Telaah Kitab Demokrasi Sistem Kufur Karya Syekh Abdul Qadim Zallum
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/telaah-kitab-demokrasi-sistem-kufur.htmlOleh : M. Shiddiq
Al-Jawi*
Pendahuluan
“Memilih pemimpin yang
baik hukumnya wajib, maka golput haram,” demikian salah satu butir fatwa MUI
hasil Ijtima’ Ulama 24 – 26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera
Utara. Fatwa tersebut sebenarnya mempunyai satu kelemahan mendasar, yaitu
mengabaikan sistem demokrasi yang ada. Sangat disayangkan. Mestinya dikaji
dulu, apakah sistem demokrasi itu sesuai Islam atau justru bertolak belakang
dengan Islam?
Menurut Hizbut Tahrir,
demokrasi adalah sistem kufur, sehingga implikasinya adalah haram hukumnya
mengadopsi, menerapkan, dan mempropagandakannya. Pada tahun 1990, Hizbut Tahrir
mengeluarkan kitab karya Syekh Abdul Qadim Zallum berjudul Ad-Dimuqrathiyah
Nizham Kufr : Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad-Da’watu Ilaiha. Buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Demokrasi Sistem
Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 1994, cet I).
Telaah kitab kali ini
bertujuan untuk menggambarkan isi buku tersebut, yang selanjutnya judulnya
disingkat DSK (Demokrasi Sistem Kufur ). Seperti telah disebut, buku ini
adalah karya Syekh Abdul Qadim Zallum (w. 2003). Beliau adalah ulama
mujtahid yang faqih fid din yang pernah menjadi Amir
(pemimpin) Hizbut Tahrir antara tahun 1977-2003.
Buku Yang Langka
Buku DSK karya Syekh
Abdul Qadim Zallum tersebut sebenarnya bukan satu-satunya buku yang mengkritik
demokrasi secara telak dan mendasar. Banyak buku lain yang juga menolak konsep
demokrasi, misalnya :
Bab Ad
Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika
Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun
1996;
2. Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min
Wadh’i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir
tahun 1994;
3. Ad-Damghah Al-Qawiyyah
li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya
Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair);
4. Asy-Syakhshiyyah
Al-Islamiyyah Juz I(Bab Asy-Syura h.
246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir);
5. Qawaid Nizham Al-Hukmi
fi Al- Islam (Bab Naqdh
Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir);
6. Ad-Dimuqratiyyah fi
Dhaw’i as-Syari’ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan
Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi;
7. Ad-Dimuqratiyyah wa
Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih
(ulama Hizbut Tahrir);
8. Ad-Da’wah Ila
Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah
Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut
Tahrir);
9. Syura Bukan Demokrasi
(Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi,
terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;.
10. Naqdh al-Judzur
Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002);
11. Haqiqah
Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad
Syakir Asy-Syarif (1411 H);
12. Ad-Dimuqrathiyah
wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi
(1427 H);
13.Ad-Dimuqrathiyah
Diin (Agama Demokrasi), karya
Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II).
Bahkan Syekh Abdul Qadim
Zallum sendiri sebenarnya telah mengkritik demokrasi secara ringkas dalam
kitabnya yang lain, yakni Kaifa Hudimat Al Khilafah (Bab Munaqadhat Ad-Dimuqrathiyah li
Al-Islam, h. 59-79).
Namun demikian, buku
semacam DSK ini tetaplah terhitung jarang jika dibandingkan dengan buku-buku
yang mempropagandakan demokrasi, yang jumlah bejibun nyaris tak terhitung lagi,
baik yang memang ditulis kaum kafir maupun yang ditulis oleh intelektual muslim
yang salah paham terhadap demokrasi. Lihat saja misalnya, buku
berjudul Fiqih Daulah karya Yusuf
Al-Qaradhawi. Berkaitan dengan demokrasi, Al-Qaradhawi menyatakan
“keprihatinannya” tatkala suatu saat dia bertemu dengan seorang pemuda Yordania
yang menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang kufur. Padahal,
menurut Al Qaradhawi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam sebab inti
demokrasi adalah bahwa hak memilih penguasa ada di tangan rakyat. Dan hak
semacam ini, katanya, ada dalam Islam.
