Siksaan Tidak Hanya Menimpa Orang Zalim
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/siksaan-tidak-hanya-menimpa-orang-zalim_28.html
Oleh : KH.M. Shiddiq al-Jawi
]وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[
Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya.
(QS al-Anfal [8]: 25)
Makna Umum Ayat
Ayat di atas merupakan salah satu ayat teragung, sekaligus
paling menegakkan bulu roma, yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar.
Banyak kitab dakwah yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas
amar makruf nahi mungkar.[1] Ayat
tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hadzr) akan siksaan (azab) yang
menimpa secara umum, baik yang zalim maupun yang tidak zalim. Karena itu,
secara syar‘î, bagi orang yang melihat kezaliman/kemungkaran
dan mempunyai kesanggupan, wajib hukumnya untuk menghilangkan kemungkaran itu.[2] Inilah
cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan amar makruf
nahi mungkar terhadap pihak yang berbuat zalim atau mungkar.[3]
Pelaku kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik
individu, kelompok, maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar makruf nahi
mungkar ini tidak dilaksanakan maka semuanya berdosa; mereka layak menerima
azab Allah yang ditimpakan secara merata, baik atas yang berbuat mungkar maupun
yang tidak. Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.[4]
Pendapat Para Mufassir
Imam al-Baghawi (w. 510 H) dalam Ma‘âlim at-Tanzîl (II/204)
menerangkan makna fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip
pendapat Ibnu Zaid, sebagai terpecah-belahnya kesatuan kata (iftirâq al-kalimah) dan saling menyelisihi satu sama
lain. Makna ayat ialah, “Peliharalah diri kalian dari siksaan yang menimpa
orang zalim dan orang yang tidak zalim.”
Al-Baghawi juga
menukil Ibnu Abbas yang berkata, “Allah Swt. telah memerintahkan orang-orang
Mukmin untuk tidak membiarkan kemungkaran di hadapan mereka. Jika tidak, Allah
akan meratakan azab atas mereka, menimpa orang zalim maupun yang tidak.”
Nabi saw. bersabda:
«إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ الْعَامَةَ بِعَمَلِ الْخَاصَةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانِيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوْهُ فَلاَ يُنْكِرُوْهُ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَذَّبَ اللهُ الْعَامَةَ وَالْخَاصَةَ»
Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena
perbuatan orang-orang tertentu hingga masyarakat umum melihat kemungkaran di
hadapan mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tetapi mereka tidak
mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian maka Allah akan menyiksa
masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu. (HR Ahmad dan ath-Thabrani).[5]
Imam Ibnu al-‘Arabi (w. 543 H) dalam Ahkâm al-Qur’ân (IV/228)
menjelaskan, pengertian kata fitnah dalam
ayat tersebut adalah al-baliyah yang berarti cobaan/ujian (pendapat
al-Hasan al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya al-adzab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas
dengan mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan
orang-orang Mukmin untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan
mereka. Jika tidak, Allah akan meratakan azab kepada mereka. Diriwayatkan, ada
sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa, sedangkan di
tengah kami ada orang-orang salih?” Nabi menjawab, “Ya, jika keburukan telah
meluas.” (HR Muslim).[6]
Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menerangkan, fitnah yang dimaksud adalah meluasnya kemaksiatan (zhuhûr al-ma‘âshi), menyebarnya kemungkaran (intisyâr al-munkar), dan tidak adanya upaya mengubah kemungkaran
(‘adam at-taghyîr). Beliau juga meriwayatkan penafsiran
Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi.[7]
Menurut Imam al-Baydhawi (w. 685 H), fitnah dalam
ayat tersebut maksudnya dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat tersebut adalah,
“Peliharalah diri kalian dari dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai
kalian, yaitu seperti dosa mengakui kemungkaran yang tampak di hadapan kalian,
bersikap menjilat (mudâhanah) dalam amar makruf nahi munkar,
terpecah-belahnya kesatuan kata (iftirâq al-kalimah),
munculnya bid‘ah, dan melalaikan jihad.[8]
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) juga meriwayatkan penafsiran Ibnu
Abbas terhadap ayat ini, yakni bahwa Allah memerintahkan kaum Muslim untuk
tidak membiarkan kemungkaran. Jika tidak, Allah akan meratakan azab kepada
mereka baik yang zalim maupun yang tidak.[9]
Dalam kitab Tafsir Jalalayn, As-Suyuthi menerangkan bahwa cara
menghindarkan diri dari siksaan/azab adalah dengan mengingkari kemungkaran yang
menjadi penyebabnya.[10]
Imam asy-Syawkani (w. 1250 H), dalam kitab Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr (hlm. 230) karya
al-Asyqar, menerangkan bahwa makna ayat di atas aalah, “Peliharalah diri kalian
dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim sehingga menimpa orang
salih dan tidak saleh.”
Menurut Asy-Syawkani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang
tidak memenuhi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq, dan tidak mengingkari yang batil. Menurut beliau,
bahwa di antara kerasnya siksaan Allah ialah ditimpakannya azab bagi
orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi karena mereka tidak beramar
makruf nahi mungkar sehingga kerusakan menjadi luas, lalu hukuman ditimpakan
secara umum.[11]
Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut artinya ikhtibâr (ujian) dan mihnah (cobaan).[12] Ia
juga menerangkan, bahwa dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya
cobaan yang merata yang menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat
buruk. Cobaan ini tidak hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi
merata dan tidak dapat dihindari dan dilenyapkan. Menurut beliau, peringatan
pada ayat ini berlaku umum untuk semuanya.
