Membentuk Pemikiran Islam yang Membangkitkan di Tengah Tim Dakwah
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2021/03/membentuk-pemikiran-islam-yang.htmlDalam ilmu organisasi, ada lima disfungsi dari sebuah tim:
- Hilangnya rasa percaya di antara anggota.
- Takut akan terjadi konflik.
- Kurangnya komitmen.
- Menghindari tanggungjawab.
- Tidak perhatian terhadap hasil (asal kerja).
Banyak sekali pendapat dalam bidang psikologi maupun sosiologi tentang keberadaan tim. Itu karena, sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu dituntut untuk berkelompok dalam berbagai hal. Bahkan, dakwah saja diminta untuk berkelompok (Ali Imran (3):104). Maka dari itu, pandangan keilmuan mengenai tim akan selalu menjadi bekal para pejuang dakwah. Selain disfungsi-disfungsi yang dijelaskan di atas, ada juga bahasan mengenai karakter tim yang highly functioned, manajemen proyek, kolaborasi, dan lain sebagainya.
Namun, apakah itu semua cukup untuk memperkuat tim dakwah? Apakah dengan memberikan para anggota pressure yang tepat, lalu setelah sukses melewatinya diberi pujian itu sudah cukup? Ataukah itu hanya akan membangkitkan semangat yang bersifat semu/sementara saja? Mungkin kah juga menjadikan tim dakwah sekadar event organizer yang berkutat pada TUK-TUK kegiatan?
Dalam berdakwah…
Pada surat Ali Imran (3) ayat 104:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
kalimat “segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah daripada yang munkar” ini digunakan sebagai landasan tentang harus adanya kelompok/tim dakwah dan individu Muslim bergabung di dalamnya. Sementara itu, “tim dakwah” yang sesuai Ali Imran ini pun dikhususkan lagi kepada tim dakwah yang memang tujuannya menegakkan syariat Allah semata, bukan hanya bertujuan di kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, politik, dsb.. Namun, jumlah dari tim dakwah ini bisa banyak, tidak hanya satu kelompok saja. Asalkan kelompok tersebut ingin menegakkan syariat Islam, maka ia masuk ke dalam kategori ini.
Tim dakwah pastinya tersusun dari individu atau pribadi-pribadi yang harus memiliki pandangan ini, pandangan bahwa bergabung bersama tim dakwah adalah untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar—lebih dari sekadar keinginan untuk menambah relasi, apalagi mengisi waktu luang atau mendapatkan sertifikat.
Ya, pada dasarnya seluruh elemen tim harus menyadari bahwa niat dalam berdakwah itu sangat berat. Namun dakwah sendiri merupakan responsibility yang tidak dapat dihindari oleh setiap Muslim. Seperti yang telah dijelaskan pada pendahuluan di atas, menumbuhkan kepekaan terhadap responsibility itu bukan dengan memberikan pressure dan pujian saja, namun lebih dari itu.
Responsibility harus terbentuk dari kesadaran yang bersumber dari pemikiran setiap individunya untuk menghasilkan semangat yang tidak bersifat semu/sementara. Pemikiran apakah itu?
Pemikiran yang membangkitkan
Menurut pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Nidzamul Islam, pada bab طريق الايمان (Metode Menuju Iman):
ينهض الإنسان بما عنده من فكر عن الحياة والكون والإنسان
Bangkitnya manusia bergantung pada pemikirannya tentang kehidupan, alam semesta, dan dunia,
وعن علا قتها جميعها بما قبل الحباة الد ني وما بعدها
dan hubungan ketiganya dengan apa-apa yang sebelum kehidupan dunia dan apa-apa yang setelahnya.
فكان لا بد من تغيير فكر الإنسان الحاضر تغيير أسا سيا شا ملا
maka keberadaan (kebangkitan) itu haruslah dengan mengubah pemikiran manusia secara mendasar dan menyeluruh
وإيجاد فكر آخر له حتى ينهض
dan mewujudkan pemikiran lain baginya hingga mereka bangkit.
