Sayidina Yusuf Terlibat Dalam Pemerintahan Kufur?
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/sayidina-yusuf-terlibat-dalam.htmlSalah satu argumentasi yang sering dilontarkan beberapa kelompok untuk
membenarkan berdakwah dengan cara bergabung dalam sistem yang jelas-jelas kufur
adalah bahwa Sayidina Yusuf as. pernah terlibat dalam sistem kufur. Berikut ini
pembahasan rinci tentang hal tersebut.
Bukti Kesalahan Beberapa Argumen Partisipasi dan
Integrasi Politik
Argumentasi bahwa Sayidina Yusuf a.s. Terlibat dalam
Pemerintahan Kufur
Al-Quran al-Karim menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s.:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara
(Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri
Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di
bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki
dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS.
Yusuf [12]: 55-56)
Ayat ini sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf
a.s. diperbolehkan berpartisipasi dalam sistem pemerintahan Raja Mesir yang tidak
Islami itu. Berdasarkan hal ini, sebagian pihak mengklaim bahwa kaum Muslim
saat ini pun berarti boleh melakukan hal yang sama. Mereka menggunakan ayat
berikut sebagai dalil:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾
Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut
undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Ayat ini digunakan untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. telah memperdaya
raja agar mengizinkan beliau untuk menghakimi saudaranya berdasarkan syariat
Yakub a.s.–untuk memperbudak seorang pencuri–dan tidak menggunakan hukum raja.
Oleh karena itu, diklaim bahwa pemahaman (konotasi) terbalik (mafhum mukhalafah) ayat tersebut secara implisit
menyebutkan, bahwa selain dalam kasus dengan saudaranya, Yusuf a.s. menjalankan
hukum raja.
Menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi
Yusuf a.s. terlibat dalam pemerintahan yang non-Islami, dan bahwa Nabi Yusuf
a.s. berhukum dengan selain syariat Allah Swt. adalah suatu penghinaan terhadap
kemaksuman seorang nabi. Dengan demikian, argumen tersebut jelas keliru.
Sebelum membahas kekeliruan argumen tersebut, pertama-tama kita perlu
menunjukkan bukti bahwa Nabi Yusuf a.s. sebenarnya tidak pernah berpartisipasi
dalam sistem kufur.
Mari kita cermati ayat pertama tadi, yang digunakan untuk mendiskreditkan
Nabi Yusuf a.s.:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾ وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara
(Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri
Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di
bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki
dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS.
Yusuf [12]: 55-56)
Hanya ada dua kemungkinan penjelasan yang benar tentang ayat ini. Pertama, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Nabi
Yusuf a.s. hanya bertanggung jawab terhadap masalah mengumpulkan dan menyimpan
hasil panen rakyat Mesir saat itu, termasuk bertanggung jawab mengamankan
gudang penyimpanannya. Artinya, ini adalah jabatan administratif, bukan jabatan
kekuasaan atau pemerintahan. Ibnu Katsir mengemukakan pendapat ini dalam tafsir
beliau atas ayat ini. Syu’aibah bin Nu’ama juga memiliki pendapat yang sama.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Nabi Yusuf a.s.: “…bertanggung jawab
atas gudang penyimpanan hasil panen, yang dikumpulkan untuk persiapan
menghadapi musim paceklik yang diperkirakan akan datang. Ia ingin menjadi
penjaga lumbung itu sehingga dapat mendistribusikan hasil panen itu dengan cara
yang paling bijaksana, baik, dan menguntungkan.”[1]
Pendapat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum
dengan hukum kufur atau malah terlibat dalam sistem pemerintahan. Nabi Yusuf
a.s. sekadar berpartisipasi dalam posisi sebagai tenaga administratif, dan hal
itu tidaklah haram, bahkan hingga sekarang. Jadi, aktivitas ini berbeda dengan
aktivitas pemerintahan dan berpartisipasi dalam sistem kufur seperti yang
terjadi saat ini, ketika seseorang diambil sumpahnya dan Islam harus tunduk
pada pelaksaanan hukum parsial dan kehendak hawa nafsu manusia.