Tak ayal lagi, pendapat
Al Qaradhawi ini –yang sebenarnya tidak tepat itu— disambut hangat dan meriah
oleh sebagian kaum muslimin yang tengah mencari-cari justifikasi untuk terlibat
dalam sistem demokrasi.
Di tengah banjirnya
propaganda demokrasi yang tak kenal henti inilah, kehadiran buku DSK nampak
menggugah dan menantang. Menggugah, karena kehadirannya mengingatkan kita bahwa
di saat umat tenggelam dalam kegilaan dan kemabukan terhadap demokrasi ternyata
masih saja ada ulama-ulama pelita umat yang jujur dan ikhlas membimbing umat
serta menyampaikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Dan dikatakan
menantang, karena buku DSK tidak memposisikan diri secara defensif dan apologis
sebagai pihak yang diserang. Sebaliknya, DSK mengambil posisi ofensif yang
tidak tanggung-tanggung tanpa kenal kompromi. Ungkapan “Demokrasi Sistem Kufur”
adalah deklarasi yang menantang, heroik, berani, tanpa tedeng aling-aling, dan
tanpa basa-basi. Dalam ungkapan ini terkandung daya tantangan yang dahsyat,
yang sungguh akan terlihat kontras bila dibandingkan dengan ungkapan para
intelektual muslim yang menggembar-gemborkan demokrasi tanpa rasa malu sampai
berbusa-busa mulutnya, atau ungkapan sebagian ulama yang memutar-mutar lidahnya
hanya untuk memberi justifikasi palsu terhadap demokrasi.
Ringkas kata, buku DSK
merupakan buku yang sangat layak dikaji oleh umat yang nasibnya terus terpuruk
dan tak henti-hentinya dipermainkan oleh negara-negara Barat kafir yang katanya
merupakan pionir-pionir demokrasi itu. DSK boleh dikatakan semacam obat mujarab
yang dapat menyembuhkan umat yang tengah mengidap penyakit bingung dan sesat
akibat upaya Barat –dan antek-anteknya dari kalangan penguasa dan intelektual
muslim– yang tak kenal lelah menjajakan demokrasi yang kufur itu.
Gambaran Isi Buku
Mereka yang membaca DSK
akan menemukan bahwa buku itu ditulis tanpa daftar isi, tanpa pembagian menjadi
bab-bab, dan tanpa sub-sub judul. (Kitab aslinya yang berbahasa Arab juga tanpa
daftar isi, tanpa bab-bab, dan tanpa anak judul). Sehingga, DSK terkesan
“aneh”, tidak efektif, tidak sistematis, dan terasa janggal. Namun demikian, di
balik kesan-kesan seperti itu, sebenarnya teknik penulisan DSK itu memang
disengaja dan mempunyai maksud tertentu, yaitu ingin mengajak pembacanya untuk
lebih mencurahkan konsentrasi dan daya pikirnya, sehingga pembaca akhirnya
dapat menangkap substansi buku dan merangkai sendiri urutan dan sistematika
berpikir penulis. Jadi, DSK memang bukan buku instan seperti fastfood yang cepat saji, melainkan buku yang betul-betul
mengajak pembacanya untuk berpikir keras dalam memahami dan mencerna suatu ide.
Kesan-kesan bahwa DSK tidak efektif, tidak sistematis, dan sebagainya –karena
melulu berisi teks tanpa anak-anak judul– barangkali hanya akan dirasakan oleh
mereka yang malas berpikir.
Dengan menelaah DSK
secara cermat, setidaknya ada 5 (lima) ide pokok (pikiran utama) yang hendak
disampaikan oleh penulisnya, yaitu :
, Deskripsi ringkas
demokrasi,
Kedua, Praktek dan paradoks demokrasi,
Ketiga, Sebab dianutnya demokrasi oleh umat Islam ,
Keempat, Kaidah pengambilan ide dari umat dan bangsa lain,
Kelima, Kontradiksi demokrasi dengan Islam.
