Siapakah Ahlus Sunnah?
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/siapakah-ahlus-sunnah.htmlSoal:
Di masyarakat kita, terutama di kalangan tradisionalis, istilah Ahlus
Sunnah wal Jamaah cukup populer. Sayang, istilah ini tidak jarang
memicu konflik horisontal karena masing-masing orang/kelompok mengklaim Ahlus
Sunnah dan menuduh yang lain bukan Ahlu Sunnah—bahkan sesat—hanya karena
perbedaan dalam masalah-masalah furû‘iyyah (cabang). Jika
demikian, siapakah sebetulnya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah?
Jawab:
Ahlus Sunnah wal Jamaah, secara harfiah, berarti orang yang
berpegang dan mengikuti tuntunan dan kelompok Nabi saw. Sebab, secara
harfiah sunnah berarti tharîqah (tuntunan), maslak (rute
yang dilalui) dan mawrid (sumber air); [1] juga bisa
berarti tharîqah mahmûdah mustaqîmah (tuntunan yang terpuji
dan lurus). Karena itu, Fulan disebut Ahlus Sunnah, maksudnya
adalah orang yang menjadi pengikut tuntunan yang terpuji dan lurus [2].
Mereka inilah yang juga disebut ahl al-haq (pengikut
kebenaran), lawan dari ahl al-ahwa’ (pengikut hawa nafsu)
[3]. Ahlus Sunnah juga bisa berarti orang yang mengikuti
sunnah Nabi saw., lawan dari ahl al-bid‘ah. Hanya saja,
penggunaan istilah Ahlus Sunnah kemudian mengalami reduksi
sedemikian rupa setelah istilah ini diadopsi oleh Ahli Kalam hingga
hanya berlaku untuk tiga kelompok yang menjadi pengikut: Maturidi, Asy’ari,
Thahawi; ditambah Salafi (pengikut Ibn Taimiyah). Prof. Rawwas Qal’ah Ji,
misalnya, dalam Mu‘jam Lughât al-Fuqahâ’ menyatakan,
bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang dalam berakidah
terikat dengan al-Quran dan as-Sunnah, bukan pandangan para filosof. Mereka
kembali kepada tiga kelompok, yaitu para pengikut Maturidi al-Hanafi (w. 333
H), para pengikut Asy’ari (w. 330 H) dan pengikut Salafi yang digagas oleh Ibn
Taimiyah (w. 728 H) [4].
Karena itu, istilah Ahlus Sunnah telah
mengalami transmisi dari istilah umum untuk semua orang—termasuk mazhab yang
mengikuti tuntunan Nabi saw. dan para Sahabat—menjadi istilah khas; hanya
dibatasi untuk mazhab tertentu dalam akidah, fikih dan siyâsah. Dulu
orang-orang NU, misalnya, mengklaim dirinyalah Ahlus Sunnah, karena
mereka menggariskan akidahnya mengikuti Asy’ari dan Maturidi. Mereka menganggap
Muhammadiyah bukan Ahlus Sunnah karena tidak mengikuti kedua
mazhab tersebut. Sebaliknya, Muhammadiyah pernah menganggap orang-orang NU
sebagai ahl al-bid‘ah, dan karenanya tidak layak disebut Ahlus
Sunnah; yang layak disebut Ahlus Sunnah hanya orang-orang
Muhammadiyah. Klaim seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun
klaim dengan pijakan dan paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus
Sunnah sebagai mazhab tertentu sehingga siapa saja yang tidak
mengikuti mazhab tersebut dianggap bukan Ahlus Sunnah. Pihak
lain menganggap Ahlus Sunnah bukan sebagai mazhab tertentu,
tetapi sebagai tuntunan Nabi saw. yang harus diikuti, sehingga siapa saja yang
menyimpang dari tuntunan tersebut disebut ahl al-bid‘ah,
bukan Ahlus Sunnah. Dengan kata lain, Ahlus Sunnah menurut
Muhammadiyah adalah istilah umum, bukan khusus untuk mazhab tertentu.
Sebaliknya, menurut NU, Ahlus Sunnah adalah istilah khas, yang
merujuk pada mazhab tertentu.
Dalam teori usul fikih, istilah tersebut
bisa dikategorikan sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki
menurut konvensi). Ada yang khâshash, atau konvensi tertentu,
seperti konvensi Ahli Kalam, sehingga istilah tersebut disebut haqîqah
‘urfiyyah khâshah ‘inda al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang
bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum, sehingga bisa disebut haqîqah
‘urfiyyah ‘âmmah. Nah, dalam kasus NU dan Muhammadiyah, bisa disimpulkan,
bahwa NU menggunakan istilah tersebut dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah
khâshah, sementara Muhammadiyah menggunakannya dalam konteks haqîqah
‘urfiyyah ‘âmmah.
Karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan, bahwa sifat orang Mukmin yang disebut Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah:
Siapa saja yang bersaksi, bahwa tidak
ada tuhan melainkan hanya Allah Swt., tiada sekutu bagi-Nya, serta Muhammad
saw. adalah hamba dan Rasul-Nya. Dia juga mengakui semua yang dibawa oleh para
nabi dan rasul, tidak ada sedikitpun keraguan dalam keimanannya. Dia tidak
mengkafirkan satu orang pun yang masih bertauhid karena satu dosa. Dia
mengharapkan semua perkara yang hilang darinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan
menyerahkan urusannya hanya kepada-Nya. Dia meyakini bahwa apa saja berjalan
menurut qadha’ dan qadar Allah, semuanya, baik dan buruknya. Dia juga
mengharapkan kebaikan untuk umat Muhammad dan mengkhawatirkan keburukan menimpa
mereka. Tak seorang pun umat Muhammad masuk surga dan neraka karena kebaikan
yang dilakukannya, dan dosa yang diperbuatnya, sampai Allah SWT-lah yang
memasukan ciptaan-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Dia mengetahui hak orang
salaf yang telah dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya. Dia mendahulukan
Abu Bakar, Umar dan Utsman serta mengakui hak Ali bin Abi Thalib, Zubair,
Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail
atas para Sahabat yang lain. Merekalah sembilan orang yang telah bersama-sama
Nabi saw. berada di atas Gunung Hira’. Dia menceritakan keutamaan mereka dan
menahan diri terhadap apa yang mereka perselisihkan di antara mereka. Dia
shalat Idul Fitri dan Adha, Khauf, shalat berjamaah dan Jumat bersama semua
pemimpin, baik yang taat maupun zalim. Dia mengusap dua sepatu ketika bepergian
dan ketika tidak, meng-qashar shalat ketika bepergian. Dia meyakini al-Quran
kalam Allah, dan diturunkan, bukan makhluk. Dia meyakini bahwa iman adalah
ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Dia meyakini bahwa jihad
tetap berlanjut sejak Allah mengutus Muhammad saw. hingga sisa generasi terakhir
yang memerangi Dajjal, saat tak akan ada yang bisa mencelakakan mereka
kezaliman orang yang zalim. Dia menyatakan, bahwa jual-beli halal hingga Hari
Kiamat sesuai dengan hukum Kitab dan Sunnah. Dia shalat jenazah dengan empat
takbir dan mengurus umat Islam dengan baik. Dia tidak melakukan perlawanan
terhadap mereka dengan pedang Anda. Jangan berperang karena fitnah. Diamlah di
rumah Allah. Dia mempercayai azab kubur; mengimani Malaikat Munkar-Nakir;
meyakini adanya telaga, syafaat; meyakini bahwa orang-orang yang mempunyai
tauhid akan keluar dari neraka setelah mereka diuji, sebagaimana sejumlah hadis
telah menyatakan hal ini dari Nabi saw. Kita mengimaninya, dan tidak perlu
banyak contoh untuk semuanya tadi. Inilah yang disepakati oleh para ulama dari
berbagai penjuru dunia. [5]
Dengan demikian, Ahlus Sunnah
wal Jamaah itu tidak identik dengan mazhab tertentu, tetapi siapa saja
yang memenuhi kualifikasi di atas. Maksud dari Imam Ahmad di atas, menurut
Qadhi Iyadh, adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan siapa saja
yang meyakini mazhab ahli hadis. Karena itu, menurut Ibn Abd al-Barr, mereka
adalah para ahli hadis dan fikih. [6] Bahkan menurut Ibn Hajar, mereka
adalah semua ahli ilmu syariah. [7] An-Nawawi juga menyatakan, bahwa boleh
jadi kelompok ini berserakan di antara berbagai ragam kaum Mukmin; ada yang
pemberani dan pasukan perang; ada yang ahli fikih, hadis, zuhud, dan
orang-orang yang memerintahkan kemakrufan serta mencegah kemunkaran; ada juga
ahli kebaikan yang lain. Tidak mesti, mereka terkumpul di satu tempat.
Sebaliknya, boleh jadi mereka berserakan di berbagai belahan bumi. [8]
Wallâhu a’lam. []
Catatan Kaki:
1. Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.,
XIII/226.
2. Ibid, 226.
3. Al-Jurjani, At-Ta‘rifât, Dar al-Bayan li at-Turats, ed. Ibrahim
al-Abyari, t.t., 57-58.
4. Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Ji, Mu‘jam Lughât al-Fuqahâ’:
‘Arabi-Injelizi-Ifrinji, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 76.
5. Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad, al-Maqshad al-Arsyad fi Dzikr
Ashhab al-Imam Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet. I, 1990, II/336-339.
6. Ibn ‘Abd al-Barr, at-Tamhid li Ibn ‘Abd al-Barr, ed. Mustafa
‘Alawi, Wizarah ‘Umum al-Auqaf, Maroko, 1387, V/115.
7. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri fî Syarh Shahîh al-Bukhârî,
ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379, XIII/316.
8. Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Abu al-Ala, Tuhfah
al-Ahwadzi, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t., VI/360.
Diasuh oleh: KH. Drs. Hafidz
Abdurrahman, MA.
Sumber : majalah Al waaie edisi April 2007