Kemungkinan pendapat yang kedua, bahwa Nabi
Yusuf a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan wilayah, disimbolkan oleh
kewenangan atas komoditas ekonomi paling penting di kawasan itu. Pendapat ini
diajukan oleh Imam an-Nasafi yang mengatakan bahwa dalam masalah tersebut raja
berada di bawah Yusuf a.s. dan tidak dapat mengeluarkan keputusan tanpa
otorisasi Yusuf a.s. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan as-Suddi dan
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Yusuf a.s. diberi
kewenangan, ‘untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya’.[2] Pendapat ini didukung oleh pandangan sebagian
ulama bahwa raja tersebut sebetulnya masuk Islam; Ibnu Katsir menyebutkan bahwa
Mujahid juga berpendapat seperti ini.
Kembali, tidak ada analogi yang bisa diambil oleh mereka yang
berpartisipasi dalam pemilihan umum dalam sistem kufur. Imam an-Nasafi
menyatakan bahwa ayat ini sekadar menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan
meminta seorang penguasa tiran untuk memberikan kewenangan kepada seseorang
yang dianggap adil. Hal ini berarti tidak ada peluang munculnya penerapan
aturan secara parsial karena kewenangan diberikan secara penuh.
Adalah mustahil dan tidak masuk akal apabila ayat ini dapat diartikan bahwa
berpartisipasi dalam suatu sistem kufur, atau bahwa implementasi Islam secara
parsial, diperbolehkan. Menginterpretasikan ayat tersebut dengan cara seperti
itu akan membuatnya bertentangan dengan banyak ayat lain yang bersifat qath’iy yang nyata-nyata melarang hal itu. Para
ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan hal itu dianggap sebagai kafir,
fasik, atau dzalim[3]. Tentu saja mustahil kita mengasosiasikan sifat-sifat
tersebut terhadap Nabi Yusuf a.s. karena beliau adalah seorang yang maksum.
Interpretasi bahwa Nabi Yusuf as berpartisipasi dalam sistem kufur dan
berhukum dengan hukum raja bertentangan dengan pernyataan Nabi Yusuf a.s.
sendiri yang dikatakannya kepada dua sahabatnya di penjara sebagaimana
dikisahkan dalam al-Quran:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿٤٠﴾
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (TQS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini jelas terbukti bahwa Yusuf a.s. meyakini bahwa setiap orang
yang tidak berhukum dengan syariat Allah Swt. berarti orang tersebut telah
membuat agama versinya sendiri. Ini dilukiskan oleh perkataan beliau: “itulah agama yang lurus”. Jelas, menurut Yusuf a.s.,
berhukum berdasarkan syariat Allah Swt. adalah masalah akidah (keyakinan),
tauhid (keyakinan terhadap keesaan Allah), dan memenuhi ketentuan Allah Swt.
Beginilah tafsiran Ibnu Katsir terhadap ucapan Yusuf a.s., yang menjelaskan
bahwa seseorang yang tidak mengikuti agama yang lurus adalah orang yang
musyrik. Ibnu Katsir menafsirkan kalimat “Itulah agama yang lurus” berarti tauhidullah, serta mengarahkan setiap perbuatan
sebagai bentuk penyembahan terhadap-Nya saja … adalah agama yang benar dan
lurus. Yaitu, agama yang telah Allah tetapkan, dan yang untuk itu telah Dia
turunkan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata. ‘…tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahu’ adalah alasan yang menyebabkan kebanyakan dari manusia
menjadi musyrik”[4].
Ketika menceritakan bahwa Yusuf a.s. tidak menghukumi saudaranya dengan
hukum raja, al-Quran menggunakan kata ‘diin’ dengan mengacu pada hukum sang
raja. Dengan kata lain, raja itu memiliki diin, dan Yusuf a.s.
memiliki diin lain yang berbeda.