Ide pokok pertama,
menjelaskan tentang demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar
belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta
hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
Ide pokok kedua,
menerangkan bagaimana demokrasi yang sebenarnya ide khayal itu dipraktekkan
dalam kenyataan. Dijelaskan pula paradoks yang terjadi di negara-negara Barat
dan negeri-negeri Islam dalam penerapan demokrasi.
Ide pokok ketiga,
menerangkan 2 (dua) sebab utama mengapa umat mengambil demokrasi, yakni
serangan pemikiran yang dilancarkan Barat, dan kelemahan pemahaman di kalangan
kaum muslimin.
Ide pokok keempat,
menerangkan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum
muslimin dari umat dan bangsa lain, serta tentang hal-hal yang haram diambil
oleh kaum muslimin.
Ide pokok kelima,
menerangkan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber
kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan
peraturan yang dibawanya.
Berikut ini uraian lebih
jauh untuk masing-masing ide pokok.
Ide I : Deskripsi Ringkas
Demokrasi
Pada bagian awal DSK,
Syekh Abdul Qadim Zallum berusaha menguraikan demokrasi secara ringkas. Satu
hal yang beliau tekankan, bahwa demokrasi mempunyai latar belakang
sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang
dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan
manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja
terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama,
dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai
kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi,
tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara
implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara
buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi
kelahirannya.
Penjelasan ringkas ini
meliputi 5 (lima) aspek utama yang berkaitan dengan demokrasi, yaitu :
a). Asal-usul demokrasi ,
b). Aqidah demokrasi,
c). Ide dasar demokrasi,
d). Standar demokrasi
(yaitu mayoritas), dan
e). Kebebasan dalam
demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan
kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.
Berdasarkan kelima aspek
ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Demokrasi adalah
buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT.
2 Demokrasi lahir dari
aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan
agama dari negara.
3. Demokrasi berlandaskan
dua ide :
a. Kedaulatan di tangan
rakyat.
b. Rakyat sebagai sumber
kekuasaan.
4. Demokrasi adalah
sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan,
serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan
pendapat mayoritas.
5. Demokrasi menyatakan
adanya empat macam kebebasan, yaitu :
a. Kebebasan beragama (freedom
of religion)
b. Kebebasan berpendapat
(fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan
(freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah
laku (personal freedom)
Ide II : Praktik dan
Paradoks Demokrasi
Demokrasi adalah ide
khayal (utopia), tidak sesuai dengan realitas dan penuh dengan paradoks, dan
telah melahirkan dampak-dampak yang sangat buruk dan mengerikan terhadap umat
manusia. Inilah yang hendak diuraikan oleh buku DSK pada ide pokok keduanya.
Demokrasi dalam
pengertiannya yang asli adalah ide khayal, sedang setelah dilakukan takwil
padanya, tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada. Misalnya ide bahwa
pemerintahan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dan bahwa kepala negara dan
anggota parlemen merupakan wakil dari kehendak rakyat dan mayoritas rakyat.
Faktanya, tidak seperti itu. Mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan.
Karena itu, penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, sehingga katanya,
rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen. Benarkah para anggota
parlemen betul-betul mewakili rakyat dan membawa aspirasi mereka? Benarkah
kepala negara yang dipilih oleh parlemen juga menyuarakan hati nurani
rakyatnya? Ah, ternyata tidak juga. Bohong itu semua. Di negara-negara
kapitalis, seperti Amerika dan Inggris, anggota parlemen sebenarnya mewakili
para kapitalis, bukan mewakili rakyat. Di Amerika, proses pencalonan dan
pemilihan wakil rakyat selalu dibiayai oleh para kapitalis, demikian uraian
Syekh Abdul Qadim Zallum.
