Status Orang yang Tidak berhukum dengan Hukum Allah
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/status-orang-yang-tidak-berhukum-dengan.htmlSoal:
Di dalam al-Quran
terdapat celaan yang amat keras terhadap orang yang tidak menetapkan hukum
dengan hukum yang diturunkan Allah Swt. Dalam QS al-Maidah [5]: 44 mereka
disebut sebagai orang kafir. Dalam ayat berikutnya (45), disebut sebagai orang
dzalim dan dalam QS al-Maidah [5]: 47 mereka disebut sebagai orang fasik.
Bagaimana katagorisasi ketiga predikat tersebut?
Jawab:
Memang benar terdapat
celaan yang keras bagi orang yang tidak menetapkan hukum dengan hukum Allah
Swt. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir (QS
al-Maidah [5]: 44).
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan barang siapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang dzalim (QS
al-Maidah [5]: 45)..
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan arangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik (QS
al-Maidah [5]: 47).
Ayat ini, sekalipun turun
berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya
untuk mereka. Sebab, ungkapan ayat ini bersifat umum. Kata man yang
berkedudukan sebagai syarat memberikan makna umum, sehingga tidak dikhususkan
kepada kelompok tertentu.[1] Sedangkan
dalam kaidah yang rajih disebutkan:
الْعِبْرَةُ
بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
Berlakunya hukum
dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.
Oleh karena itu ketiga
ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah Swt. Kesimpulan ini juga dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, al-Nakhai,[2] Ibnu
Abbas, Ibrahim, al-Hasan, dan al-Sudi.[3] Juga
Fakhruddin al-Razi, Ibnu ‘Athiyyah, al-Qinuji, al-Samarqandi, dan Mahmud
Hijazi.[4]
Meskipun bersifat umum,
bukan berarti semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Alllah
secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara
lebih cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfir (pengkafiran)
yang tidak pada tempatnya.
Perbuatan ‘memutuskan
perkara dengan hukum Allah’ termasuk dalam wilayah syariah. Secara syar’i,
perbuatan tersebut termasuk dalam hukum wajib. Ketetapan hukum ini didasarkan
pada dalil-dalil qath’iyy (pasti,
tidak memungkinkan alternatif ganda), baik qath’iy al-tsubût (pasti
penetapan sumbernya) maupun qath’iyy
al-dalâlah (pasti penunjukannya). Dalil-dalil semacam itu itu
bertebaran dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Di antara dalil-dalil
yang menghasilkan kesimpulan hukum wajib adalah adanya perintah tegas untuk
memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan-Nya dan larangan mengikuti hawa
nafsu kaum kafir (QS al-Maidah [5]: 48, 49); kewajiban mentaati Allah Swt dan
Rasulullah saw dan mengembalikan semua perkara yang diperselisihkan kepada
keduanya (QS al-Nisa’ [4]: 59); penolakan keimanan orang yang tidak mau
berhukum kepada Rasulullah saw (QS al-Nisa’ [4]: 65); ancaman ditimpakannya
fitnah atau azab pedih bagi orang yang menyimpang dari perintah Rasulullah saw
(QS al-Nur [24]: 63); celaan terhadap orang yang meminta keputusan hukum
kepada thaghût (al-Nisa’
[4]: 60); dan masih banyak lagi lainnya. Tak aneh jika wajibnya memutuskan
perkara dengan hukum Allah Swt ini terkatagori dalam perkara ma’lûm min al-dîn bi
al-dharûrah (yang telah diketahui sebagai bagian dari agama
karena urgensinya).
Sebagai persoalan yang
termasuk dalam wilayah syariah, meninggalkan kewajiban ini dapat dikatagorikan
sebagai perbuatan dosa. Kendati demikian, pelanggaran tersebut, tidak sampai
mengeluarkan seseorang dari status keimanannya atau keislamannya. Tindakan itu
seperti halnya memakan riba, membunuh, mencuri, atau berzina. Memang perbuatan
itu termasuk dalam dosa besar. Akan tetapi, tidak mengeluarkan seorang muslim
dari agamanya. Pelakunya juga tidak bisa disebut murtad karenanya.
Status kafir atau murtad
baru dapat diberikan apabila sudah taraf mengingkari hukum-hukum-Nya. Apabila
seseorang mengingkari wajibnya berhukum dengan syariah, maka pengingkaran itu
dapat menyebabkannya keluar dari Islam alias kafir. Status kafir atau murtad
itu tidak disebabkan karena tindakannya yang tidak memutuskan perkara dengan
hukum Allah, namun karena pengingkarannya terhadap suatu perkara telah
dipastikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika sudah pada taraf pengingkaran,
masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum syara’, namun
sudah masuk dalam wilayah aqidah. Sementara aqidah inilah yang menjadi pembeda
antara orang mukmin dengan orang kafir.
Oleh karena kewajiban
menerapkan syariah itu didasarkan pada dalil-dalil yang qath’iyy, baik qath’iy al-tsubût maupun qath’iyy al-dalâlah, maka
mengingkari wajibnya memutuskan perkara dengan syariah sama halnya dengan
mengingkari ayat-ayat tersebut. Sementara, mengingkari sebagian ayat al-Quran
sudah cukup mengeluarkan seseorang dari keimanan. Allah Swt berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ
اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ
أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا . أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan
(tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang
kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu
siksaan yang menghinakan (QS
al-Nisa’ [4]: 150-151).