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ ﴿٧٦﴾
Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut
undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Jadi, wahai saudaraku kaum Muslim, bagaimana mungkin Nabi Yusuf a.s.
berkata kepada sahabatnya di penjara bahwa berhukum dengan syariat Allah Swt.
adalah diin yang lurus, sementara itu dalam kesempatan
lain beliau justru mengadopsi diin sang raja?
Kita berlindung kepada Allah Swt. dari fitnah semacam ini.
Imam Nasafi, Ibnu Katsir, dan Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa ayat ini
mengandung pengertian bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya dengan syariat
Yakub a.s. Ayat ini digunakan oleh sebagian orang untuk mengklaim bahwa mafhum mukhalafah ayat tersebut menunjukkan secara
implisit bahwa ketika berurusan dengan orang lain Yusuf a.s. menggunakan hukum
sang raja. Mafhum mukhalafah bisa
dianggap sah berdasarkan bilangan (‘adad) dan deskripsi
sifat yang bisa dipahami (wasfu al-mufhim),
selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada. Dalam kasus ini, mafhum mukhalafah tersebut berarti batal. Mafhum
semacam ini dikenal dengan istilah mafhum al-laqab,
yaitu pengertian (konotasi) terbalik yang diambil dari suatu kata benda atau
suatu nama, misalnya saudara Nabi Yusuf a.s. Akan tetapi, seperti yang nanti
ditunjukkan, penggunaan mafhum yang
lemah semacam ini dan dalam kasus ini–yang diterima oleh Abu Bakr ad-Daqaq dan
Ibnu Faruq–tidaklah absah.
Kita bisa menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan kesalahan
logika tersebut. Jika pernyataan “Aku melihat Zaid” dipahami dengan
menggunakan mafhum al-laqab, maka maknanya
adalah “Aku tidak melihat orang lain selain Zaid”. Dalam contoh ini, firman
Allah Swt. bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya berdasarkan syariat Yakub,
diartikan bahwa dalam kesempatan lain beliau menggunakan hukum selain hukum
sang raja. Sungguh ini adalah salah satu jenis mafhum
mukhalafah yang paling lemah. Bahkan, Imam asy-Syaukani
menyatakan bahwa orang-orang yang menggunakan logika semacam ini tidak memiliki
landasan, baik itu secara linguistik, hukum, maupun rasional. Imam asy-Syaukani
lantas melanjutkan dengan mengatakan, “Diketahui dari lidah orang Arab bahwa
siapa pun yang berkata “Aku melihat Zaid”, tidak akan diartikan bahwa ia tidak
melihat orang lain selain Zaid, tapi jika ada indikasi di dalam nash bahwa
memang itulah makna yang dikehendaki maka bukti atau dalil atas hal itu
ditunjukkan oleh indikasi tersebut”[5].
Seandainya mafhum itu dianggap sah, tetap
saja tidak dapat digunakan dalam contoh kita tadi. Hal itu karena para
pengusung mafhum al-laqab sendiri
menetapkan bahwa mafhum tersebut tidak boleh
digunakan apabila bertentangan dengan kondisi-kondisi lain, misalnya dengan
nash-nash yang eksplisit (qath’iy). Oleh
karena itu, penggunaan mafhum tersebut
dalam menafsirkan ayat itu akan bertentangan dengan banyak ayat al-Quran yang
secara qath’iy jelas-jelas melarang berhukum dengan hukum
kufur, termasuk ucapan Nabi Yusuf a.s. sendiri mengenai keharusan berhukum
dengan syariat Allah Swt.[6] Pengertian seperti itu akan menimbulkan fitnah
dan penghinaan terhadap salah seorang Nabi Allah yang mulia. Bahkan, ad-Daqaq
dan Ibnu Faruq akan menolak penggunaan mafhum al-laqab di
dalam menafsirkan ayat ini, karena dapat mengakibatkan makna yang absurd. Jadi,
dalam hal ini kita harus menolaknya mentah-mentah.
