub al-Hanini pernah pergi ke Beirut dan tidur di rumah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani-Abu Ibrahim. Ia menggantungkan gamisnya dekat gamis Abu Ibrahim. Ketika ia mengambil gamis, ternyata ia salah ambil. Yang ia ambil adalah gamis Syaikh. Ia menemukan gamis itu sudah lusuh dan mudah sobek. Karena itu ia ingin pergi membelikan gamis untuk Syaikh. Namun, Syaikh tahu yang ingin dilakukan Ya’qub. Syaikh berkata, “Kembalilah.” Beliau menolak dibelikan gamis baru. Beliau berkata, “Ini sudah cukup untuk menutupi keadaan.”
Syaikh Abdul Qadim Zalum-Abu Yusuf, satu hari pulang ke rumah beliau di Amman. Beliau terkejut mendapati di ruang tamu rumahnya ada sofa. Beliau pun meminta penjelasan istri beliau. Istri beliau menjawab, “Engkau mengirimi kami sejumlah uang tiap bulan. Aku biasa menyisihkan dua, tiga atau lima dinar tiap bulan. Lalu uang itu aku kumpulkan sampai cukup untuk membeli sofa itu.”
Mendengar penjelasan demikian, sejak saat itu Abu Yusuf meminta agar tunjangan dari Hizb setiap bulan dikurangi sebanyak lima dinar.
Begitulah Abu Yusuf. Beliau melakoni jalan persis seperti pendahuunya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani-Abu Ibrahim. Keduanya hanya mengambil tunjangan dalam jumlah sangat sedikit dan hampir tidak cukup untuk sekadar belanja kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Terkait itu, Amir Hizb yang sekarang, al-‘Alim al-Jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah mengatakan, “Dua orang Syaikh (Abu Ibrahim dan Abu Yusuf) telah membuat aku letih untuk meneladaninya. Bagaimana tidak. Langkah keduanya telah digariskan dan kesenangan telah ditutup.”
Masih amat banyak mutiara keteladanan para syabab Hizb generasi awal dan tidak mungkin dipaparkan di sini. Seperti itulah mereka. Bagaimana dengan kita? [Yahya Abdurrahman]