Nah, pertanyaannya adalah mengapa manusia harus berpikir tentang kehidupan, alam semesta, dan dunia terlebih dahulu agar bisa bangkit? Lebih-lebih untuk berdakwah?
Rupanya, pemikiran ini adalah pemikiran basic yang pasti dimiliki setiap manusia. Pernahkah kita mengamati, terkadang anak-anak bingung dan menanyakan kepada orangtuanya, “Bu, benarkah dunia ini nyata bukan mimpi?”
Dalam pandangan anak-anak itu, adalah suatu hal yang mengherankan bagaimana ia melihat seorang bayi muncul dan bertumbuh di perut ibunya, lalu dilahirkan, lalu ada juga orangtua-orangtua yang meninggal. Ya, betul sekali, setiap orang pastilah jauh di dalam lubuk hatinya menanyakan soal tiga hal:
- Apakah yang terjadi sebelum kehidupan dunia?
- Apa yang harus dilakukan di dunia ini dan apa tujuan dari kehidupan dunia?
- Apakah yang terjadi setelah kematian?
Ketiga hal inilah yang disebut sebagai uqdatul kubra (العقدة الكبر). Secara harfiah, uqdatul kubra bermakna “simpul besar”. Maksud dari simpul besar ini adalah ikatan utama yang harus dipecahkan oleh manusia.
Tanpa terjawabnya ketiga pertanyaan ini, hidup manusia akan gelisah dan terombang-ambing.
Ketiga pertanyaan ini juga merupakan pertanyaan utama yang mendasari pertanyaan-pertanyaan cabang lainnya (derivatif).
Maka dari itu, bisa saja sampai tua atau bahkan sampai meninggal pun manusia tidak berusaha menjawab ketiga pertanyaan tersebut karena mungkin malas berpikir atau tidak menemukan cukup banyak informasi untuk menjawabnya. Namun, pasti batinnya tidak akan tenang. Bukan hanya itu, ia jadi tidak punya patokan untuk menjalani hidup karena ia juga belum tentu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan cabangnya.
Misalkan seperti ini:
pertanyaan kedua yaitu “apa tujuan dari kehidupan dunia”. Nah, ada seseorang yang tidak bisa menjawabnya. Oleh karena itu, ia seringkali juga dipusingkan dengan urusan kehidupan dunia. Ia akan bingung menentukan prinsip hidupnya, misalnya jika dihadapkan pada permasalahan keluarga, kerja, atau lingkungan bermasyarakat. Ia mungkin akan memilih opsi-opsi lain yang bisa jadi akan merusak fisik dan moral-etiknya, contohnya mengonsumsi narkoba untuk menghilangkan stres, KDRT, hingga korupsi karena butuh uang.
Ini berbeda kan dengan seseorang yang dapat menjawab pertanyaan kedua dengan petunjuk dari Alquran surat Al-Baqarah (2) ayat 30, bahwasanya Allah menjadikan manusia “khalifah” di muka bumi. Maka, ia akan berusaha menjalani kehidupannya sesuai standar khalifah yang ditetapkan Allah yaitu sebagai yang mengelola bumi Allah dengan cara-cara yang baik.
Penjelasan di atas ini hanya ilustrasi saja.
Pada dasarnya, yang harus dijawab tidak boleh salah satunya saja (seperti pada contoh yaitu nomor 2-nya saja), namun harus ketiganya sekaligus. Jika hanya menjawab salah satunya, sama saja, jawaban yang dihasilkan akan parsial.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani juga menjelaskan:
وطريق الوحيد لتغير المفاهيم هو إيجاد الفكر عن الحياة الدنيا حتى توجد
Dan satu-satunya metode untuk mengubah pemahaman yakni dengan menjadikan pemikiran tentang kehidupan dunia (pemikiran yang) produktif
بواسطته المفاهيم الصحيحة عنها
(yaitu) dengan pemahaman yang shahih tentangnya (kehidupan dunia tersebut).