Akar Kesalahan: Syariat Sebelum Kita
Penjelasan di atas semata-mata untuk melindungi Nabi Yusuf a.s. dari
fitnah. Adapun yang kesalahan sebenarnya dari argumen itu adalah bahwa mereka
mengatakan beliau a.s. berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, dan
konsekuensinya, kita pun boleh berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami,
yang kini ada di hadapan kita. Klaim ini dibangun di atas anggapan bahwa
syariat Yusuf a.s. sah untuk kita ikuti. Ini adalah prinsip yang lemah. Jadi,
seandainya saja Nabi Yusuf a.s. berpartisipasi dalam pemerintahan berdasarkan
syariat sang raja (sesuatu yang tidak masuk akal), hal ini tetap tidak menjadi
sesuatu yang bisa diikuti oleh kaum Muslim. Hal ini karena kaum Muslim terikat
dengan syariat yang datang melalui nabi terakhir, Muhammad saw.
Memang ada sebagian ulama yang menerima prinsip ini. Namun, tetap saja para
ulama itu menetapkan syarat pemberlakuannya, yaitu syariat sebelum kita adalah
juga syariat bagi kita selama tidak bertentangan dengan syariat yang dibawa
oleh Muhammad saw[7]. Inilah pandangan yang ada terhadap masalah ini;
tidak ada alim ulama mana pun yang memiliki pandangan selain dua pandangan
tersebut. Tentu saja konyol bila kita katakan bahwa aturan nabi sebelum
Muhammad saw. dapat mengalahkan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Hal yang
sama juga berlaku bagi prinsip lain yang juga lemah, meskipun absah, yang
mereka coba gunakan untuk menjustifikasi perbuatan mereka, yaitu prinsip maqasid asy-syariah (tujuan-tujuan syariat),
substansi dalil, mashalih al-mursalah (kemaslahatan
umum), atau memilih yang lebih sedikit madharatnya (ahwan adh-dharain). Tidak ada satu pun dari
prinsip-prinsip tersebut yang bisa digunakan karena akan bertentangan dengan
nash-nash syara’. Imam al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu Hajib meriwayatkan suatu
Ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada dalil umum yang dapat digunakan untuk
masalah khusus tanpa pertama-tama melihat dalil yang juga khusus. Oleh karena
itu, sebelum merujuk pada sumber hukum sekunder, seperti prinsip yang absah
tapi lemah ‘syariat sebelum kita’ itu, pertama-tama kita harus merujuk pada
dalil khusus dari Rasulullah saw.
Dalam kasus yang sekarang kita hadapi, pendapat mana pun yang diadopsi,
kuat atau lemah, tidak ada analogi lain yang bisa ditarik dari dua fakta itu:
perbuatan Yusuf a.s. dan berpartisipasi dalam pemerintahan sistem kufur
sekarang ini. Perbuatan semacam itu akan bertentangan dengan syariat yang
dibawa oleh Muhammad saw., dalam banyak ayat al-Quran, misalnya ayat berikut:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ ﴿٤٩﴾
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS.
al-Maa-idah [5]: 49)
Sebagai kesimpulan atas kisah Nabi Yusuf a.s., itu bukanlah pendapat yang
masuk akal, baik itu dilihat dari pernyatakan bahwa beliau a.s. berpartisipasi
di dalam sistem sebagai administrator dan bukan sebagai penguasa; atau bahwa
beliau a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan sistem; atau bahwa syariat yang
beliau bawa tidak lagi sah pada saat ini; atau bahwa syariat itu sah kecuali
apabila bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Sungguh,
tidak ada satu pun dari pendapat-pendapat itu yang bisa digunakan untuk
membenarkan keikutsertaan dalam sistem kufur yang saat ini berlaku di
mana-mana. Perbuatan tersebut adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap
aturan Allah Swt., karena hal itu berarti membiarkan pelakunya berhukum dengan
hukum-hukum kufur. Jika diyakini, hal itu membuat sang pelaku kafir, dan jika
tidak diyakini, minimal membuat dirinya dzalim atau fasik.
(Sumber: The Fiqh of Minorites –
the New Fiqh to Subvert Islam; Asif K. Khan aktivitis Hizbut
Tahrir Inggris)