Sabar Saat Dihina

https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/sabar-saat-dihina.html

 

وسمع الشعبى رَجُلاً وقعَ فيه، فما ترك شيئاً

Imam As Sya’bi (w. 104 H) mendengar seseorang mencela dan menjelek-jelekkan dirinya, beliau membiarkannya.

فلما فرغ قَالَ الشعبى: إن كنتَ صادقاً فغفر الله لي، وإن كنت كاذباً فغفَر الله لك

Ketika lelaki tersebut selesai, As Sya’bi berkata: “kalau engkau benar, moga Allah mengampuniku, dan jika engkau berdusta moga Allah memaafkan engkau” (Majma’ al-Amtsâl, 2/461).

Namun begitu, beliau kadang komentarnya ‘nylekit’ menghadapi orang yang pertanyaannya mengada-ada.

سئل الشعبي عن لحم الشيطان فقال: نحن نرضى منه بالكفاف

Imam asy Sya’bi pernah ditanya tentang hukum memakan daging syetan, maka beliau menjawab: “Kami sudah cukup puas dengan rizki dari-Nya (tidak kepingin makan daging syetan)”

فقيل له: ما تقول في [أكل] الذباب؟ قال: إن اشتهيته فكله

maka ditanyakan lagi: apa pendapat engkau tentang hukum memakan lalat?, beliau menjawab: “Jika engkau suka, makanlah”. (Tadzkiroh al Hamduniyyah, 9/376).

Jika Agama yang Dihina

Kenapa As Sya’bi bisa pedas jawabannya saat ditanya yang tidak-tidak, padahal saat dirinya dijelek-jelekkan beliau biasa saja? Ini karena beliau memposisikan harga dirinya jauh dibawah kemuliaan agama ini.

Rasulullah juga mencontohkan hal yang sama. Pernah suatu ketika beliau memakai selendang Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba ada seorang Arab desa bertemu dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat, sehingga di bagian leher beliau ada bekas ujung selendang itu akibat kuatnya tarikan tersebut. Orang itu kemudian berkata,

يَا مُحَمَّدُ أعْطِني مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِي عِنْدَكَ

“Wahai Muhammad! berikanlah kepadaku sebagian dari harta Allah yang ada padamu.”

Rasulullah menoleh kepada lelaki tersebut lalu tersenyum dan memerintahkan Anas untuk memberikan sesuatu kepadanya.(HR. al Bukhari).

Sabar dengan Cara Marah

Marah adalah termasuk salah satu bentuk penampakan kesabaran, yakni sabar untuk menjalankan perintah Allah; perintah untuk marah. Ini terkait hinaan maupun pelanggaran yang membahayakan kepentingan agama dan umat.

Puluhan riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah sangat marah; saat Ali r.a memakai sutra, saat Muadz bin Jabal r.a menyusahkan umat karena mengimami masyarakat dengan bacaan yang sangat panjang, saat pemungut zakat mengambil ‘hadiah’ dari masyarakat, saat hukum mau dipermainkan, bahkan beliau bertindak tegas saat segolongan munafik mau menyamarkan dan menyimpangkan ajaran Islam dengan membangun masjid, yang akhirnya Alquran menyebutnya sebagai ‘masjid dhirar’, beliau juga mendoakan pemimpin yang  menyusahkan rakyatnya dengan do’a:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فاشْقُقْ عَلَيْهِ

“Wahai Allâh, barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia”. (HR. Muslim)

Oleh karena itu jika yang dihina adalah Islam atau ajaran Islam, sengaja membuat narasi palsu tentangnya, lalu narasi ini digiring agar menjadi opini. Opini yang ada dibesar-besarkan agar menjadi persepsi, lalu dibumbui dengan realita yang direkayasa hingga dianggaplah narasi tersebut sebagai fakta, maka sudah selayaknya orang yang beriman marah, kalaupun tidak bisa marah maka hendaknya berusaha untuk marah. Imam as Syafi’i berkata:

مَنِ اسْـتُغْضِبَ وَ لَمْ يَغْضَبْ فَهُوَ حِمَارٌ

“Siapa saja yang dibuat marah, tapi dia tidak marah maka dia adalah (seperti) keledai.” (Hilyatul Awliya’, 9/143)

Hanya saja kemarahan tersebut hendaknya tetap pada koridor syara’ yakni melawan opini dengan opini, ide dengan ide, membongkar kepalsuan rekayasa, dll, bukan dengan jalan anarki. Allâhu A’lam.[Ustadz MTaufikNT]