Nah, lalu apa standar shahih-nya itu? Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali menerangkan:
لكن هذا الحل لا يوصل إللى النهضت الصحيحة إلا إذا كان حلا صحيحا يوافق فطرة الإنسان, ويقنع العقل,
Namun, pemecahan ini tidak mengantarkan kepada kebangkitan yang shahih kecuali ada (juga) pemecahan yang shahih sesuai fitrah manusia dan memuaskan akal,
فيمملأ القلب طمأنينة
maka (ini baru bisa) memberikan ketenangan hati.
Shahih yang dimaksud di sini adalah ‘lurus’ dengan standar bahwa shahih ini harus sesuai dengan fitrah manusia (naluri) dan dapat memuaskan akal, yang mana keduanya akan menghantarkan sang pemikir untuk tenang hatinya setelah menemukan jawabannya.
Maka ternyata, untuk menemukan jawaban dari tiga pertanyaan uqdatul kubra tersebut tidak sembarangan. Apakah ada jawaban yang tidak shahih untuk menjawab uqdatul kubra?
Tentu saja ada!
Misalkan jawaban untuk pertanyaan kesatu: alam semesta tercipta dengan sendirinya melalui reaksi unsur dan manusia merupakan evolusi dari kera. Karena manusia tercipta dengan sendirinya maka berlanjut ke jawaban pertanyaan kedua: tujuan manusia hidup di dunia ini adalah untuk bebas dan bersenang-senang—karena Y.O.L.O. gitu kan ya, hehe. Ini ditutup dengan jawaban untuk pertanyaan ketiga: ketika manusia meninggal ya meninggal begitu saja, tidak akan ada lagi apapun setelah ia meninggal.
Familiar bukan dengan pemikiran dan pemahaman yang satu ini?
Ya, betul sekali. Ini adalah pemikiran orang-orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Pemikiran tersebut adalah pemikiran yang tidak shahih/tidak lurus/tidak benar. Alasannya adalah karena pemikiran ini tidak sesuai dengan fitrah manusia (naluri tadayyun yang membutuhkan keberadaan Pencipta) dan tidak pula memuaskan akal.
Orang yang menganut pemikiran ini niscaya hatinya tidak akan tenang, masih timbul rasa gelisah. Apalagi dalam hal ini, teori yang dipakai oleh mereka (Teori Evolusi Darwin) diakui sendiri bukanlah suatu gagasan yang well-established, namun masih berupa hipotesis yang kurang meyakinkan apakah bisa diuji atau tidak karena keberadaan missing-link di dalamnya.
Di zaman Rasulullah dulu, ada suku pedalaman bernama Badui yang menerima Islam. Mereka memang tidak secerdas dan se-terpelajar banyak bangsawan Quraisy yang menentang Islam. Namun, mereka bisa menjawab uqdatul kubra ini secara shahih, lebih bisa menjawabnya daripada orang-orang kafir Quraisy.
Suatu ketika, salah seorang bangsawan Quraisy tersebut melewati seorang Badui yang hendak melakukan shalatnya di tengah gurun. Quraisy tersebut dalam usahanya mempengaruhi sang Badui untuk murtad bertanya, “Untuk siapa engkau shalat?”
Sang Badui menjawab, “Aku shalat untuk Rabb-ku?”
Si Quraisy bertanya lagi, “Memang kamu pernah melihat Rabb-mu?”
Badui tersebut lantas menunjuk kotoran unta di jalan sambil berkata, “Adanya kotoran unta di jalan ini menunjukkan bahwa ada unta yang pernah lewat.”
Katanya, tidak penting untuk mengetahui ia unta besar atau unta kecil, apakah ia unta biasa atau unta merah, apakah unta liar atau unta peliharaan. Pokoknya itu unta.