Banyak data kuantitatif
yang menguatkan pernyataan ini. Untuk proses pencalonan satu orang senator
saja, dibutuhkan biaya US $ 43 juta dolar. (Lihat Andrew L. Shapiro, Amerika
Nomor 1, h. 89). Seberapa besar uang senilai US $ 43 juta dolar itu? Bayangkan,
uang US $ 1 juta dolar saja (sekali lagi US $ 1 juta dolar saja), adalah sama
dengan biaya pembelian 100.000 ton beras, yang dapat mencukupi kebutuhan
500.000 orang dalam satu tahun. Uang US $ 1 juta dolar dapat digunakan untuk membangun
1.000 ruang kelas yang dapat menampung sebanyak 30.000 siswa, serta dapat
dimanfaatkan untuk membangun 40.000 apotik sederhana. (Lihat Rudolf H.
Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Jadi, sangat besar biaya untuk
menjadi wakil rakyat di AS. Lalu, siapa yang menanggungnya? Jelas bukan rakyat
dan calon bersangkutan. Para kapitalislah yang membiayai semuanya! Fakta ini
sudah terkenal di Amerika.
Apakah seorang kepala
negara yang dipilih parlemen benar-benar menyuarakan atau memperhatikan aspirasi
rakyat? Ternyata juga tidak. Dalam DSK diuraikan contoh-contoh yang pernah ada
dalam sejarah mengenai penguasa yang bertindak sendiri, tanpa persetujuan
mayoritas parlemen, seperti Sir Anthony Eden (Inggris), John Foster Dulles
(AS), Charles De Gaule (Perancis), dan Raja Hussein (Yordania).
Di samping menyoroti
paradoks-paradoks demokrasi seperti itu, DSK juga menyinggung dampak-dampak
buruk penerapan demokrasi. Kebebasan hak milik (sebagai prasyarat demokrasi),
telah melahirkan kapitalisme yang akhirnya menjadi sarana negara-negara Barat
untuk menjajah dan mengeksplotir berbagai bangsa di dunia. Akibat kapitalisme
itu terutama adalah semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin
membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Banyak data kuantitatif yang
membeberkan kenyataan ini. Negara-negara industri yang kaya (seperti AS,
Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk
dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 %
penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H.
Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Inilah tragedi akbar terhadap
umat manusia akibat demokrasi yang kafir!
Kebebasan bertingkah laku
yang dijajakan Barat, ternyata menimbulkan kebejatan moral yang mengerikan di
Barat dan juga di negeri-negeri Islam yang mengekor Barat. Mayoritas rakyat AS
(sebanyak 93 %) mengakui tidak mempunyai pedoman moral dalam hidupnya. Sekitar
31 % orang masyarakat AS yang telah berumah tangga pernah melakukan hubungan
seks dengan pasangan lain. (Jumlah ini kira-kira setara dengan 80 juta orang).
Mayoritas orang AS (62 %) menganggap hubungan seks dengan pasangan lain adalah
sesuatu yang normal dan tidak bertentangan dengan tradisi atau moral. (Lihat
Muhammad bin Saud Al-Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, h. 13-32).
Sungguh, ini menggambarkan betapa buruknya moral para penganut demokrasi!
Ide III : Sebab
Diambilnya Demokrasi oleh Umat Islam
DSK pada bagian ini
menerangkan mengapa demokrasi yang jelek itu tetap saja laku di kalangan umat
Islam. Secara global, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan ada 2 (dua) sebab,
yaitu :
Pertama, serangan
kebudayaan (al-ghazwu ats-tsaqofi) yang dilancarkan Barat terhadap
negeri-negeri Islam, yang dilancarkan sejak lama bahkan sebelum runtuhnya Khilafah
Islamiyah, dan memuncak pada pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh
kedua abad XIX M).
Kedua, kelemahan dan
kemerosotan taraf berpikir umat yang sangat parah. Kedua faktor ini saling
bersinergi secara negatif, sehingga akhirnya umat terpikat dan terkecoh untuk
mengambil peradaban Barat.
Dalam serangan
kebudayaan, Barat antara lain menempuh cara menjelek-jelekkan Islam dan
menerangkan bahwa biang kerok kemerosotan umat Islam adalah hukum-hukum Islam
itu sendiri. Selain itu, Barat juga melakukan manipulasi pemikiran dengan
menyatakan bahwa demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam dan bahwa justru
Barat mengambil demokrasi dari Islam.