Allah Swt juga berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu beriman
kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat (QS
al-Baqarah [2]: 85).
Demikianlah pendapat para
ulama ketika menjelaskan makna ayat ini. Ibnu Abbas mengatakan:
مَنْ جَحَدَ
مَا أَنْزَلَ اللهُ فَقَدْ كَفَرَ. وَمَنْ أَقَرَّ بَهَ وَلَمْ يَحْكُمْ، فَهُوَ
ظَالِمٌ فَاسِقٌ
Barangsiapa yang
mengingkari apa yang diturunkan Allah, sungguh dia telah kafir. Dan barang
siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka dia adalah dzalim-fasik.[5]
Ikrimah juga sejalan
dengan pendapat tersebut. Dia menyatakan:
قوله {وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ الله} إنما يتناول من أنكر بقلبه وجحد بلسانه ، أما
من عرف بقلبه كونه حكم الله وأقر بلسانه كونه حكم الله ، إلا أنه أتى بما يضاده
فهو حاكم بما أنزل الله تعالى ، ولكنه تارك له ، فلا يلزم دخوله تحت هذه الآية
“Firman Allah ‘waman lam yahkum bimâ
anzalaLlâh’ itu
mencakup orang yang mengingkari di hatinya dan mendustakan dengan lisannya.
Adapun orang yang mengakui di hatinya keberadaanya sebagai hukum Allah, membenarkan
dengan lisannya keberadaannya sebagai hukum Allah, hanya saja dia melakukan
yang sebaliknya, maka sebenarnya dia memutuskan dengan hukum Allah, akan tetapi
dia meninggalkannya, maka dia tidak termasuk dalam cakupan ayat ini.”[6]
Pendapat Ikrimah ini juga
nyatakan oleh Fakhruddin al-Razi sebagai jawaban yang shahih.[7] Syekh
Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm menuturkan:
وقد أمر
الله السلطان والحاكم أن يحكم بما أنزل الله على رسوله, وجعل من يحكم بما بغير ما
أنزل الله كافرا إن اعتقد به, أو اعتقد بعدم صلاحية ما أنزل الله على رسوله, وجعل
عاصيا وفاسقا وظالما إن حكم به ولم يعتقده
Dan sungguh Allah
telah memerintahkan sultan dan penguasa untuk berhukm dengan apa yang Allah Swt
turunkan kepada rasul-Nya; dan menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah turunkan sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau menyikini
tidak layaknya apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang
maksiat, fasik, dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang
Allah turunkan) dan tidak meyakininya.”[8]
Pandangan demikian,
menurut Wahbah al-Zuhaili merupakan pandangan jumhur Ahlussunnah.[9]
Bertolak dari paparan di
atas, jelaslah status kafir diberikan kepada orang yang mengingkari kebenaran,
kelayakan, dan kewajiban berhukum dengan hukum Allah Swt. Namun jika masih
meyakini kebenaran, kelayakan, dan kewajiban berhukum dengan hukum Allah,
statusny yang diberikan adalah dzalim dan fasik.
Patut ditandaskan, sikap
tidak berhukum dengan hukum Allah hanya menyebabkan pelakunya menderita
kerugian dan kesengsaraan. Sebab, hanya ada tiga alternatif bagi orang seperti
itu, yakni kafir, dzalim, atau fasik (lihat QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Status
kafir tentu yang paling ditakutkan. Pasalnya, status itu akan mengakibatkan
seluruh amal perbuatan manusia terhapus dan sia-sia. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَلِقَاءِ الْآَخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ
يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah
perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka
kerjakan (QS
al-A’raf [7]: 147).
Dengan besarnya sanksi itu,
siapa lagi yang masih berani menolak syariah-Nya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb (Rokhmat S. Labib, M.E.I; Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)
[1] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol.
12, 6; al-Syaukani, Fath
al-Qadîr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol.
3, 428
[2] al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol.
3, 428; al-Khazin, Lubâb
al-Ta’wîl, vol. 2, 48
[3] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol.
10, 593; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth
fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191
[4] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol.
12, 6; Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar
al-Wajîz, vol.2, 196; Dengan ungkapan yang sedikit berbeda,
alasan ini juga dikemukakan Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.
3, 55; al-Qinuji, Fath
al-Bayân, vol. 3, 427; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol.
1 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 439; Mahmud Hijazi, al-Tafsîr al-Wadhîh, vol.
1 (Kairo: Dar al-Tafsir, 1992), 519
[5] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol.
10; al-Wahidi, al-Wasîth
fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2, 191; Ibnu
Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 2 , 80; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
2, 56; al-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, vol. 1, 439
[6] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol.
12, 6; al-Zuhayli, Tafsîr
al-Munîr, vol. 5, 208
[7] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol.
12, 6
[8] Taqiyuddin
al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzâm
al-Hukm fî al-i\Islâm (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 20
[9] al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5,
206