Riba : Pengertian, Jenis, dan Contohnya
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/riba-pengertian-jenis-dan-contohnya.htmlMohon
dijelaskan tentang pengertian riba, macam-macam riba, sekaligus
contoh-contohnya dalam kehidupan sehari-hari.
Jawaban :
Definisi Riba
Apa itu riba? Jawabnya: Riba adalah beberapa
jenis transaksi yang diharamkan dalam Islam. Berbagai jenis riba yang diharamkan itu
telah merajalela di
tengah masyarakat kita. Antara satu jenis riba dengan jenis yang
lain kadang terlihat sangat berbeda. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk
merangkum berbagai jenis
riba tersebut dalam sebuah definisi yang pas. Maka, dari
pada kita menghabiskan tempat untuk berpayah-payah mencari definisi riba, lebih
baik kita langsung bicara tentang contoh konkret dari jenis-jenis riba yang
ada.
Jenis-Jenis Riba
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang
(dain)
dan dalam transaksi jual-beli (bai’).
Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita
tinjau satu persatu:
Riba Dalam Utang
Dikenal
dengan istilah riba
duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang. Riba ini terjadi
dalam transaksi utang-piutang (qardh)
atau pun dalam transaksi tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan
antara utang yang muncul karena qardhdengan
utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena
semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk
dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul
karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau
keseluruhan.
Contoh
riba dalam utang-piutang (riba
qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta
kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati
bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15%
tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Termasuk riba duyun adalah,
jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang
mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika
dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang
dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua
inilah yang secara khusus disebut riba
jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam,
meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutang).
Sementara
riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam)
contohnya adalah apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan
ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil
dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan
sebesar 5%, misalnya.
Perlu
diketahui bahwa dalam konteks pinjaman, riba atau tambahan diharamkan secara
mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa
terjadi pada segala macam barang. Jika si A meminjam dua liter bensin kepada si
B, kemudian disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya,
maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si A meminjam
10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian
sebesar 1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat
berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa
disyaratkannya tambahan dalam pinjam meminjam (qardh) adalah riba, meski hanya
berupa segenggam makanan ternak”.
Bahkan,
mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam harus
memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah dan
jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik
manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi
pinjaman uang kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya
kepada si B selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan
riba.
Riba Dalam Jual-beli
Dalam
jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah. Keduanya
akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan.
Berbeda
dengan riba dalam utang (dain)
yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak
terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh
Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur
(gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar
dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka
jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai).
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang
yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada
dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
Dalam
riwayat lain dikatakan:
“Emas ditukar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda
jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).”
(HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Ada
beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya
menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan
garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam
komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain.
Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti
emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua
ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:pertama takaran
atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya
harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan
ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan
gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali
lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg
kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma
dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran,
maka terjadi riba, yang disebut riba
fadhl.
Disamping
harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang
ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu
pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya
sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ahatau ada
sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini
dengan sebutan riba
yad.
Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut
hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai.
Artinya, kita boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30
gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg
kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan
masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak
menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda
penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama
menggolongkan praktek penundaan penyerahanbarang
ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah tapi ada pula ulama yang
memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.
Keempat, Jika barang
ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar dengan
ke kayu, maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak
disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang
ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain
meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh
menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10
buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai
bukan barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan.
Sedangkan nasii’ah secara
bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Nah,
sekarang mari kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama
dengan istilah riba
fadhl dan riba
nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang
jenis-jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya.
Hanya saja, karena istilah riba fadhl dan nasi’ah ini sangat
sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk
memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan
cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru saja
kita lewati, setelah itu insyaallah kita
bisa memahami apa yang disebut dengan riba
fadhl dan riba
nasi’ah. Riba
fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran
antar barang-barang
ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas
5,5 gram. Sedangkan riba
nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan, sebab,
nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua
riba utang (riba duyun)
yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba nasi’ah, karena semuanya
muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa tambahan sebagai
kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang dengan tempo
satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar
15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga
dalam riba qardh dimana
keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk
mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski
sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau
dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara
itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan,
melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang
sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda
jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau
membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan
karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama
barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang
ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama
menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan
istilah khusus, yakni riba
yad.
Kesimpulan
Riba
bisa terdapat dalam utang dan transaksi jual-beli.
Riba
dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun
yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini
bisa terjadi dalamqardh (pinjam/utang-piutang)
ataupun selain qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang
tergolong riba
nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
Riba
dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang
ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis
ini yang disebut sebagai riba
fadhl.
Riba
dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak
kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini
digolongkan ke dalam riba
nasi’ahatau secara khusus disebut dengan istilah riba yad.
Wallahu
a’lam