Sementara itu, pada saat
yang sama kaum muslimin tengah anjlok taraf berpikirnya. Khususnya mengenai
sikap yang harus diambil terhadap ide-ide yang berasal dari bangsa dan umat
lain. Umat masih bingung dan belum mempunyai standar yang jelas mengenai apa yang
boleh diambil dan tidak boleh diambil dari bangsa dan umat yang lain.
Adanya serangan Barat dan
kemerosotan taraf berpikir umat inilah yang akhirnya menjerumuskan umat untuk
mengambil ide demokrasi Barat yang kafir.
Ide IV : Kaidah
Pengambilan Ide dari Umat dan Bangsa Lain
Pada bagian ini, dengan berlandaskan kajian yang
komprehensif terhadap nash-nash syara’, penulis DSK menerangkan mana saja
hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin –dari apa yang dimiliki oleh umat dan
bangsa lain– dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.
Standar atau kriterianya
adalah sebagai berikut. Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi,
penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk
benda/alat/bangunan yang terlahir dari kemajuan sains dan teknologi (madaniyah), boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika
terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin
haram untuk mengambilnya, seperti Teori Darwin.
Ini dikarenakan semua
pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan
Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang berkedudukan sebagai solusi
terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke
dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan
hidupnya. Dalam hal ini Rasullah SAW bersabda :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui
urusan-urusan dunia kalian.” (HSR. Muslim)
Adapun ide-ide yang
berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta ide-ide yang yang
berhubungan dengan peradaban/kultur Islam (hadlarah), pandangan hidup Islam, dan hukum- hukum yang
menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib
disesuaikan dengan ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun
kecuali hanya dari Syari’at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang
terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan
oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh
diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Sebab dalam hal ini Allah SWT telah
memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada
kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang
diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia,
dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Karena itu, kaum muslimin
tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat, beserta segala peraturan dan
undang-undang yang terlahir darinya, termasuk demokrasi. Sebab peradaban
tersebut bertentangan dengan peradaban Islam.
Ide V : Kontradiksi
Demokrasi dengan Islam
Pada ide pokok kelima
ini, Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam
dengan demokrasi, yaitu :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang
kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan
(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan
demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya
benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para
pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul
tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa
dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan
manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat
bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah,
yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal
ini Allah SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa
wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)
(2). Aqidah
Adapun aqidah yang
melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara
(sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi)
antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan
dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama,
serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan
para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas
para rohaniwan.
Aqidah ini tidak
mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur
kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan
kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Sedangkan Islam,
sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas
landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan
Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh
urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak
berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani
kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
(3). Pandangan Tentang
Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi menetapkan
bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan
kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa
rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat
berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat
dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui
para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.
Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif.
Sementara itu, Islam
menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat.
Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak
berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam:
57)
Dalam hal kekuasaan,
Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa
umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan
pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari
hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah
di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang
di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi memutuskan
segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam,
tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang
berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan
mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
(2) Untuk masalah yang
menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan
suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah
teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian),
kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi
dalilnya.
>(5). Kebebasan
Dalam demokrasi dikenal
ada empat kebebasan, yaitu:
a. Kebebasan beragama (freedom
of religion)
b. Kebebasan berpendapat
(fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan
(freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah
laku (personal freedom)
Ini bertentangan dengan
Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam
segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum
syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya
iman padanya. Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham-
mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”(QS. An Nisaa’: 65)
Penutup
Setelah menguraikan
kontradiksi yang teramat nyata antara demokrasi dengan Islam, pada bagian akhir
kitab DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat
tegas, jelas, dan tanpa tedeng aling-aling. Tujuannya adalah agar umat Islam
terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama
itu sebagai berikut :
Pertama, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke
negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya
dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat
bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam
sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya,
serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Kedua, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan
menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang
berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai
pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi
konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan
undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan
tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang
demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum
thaghut.” [ ]
= = = =
**Penerjemah
kitab Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim
Zallum) dan kitab Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belha