Dan itu adalah jawaban yang sudah cukup memuaskan fitrah dan akal manusia yang terbatas untuk mengetahui apa yang di luar batas kemampuannya untuk melihatnya (re: kejadian dimana unta tersebut lewat). Namun, bukti bahwa kotoran tersebut berada di sana sudah cukup menandakan bahwa ada unta yang melintasi jalanan itu beberapa waktu sebelumnya…
—apakah analogi di atas dapat dipahami, jika digunakan untuk menggambarkan keberadaan ciptaan berarti ada Dzat Yang Menciptakan?
Sang Badui lantas melanjutkan, “Subhanallah! Jejak kaki menunjukkan adanya perjalanan, langit bertaburan bintang-bintang, malam yang gelap gulita lalu diberikan bintang-bintang yang bersinar, bukankah itu semua menunjukkan keberadaan Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat?”
Jawaban tersebut menjadi sangat sederhana karena sang Badui telah memiliki pemikiran shahih untuk menjawab uqdatul kubra. Itulah mengapa ia percaya bahwa ada Dzat yang menciptakan seluruh alam yaitu Allah Swt. (untuk menjawab pertanyaan pertama). Ia juga melaksanakan shalat (sebagai salah satu perwujudan jawaban dari pertanyaan kedua). Dan ia percaya akan adanya Hari Penghisaban maka ia segera melaksanakan shalat tersebut (untuk menjawab pertanyaan ketiga).
Inilah pemikiran yang membangkitkan tersebut, yaitu yang shahih dan yang produktif. Pemikiran tersebut bersumber dari aqidah Islamiyah.
Apa yang bisa dipetik oleh tim dakwah?
Setiap individu di tim dakwah haruslah memegang prinsip pemikiran yang berdasarkan aqidah Islamiyah tersebut agar bisa bangkit dan membangkitkan umat.
Apa lagi yang dapat menumbuhkan responsibility yang sejati jika bukan karena rasa cinta tim dakwah kepada Allah? Dan responsibility tersebut bukan hanya sekadar menjalankan acara atau pembagian jobdesc, namun memang untuk mendakwahkan Islam dan menumbuhkan pemahaman ke-Islaman tersebut di tengah-tengah umat. Apalagi di masa-masa akhir zaman seperti ini dengan kondisi umat yang digambarkan Rasulullah sebagai:
بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ
“Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahn”—H.R. Abu Dawud
Pada dasarnya, tim dakwah harus menyadari bahwa tanpa kekuatan aqidah Islamiyah yang tertanam di dalam pikiran setiap individunya, maka tim dakwah tersebut hanya berisi orang-orang yang memiliki maksud-maksud bukan untuk Allah semata.
Pemikiran yang shahih ini akan menghadirkan keikhlasan di hati setiap individu untuk berdakwah di jalan Allah, sebagaimana Rasulullah, Sahabat, dan orang-orang terdahulu mendakwahkan Islam sampai tersebar ke seluruh dunia.
Akhir kata, dari tulisan ini dapat kita simpulkan bahwa satu-satunya cara untuk membentuk tim dakwah yang baik adalah dengan membentuk pemikiran Islam yang membangkitkan di tengah-tengah tim dakwah tersebut. Mari, menjalankan kewajiban dakwah.
Wallahu a’lam bisshawab
Penulis: Meutia Z. Arianti untuk KPP PSI 2 JMMI ITS
Editor: Rezki Amalia Latif
Referensi:
- Kitab “Nizhamul Islam” oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
- “Mashâri’ul ‘Usysyâq” karya Dr. A’idh bin Abdullah Al-Qarni
- https://www.eramuslim.com/suara-langit/kehidupan-sejati/penyakit-ummat-islam-di-akhir-zaman-1.htm#.XypP8igzbIU
- https://dissentfromdarwin.org/resources-for-students/is-darwinian-evolution-just-a-theory/