Imam Nawawi al-Jawi dalam Marah Labid (I/350)
berkata, arti ayat di atas ialah, “Berhati-hatilah/waspadalah kalian terhadap
fitnah, yang jika menimpa kalian, tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi
akan mengenai kalian semuanya, baik orang yang salih maupun yang tidak.
Berhati-hati terhadap fitnah itu adalah dengan cara melarang kemungkaran.
Karena itu, wajib atas orang yang melihat kemunkaran untuk menghilangkan
kemungkaran jika ia mempunyai kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan
kemungkaran itu, maka semuanya telah berbuat maksiat. Yang melakukan
kemungkaran bermaksiat karena perbuatan mungkarnya; yang mendiamkan kemungkaran
juga bermaksiat karena rela dengan kemunkaran itu. Ciri rela terhadap
kemungkaran adalah tidak merasa sedih melihat penyimpangan agama oleh perbuatan
maksiat. Artrinya, siapa saja yang seperti itu, berarti dia telah rela terhadap
kemungkaran sehingga hukuman dan musibah akan terjadi secara merata.[13]
Pentingnya Amar Makruf Nahi Munkar
Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan
amar makruf nahi mungkar terhadap siapa saja yang berbuat zalim atau mungkar.
Sebab, jika kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang
menimpa secara umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.
Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok,
atau penguasa. Seab, frasa alladzîna zhalamû (orang-orang zalim) bersifat
umum. Sesuai dengan kaidah ushul bahwa isim mawshul (di
antaranya alladzîna) memberikan arti umum.[14] Mengenai
kemungkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn,
menjelaskannya bermacam-macam kemungkaran berdasarkan tempat, seperti
kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya.[15] Dalam
konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak,
seperti kemungkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan,
salon, kafe, bioskop, kampus, dan sebagainya. Kemungkaran yang dilakukan
kelompok, misalnya kemungkaran segerombolan perampok; partai politik nasionalis
(sekular) yang tidak berasaskan Islam; sebagian partai politik Islam yang
mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam; serta kelompok yang
mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada
kaidah-kaidah ideologi kapitalisme-sekular. Kemungkaran penguasa, misalnya,
menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara serta menjalankan
sistem demokrasi dalam bidang politik dan sistem kapitalisme dalam bidang
ekonomi.
Semua itu termasuk
kemungkaran atau kezaliman yang wajib kita hilangkan sesuai dengan kesanggupan
yang kita miliki. Jika umat diam saja serta tidak melakukan amar makruf nahi
mungkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah; karena berbagai cobaan,
bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara merata. Hancurnya
kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta porak-porandanya kondisi
ekonomi merupakan sekelumit akibat buruk yang bisa kita alami secara
bersama-sama akibat kelalaian kita beramar makruf nahi mungkar terhadap
kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.
Jelaslah, bahwa Islam adalah dîn yang lurus
yang mengajarkan adanya kepedulian dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan
kebaikan masyarakat, bukan ideologi individualis yang hanya mementingkan diri
sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama masyarakat. Itulah dîn yang telah mewajibkan amar makruf nahi mungkar
sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di
antara seluruh umat manusia (QS Ali Imran [3]: 110). Inilah ciri khas yang
berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang
kemungkaran yang dilakukan di antara mereka (QS al-Maaidah [5]: 79), dan
berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar mungkar
nahi makruf (QS at-Taubah [9]: 67). Wallâhu a‘lam. []
[1] Lihat misalnya Ibnu Taymiyah, Menuju Umat Amar Ma’ruf Nahi
Munkar (Al-Amru bil-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an Al-Munkar), terjemahan
oleh A.H. Hasan, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988. hal. 36; Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Cetakan XI, Jakarta: Media Dakwah,
2000, hlm. 112.
[2] Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsîr an-Nawawi, Beirut:
Darul Fikr, I/350.
[3] Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur’ân al-‘Azhîm
(Al-Jalalain), Beirut: Darul Fikr, 1991, hlm. 133.
[4] Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr (Mukhtashar Tafsîr
asy-Syaukani), Kuwait: Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah,
1985, hlm. 230.
[5] Al-Husain ibn Mas’ud Al-Farra` Al-Baghawi, Ma‘âlim at-Tanzîl, Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah,
1993, II/203; penafisiran semakna, lihat ‘Ala`uddin Al-Khazin (w. 741 H), Lubab At-Ta’wîl fî Ma‘ân at-Tanzîl (Tafsîr al-Khazin), Beirut:
Darul Fikr, tanpa tahun, II/22-23.
[6] Imam Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân,
4/228.
[7] Imam Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân,
6/391.
[8] Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr
at-Ta’wîl (Tafsir al-Baydhawi), Beirut: Darul Fikr, t.t., 3/46-47.
[9] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklîl fî Istinbâth
at-Tanzîl, Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi, t.t. hlm. 113; Lihat
juga Abu Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn
‘Abbas, hlm. 147.
[10] Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm
(Al-Jalâlayn), Beirut: Darul Fikr, 1991, hlm. 133.
[11] Al-Asyqar, Op. cit. hlm. 230
[12] Tafsir Ibnu Katsir, 2/300.
[13] An-Nawawi Al-Jawi, Op. cit, I/350.
[14] Imam Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhul,
Beirut: Darul Fikr, t.t. hlm. 121; Wahbah Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî,
Damaskus: Darul Fikr, 2001, 1/248.
[15] Lihat Imam Al-Ghazali, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, Ihya’ Ulumiddin, terjemahan oleh Imron Abu Amar,
Jakarta: Pustaka Amani, 1984, hlm. 101-119.