Wanita Penghuni Neraka
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/wanita-penghuni-neraka.htmlإِنَّ الْفُسَّاقَ هُمْ أَهْلُ النَّارِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ
الْفُسَّاقُ؟ قَالَ: النِّسَاءُ قَالَ: رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَسْنَ
أُمَّهَاتِنَا، وَأَخَوَاتِنَا، وَأَزْوَاجَنَا؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ
إِذَا أُعْطِينَ لَمْ يَشْكُرْنَ، وَإِذَا ابْتُلِينَ لَمْ يَصْبِرْنَ
“Sesungguhnya orang-orang fasik adalah penduduk
neraka.” Dikatakan, “Ya Rasulullah, siapakah mereka?” Rasul bersabda, “Para
wanita.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu
ibu-ibu, saudari-saudari dan istri-istri kita?” Rasul menjawab, “Benar, tetapi
mereka itu, jika diberi, tidak bersyukur; jika diuji, tidak bersabar (HR Ahmad dan al-Hakim).
Imam Ahmad meriwayatkan hadis di
atas dalam Al-Musnad dari Ismail bin Ibrahim dan Waki’. Imam
al-Hakim meriwayatkannya dalam Al-Mustadrak dari Ibrahim bin
‘Ashmah al-Adl, dari as-Sari bin Khuzaimah, dari Muslim bin Ibrahim. Ketiganya
(Ismail bin Ibrahim, Waki’ dan Muslim bin Ibrahim) menuturkannya dari Hisyam
ad-Dastuwa’I, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Rasyid al-Habrani, dari
Abdurrahman bin Syiblin.
Al-Hakim mengomentari jalur ini: Ini adalah hadis
sahih menurut syarat syaikhayn (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi
tidak dikeluarkan oleh keduanya. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi di
dalam At-Talkhish.
Syu’aib al-Arnauth mengomentari jalur Imam Ahmad ini:
Ini hadis sahih, para perawinya perawi syaikhayn kecuali Abu
Rasyid al-Habrani. Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Bukhari di
dalam Adab al-Mufrad dan sejumlah orang meriwayatkan darinya.
Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Afan, dari Aban
dan Musa bin Khalaf. Imam al-Hakim meriwayatkannya dari Abu Abdillah Muhammad
bin Ali ash-Shan’ani, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Abdurrazaq, dari Ma’mar.
Ketiganya (Aban, Musa bin Khalaf dan Ma’mar) menuturkannya dari Yahya bin Abi
Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Salam, dari Abdurrahman bin Syiblin.
Imam al-Hakim berkomentar, “Ini adalah hadis sahih
menurut syarat Muslim, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Hal
ini disepakati oleh adz-Dzahabi.
Makna Hadis
Hadis ini menyebutkan wanita penghuni neraka di
antaranya adalah yang memiliki dua sifat tercela: tidak bersyukur (berterima
kasih) kepada suaminya; jika diuji dengan suatu ujian, ia tidak bersabar. Hadis
ini juga diperkuat oleh sabda Rasul yang lain. Abdullah bin Amru meriwayatkan
bahwa Rasul pernah bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لاَ
تَسْتَغْنِى عَنْهُ
Allah tidak akan memandang seorang wanita yang tidak
berterima kasih kepada suaminya dan tidak (berusaha) mencukupkan diri dari
(pemberian) suaminya (HR
an-Nasai, al-Hakim, ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Syaikh Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi di dalam
kitab Bahr al-Fawâ’id/Ma’âni al-Akhyâr menjelaskan, “Siapa
yang tidak bersyukur (berterima kasih) terhadap pemberian, ia tidak akan bisa
bersabar saat mendapat ujian.” Syukur bisa timbul jika ada rasa qana’ah (merasa
cukup) atas pemberian meski sedikit jumlahnya; juga menghargai pemberian meski
tidak seberapa harganya, karena di dalamnya terkandung nilai maknawi yang besar,
yaitu ketaatan suami atas kewajiban nafkah dan rasa cintanya kepada istri dan
keluarganya.”
Berikut sekelumit teladan dari Umahatul Mukminin dan
penghulu wanita surga Fathimah binti Rasulullah saw.
Ummul Mukminin Aisyah ra. menceritakan, “Pernah datang
kepada kami satu bulan penuh saat kami tidak pernah menyalakan api (tidak
pernah memasak), (makanan kami) tidak lain adalah kurma kering dan air, kecuali
kami dibawakan daging.” (HR al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
Beliau juga bercerita, “Tidaklah keluarga Muhammad
makan dua kali dalam sehari kecuali salah satunya adalah kurma kering.”
Nabi saw. pernah bersabda, “Belum pernah lewat satu
sore dimana keluarga Muhammad memiliki satu sha’ kurma kering atau satu sha’
biji-bijian.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Begitulah makanan yang dinikmati ibunda kita, para
istri Rasul saw. Namun, mereka adalah para wanita yang senantiasa dipenuhi rasa
syukur, rasa berterima kasih dan kesabaran serta jauh dari keluh-kesah.
Dalam hal pakaian, Rasul saw. pernah berpesan kepada
Bunda Aisyah ra., “Jika engkau senang bersamaku (di surga) maka cukuplah
bagimu bagian dari dunia seperti bekal seorang pengendara unta (orang
bepergian), jauhilah bergaul erat dengan orang kaya (khawatir dirasuki sifat
tamak), dan jangan engkau meminta ganti pakaianmu hingga engkau menambalnya.”
(HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Urwah menceritakan bahwa Aisyah ra. tidak mengganti
pakaiannya dengan yang baru hingga ia menambal pakaiannya. Namun, ketakwaan,
kedermawanan, kesalihan dan keilmuannya menjadikannya selalu jelita di mata
Allah, Rasul saw. dan seluruh manusia.
Imam Ali kw. pernah bercerita kepada Ibn A’buda
tentang Fathimah, anggota keluarga yang paling Rasul cintai:
Ia memutar penggilingan hingga berbekas tangannya,
memanggul timba hingga membekas di pundaknya, dan membersihkan rumah hingga
pakaiannya penuh debu. Lalu datang pembantu kepada Rasul saw. Kamudian aku
berkata, “Seandainya engkau datang kepada ayahmu dan meminta seorang pembantu.”
Lalu ia mendatangi Rasul, tetapi banyak orang bersama
beliau. Ia datang lagi besoknya. Rasul bertanya, “Apa keperluanmu?”
Fathimah diam saja. Lalu Ali kw. berkata, “Aku
ceritakan kepadamu, ya Rasulullah. Ia memutar penggilingan hingga berbekas
tangannya, memanggul timba hingga berbekas pundaknya. Lalu ketika datang
pembantu kepadamu, aku menyuruhnya mendatangimu agar meminta pembantu yang bisa
menghilangkan kesusahannya itu.”
Rasul bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, Fathimah,
tunaikan kewajiban Tuhanmu dan kerjakan pekerjaan (mengurus) keluargamu. Jika
engkau menghampiri peraduanmu, bertasbihlah 33 kali, bacalah hamdalah 33 kali,
lalu takbir 34 kali, dan itu genap 100 kali. Itu lebih baik bagimu daripada
seorang pembantu.”
Fathimah pun berkata, “Aku ridha dengan pemberian dari
Allah dan Rasulnya.” (HR Abu Dawud).
WaLlâh al-Muwaffiq ilâ aqwâm ath-tharîq. [Yahya Abdurrahman]
sumber : Majalah
Alwa’i 1-30 juli 2009