Siksaan Tidak Hanya Menimpa Orang Zalim
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/siksaan-tidak-hanya-menimpa-orang-zalim.html
Siksaan Tidak Hanya Menimpa Orang Zalim
Oleh M. Shiddiq al-Jawi
]وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[
Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
(QS al-Anfal [8]: 25)
Makna Umum Ayat
Ayat di atas merupakan salah satu ayat teragung, sekaligus paling menegakkan
bulu roma, yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar. Banyak kitab dakwah
yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas amar makruf nahi
mungkar.[1] Ayat tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hadzr) akan
siksaan (azab) yang menimpa secara umum, baik yang zalim maupun yang tidak
zalim. Karena itu, secara syar‘î, bagi orang yang melihat kezaliman/kemungkaran
dan mempunyai kesanggupan, wajib hukumnya untuk menghilangkan kemungkaran
itu.[2] Inilah cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan
amar makruf nahi mungkar terhadap pihak yang berbuat zalim atau mungkar.[3]
Pelaku kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik individu, kelompok,
maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar makruf nahi mungkar ini tidak
dilaksanakan maka semuanya berdosa; mereka layak menerima azab Allah yang
ditimpakan secara merata, baik atas yang berbuat mungkar maupun yang tidak.
Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.[4]
Pendapat Para Mufassir
Imam al-Baghawi (w. 510 H) dalam Ma‘âlim at-Tanzîl (II/204) menerangkan makna
fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, sebagai
terpecah-belahnya kesatuan kata (iftirâq al-kalimah) dan saling menyelisihi
satu sama lain. Makna ayat ialah, “Peliharalah diri kalian dari siksaan yang
menimpa orang zalim dan orang yang tidak zalim.”
Al-Baghawi juga menukil Ibnu Abbas yang berkata, “Allah Swt. telah
memerintahkan orang-orang Mukmin untuk tidak membiarkan kemungkaran di hadapan
mereka. Jika tidak, Allah akan meratakan azab atas mereka, menimpa orang zalim
maupun yang tidak.”
Nabi saw. bersabda:
«إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ الْعَامَةَ بِعَمَلِ الْخَاصَةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانِيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوْهُ فَلاَ يُنْكِرُوْهُ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَذَّبَ اللهُ الْعَامَةَ وَالْخَاصَةَ»
Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan
orang-orang tertentu hingga masyarakat umum melihat kemungkaran di hadapan
mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tetapi mereka tidak mengingkarinya.
Jika mereka berbuat demikian maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan
orang-orang tertentu itu. (HR Ahmad dan ath-Thabrani).[5]
Imam Ibnu al-‘Arabi (w. 543 H) dalam Ahkâm al-Qur’ân (IV/228) menjelaskan,
pengertian kata fitnah dalam ayat tersebut adalah al-baliyah yang berarti
cobaan/ujian (pendapat al-Hasan al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya
al-adzab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas dengan
mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan
orang-orang Mukmin untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan
mereka. Jika tidak, Allah akan meratakan azab kepada mereka. Diriwayatkan, ada
sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa, sedangkan di
tengah kami ada orang-orang salih?” Nabi menjawab, “Ya, jika keburukan telah
meluas.” (HR Muslim).[6]
Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menerangkan, fitnah yang dimaksud adalah meluasnya
kemaksiatan (zhuhûr al-ma‘âshi), menyebarnya kemungkaran (intisyâr al-munkar),
dan tidak adanya upaya mengubah kemungkaran (‘adam at-taghyîr). Beliau juga
meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi.[7]
Menurut Imam al-Baydhawi (w. 685 H), fitnah dalam ayat tersebut maksudnya
dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat tersebut adalah, “Peliharalah diri kalian dari
dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai kalian, yaitu seperti dosa mengakui
kemungkaran yang tampak di hadapan kalian, bersikap menjilat (mudâhanah) dalam
amar makruf nahi munkar, terpecah-belahnya kesatuan kata (iftirâq al-kalimah),
munculnya bid‘ah, dan melalaikan jihad.[8]
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) juga meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap
ayat ini, yakni bahwa Allah memerintahkan kaum Muslim untuk tidak membiarkan
kemungkaran. Jika tidak, Allah akan meratakan azab kepada mereka baik yang
zalim maupun yang tidak.[9]
Dalam kitab Tafsir Jalalayn, As-Suyuthi menerangkan bahwa cara menghindarkan
diri dari siksaan/azab adalah dengan mengingkari kemungkaran yang menjadi
penyebabnya.[10]
Imam asy-Syawkani (w. 1250 H), dalam kitab Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr
(hlm. 230) karya al-Asyqar, menerangkan bahwa makna ayat di atas aalah,
“Peliharalah diri kalian dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim
sehingga menimpa orang salih dan tidak saleh.”
Menurut Asy-Syawkani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang tidak memenuhi
perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq, dan tidak
mengingkari yang batil. Menurut beliau, bahwa di antara kerasnya siksaan Allah
ialah ditimpakannya azab bagi orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi
karena mereka tidak beramar makruf nahi mungkar sehingga kerusakan menjadi
luas, lalu hukuman ditimpakan secara umum.[11]
Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut
artinya ikhtibâr (ujian) dan mihnah (cobaan).[12] Ia juga menerangkan, bahwa
dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya cobaan yang merata yang
menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat buruk. Cobaan ini tidak
hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi merata dan tidak dapat
dihindari dan dilenyapkan. Menurut beliau, peringatan pada ayat ini berlaku
umum untuk semuanya.
Imam Nawawi al-Jawi dalam Marah Labid (I/350) berkata, arti ayat di atas ialah,
“Berhati-hatilah/waspadalah kalian terhadap fitnah, yang jika menimpa kalian,
tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi akan mengenai kalian semuanya,
baik orang yang salih maupun yang tidak. Berhati-hati terhadap fitnah itu
adalah dengan cara melarang kemungkaran. Karena itu, wajib atas orang yang
melihat kemunkaran untuk menghilangkan kemungkaran jika ia mempunyai
kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan kemungkaran itu, maka semuanya
telah berbuat maksiat. Yang melakukan kemungkaran bermaksiat karena perbuatan
mungkarnya; yang mendiamkan kemungkaran juga bermaksiat karena rela dengan
kemunkaran itu. Ciri rela terhadap kemungkaran adalah tidak merasa sedih
melihat penyimpangan agama oleh perbuatan maksiat. Artrinya, siapa saja yang
seperti itu, berarti dia telah rela terhadap kemungkaran sehingga hukuman dan
musibah akan terjadi secara merata.[13]
Pentingnya Amar Makruf Nahi Munkar
Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan amar makruf nahi
mungkar terhadap siapa saja yang berbuat zalim atau mungkar. Sebab, jika
kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang menimpa secara
umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.
Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok, atau penguasa.
Seab, frasa alladzîna zhalamû (orang-orang zalim) bersifat umum. Sesuai dengan
kaidah ushul bahwa isim mawshul (di antaranya alladzîna) memberikan arti
umum.[14] Mengenai kemungkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihyâ’
‘Ulûmiddîn, menjelaskannya bermacam-macam kemungkaran berdasarkan tempat,
seperti kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya.[15] Dalam
konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak,
seperti kemungkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan,
salon, kafe, bioskop, kampus, dan sebagainya. Kemungkaran yang dilakukan
kelompok, misalnya kemungkaran segerombolan perampok; partai politik nasionalis
(sekular) yang tidak berasaskan Islam; sebagian partai politik Islam yang
mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam; serta kelompok yang
mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada
kaidah-kaidah ideologi kapitalisme-sekular. Kemungkaran penguasa, misalnya,
menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara serta menjalankan
sistem demokrasi dalam bidang politik dan sistem kapitalisme dalam bidang
ekonomi.
Semua itu termasuk kemungkaran atau kezaliman yang wajib kita hilangkan sesuai
dengan kesanggupan yang kita miliki. Jika umat diam saja serta tidak melakukan
amar makruf nahi mungkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah; karena
berbagai cobaan, bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara
merata. Hancurnya kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta
porak-porandanya kondisi ekonomi merupakan sekelumit akibat buruk yang bisa
kita alami secara bersama-sama akibat kelalaian kita beramar makruf nahi
mungkar terhadap kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.
Jelaslah, bahwa Islam adalah dîn yang lurus yang mengajarkan adanya kepedulian
dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan ideologi
individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan
bersama masyarakat. Itulah dîn yang telah mewajibkan amar makruf nahi mungkar
sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di
antara seluruh umat manusia (QS Ali Imran [3]: 110). Inilah ciri khas yang
berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang
kemungkaran yang dilakukan di antara mereka (QS al-Maaidah [5]: 79), dan
berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar mungkar
nahi makruf (QS at-Taubah [9]: 67). Wallâhu a‘lam. []
[1] Lihat misalnya Ibnu Taymiyah, Menuju Umat Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Al-Amru
bil-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an Al-Munkar), terjemahan oleh A.H. Hasan, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1988. hal. 36; Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Cetakan XI,
Jakarta: Media Dakwah, 2000, hlm. 112.
[2] Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsîr an-Nawawi, Beirut: Darul
Fikr, I/350.
[3] Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur’ân al-‘Azhîm (Al-Jalalain), Beirut:
Darul Fikr, 1991, hlm. 133.
[4] Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr
(Mukhtashar Tafsîr asy-Syaukani), Kuwait: Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu’un
Al-Islamiyah, 1985, hlm. 230.
[5] Al-Husain ibn Mas’ud Al-Farra` Al-Baghawi, Ma‘âlim at-Tanzîl, Beirut: Darul
Kutub Al-‘Ilmiyah, 1993, II/203; penafisiran semakna, lihat ‘Ala`uddin
Al-Khazin (w. 741 H), Lubab At-Ta’wîl fî Ma‘ân at-Tanzîl (Tafsîr al-Khazin),
Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun, II/22-23.
[6] Imam Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, 4/228.
[7] Imam Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/391.
[8] Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl (Tafsir
al-Baydhawi), Beirut: Darul Fikr, t.t., 3/46-47.
[9] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklîl fî Istinbâth at-Tanzîl, Kairo: Darul Kitab
al-‘Arabi, t.t. hlm. 113; Lihat juga Abu Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwîr al-Miqbâs
min Tafsîr Ibn ‘Abbas, hlm. 147.
[10] Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Al-Jalâlayn), Beirut:
Darul Fikr, 1991, hlm. 133.
[11] Al-Asyqar, Op. cit. hlm. 230
[12] Tafsir Ibnu Katsir, 2/300.
[13] An-Nawawi Al-Jawi, Op. cit, I/350.
[14] Imam Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhul, Beirut: Darul Fikr, t.t. hlm. 121;
Wahbah Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Darul Fikr, 2001, 1/248.
[15] Lihat Imam Al-Ghazali, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, Ihya’ Ulumiddin,
terjemahan oleh Imron Abu Amar, Jakarta: Pustaka Amani, 1984, hlm. 101-119.