Penghalang-Penghalang Persatuan Umat
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/penghalang-penghalang-persatuan-umat.htmlPersatuan umat di bawah satu sistem, yaitu Khilafah, dan satu pemimpin, yaitu Khalifah sangat mungkin diwujudkan oleh kaum Muslim. Sebab, Allah tidak membebani hamba di luar kapasitasnya. Sejarah juga menunjukkan semua itu telah berhasil diwujudkan oleh kaum Muslim terdahulu. Jadi, pasti semua itu bisa diwujudkan kembali oleh kaum Muslim.
Namun, bukan berarti mewujudkannya adalah perkara mudah. Perjuangan untuk
itu bisa memakan waktu yang panjang; juga ada bermacam penghalang yang
menghadang. Penghalang itu bisa datang dari luar, yaitu dari musuh-musuh Islam
dan kaum Muslim, Bisa juga dari internal umat berupa kondisi atau sikap mereka
yang keliru.
Perjuangan yang panjang dan tidak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan,
akan bisa dirasa melelahkan. Akibatnya, metode yang telah diadopsi bisa mulai
diragukan. Kebenaran metode tidaklah diukur dari cepat-tidaknya membuahkan
hasil. Harus dipahami bahwa metode perjuangan adalah bagian dari hukum syariah.
Metode itu harus digali dari nash syariah, yakni dengan mencontoh metode Rasul
saw. Karenanya, kebenaran metode itu semata-mata dinilai dari kebenaran
istinbâth-nya dan kesesuaiannya dengan metode Rasul saw. Jika ini terpenuhi,
tidak ada alasan untuk meragukannya.
Akibat lainnya adalah munculnya pesimisme dan keputusasaan. Dalam hal ini,
harus dipahami bahwa kita tidak bertanggung jawab atas hasil. Yang
dipertanggungjawabkan di sisi Allah adalah perjuangan itu, apakah sudah
dilakukan sebaik mungkin dengan mengacu pada metode Rasul saw atau tidak. Umat
harus senantiasa ingat, bahwa Allah melarang berputus asa dari rahmat-Nya.
Sikap itu hanyalah sikap kaum kafir (QS 12: 87) atau orang yang sesat (QS 15:
55-56). Di sisi lain, Allah memerintahkan agar kita tetap mengharapkan rahmat
Allah (QS 7: 56; 17: 57). Allah pun telah berjanji akan memberikan pertolongan
kepada hambanya. Hendaknya ayat-ayat al-Quran dan hadis yang menjelaskan
masalah ini senantiasa di-tadabbur-i untuk semakin menjauhkan keputusasaan dan
sebaliknya semakin mengentalkan harapan serta optimisme dalam perjuangan.
Bisa juga muncul sikap pragmatis, menerima tawaran atau mengambil jalan yang
diangankan atau diduga bisa lebih cepat membuahkan hasil. Sikap ini sering
justru mengalihkan perjuangan dari garis yang seharusnya dan dari tuntunan
ideologi Islam, juga bisa menjerumuskan ke dalam perangkap sistem yang tidak
islami dan strategi musuh, bahkan bisa lebih menonjolkan adanya perselisihan
dan perpecahan di tengah-tengah umat. Banyak fakta yang menunjukkan hal itu.
Untuk itu, umat, khususnya para aktivis dakwah, harus semakin mengentalkan
kesadaran ideologi Islamnya. Pelajaran dari Rasulullah saw. yang menolak
tawaran tahta, harta dan wanita yang diajukan Walid bin Mughirah, utusan
Quraisy, cukuplah menjadi pegangan.
Halangan berikutnya adalah sikap ingin menang sendiri, menganggap pendapat
sendiri paling benar dan yang lain salah, fanatisme mazhab, serta tidak
proporsional menyikapi perbedaan. Dalam hal ini, penting dipahami bahwa selama
perbedaan itu secara syar’i memang diperbolehkan, yaitu perbedaan dalam masalah
furû’, maka tidak boleh dikembangkan sikap menghujat, menyesatkan atau bahkan
mengkafirkan dan memusuhi pihak lain yang pendapatnya berbeda. Sikap yang harus
dikembangkan mestinya seperti sikap para Sahabat dan ulama terdahulu yang tidak
menjadikan perbedaaan itu sebagai perpecahan, perselisihan dan pertikaian
dengan mereka yang memiliki pendapat berbeda. Sikap yang dikedepankan hendaknya
seperti sikap para imam mazhab, “Pendapatku benar, tetapi mungkin saja keliru.
Pendapat yang lain keliru, tetapi mungkin saja benar.”
ADVERTISEMENT
REPORT
THIS AD
Adanya perbedaaan itu mestinya justru menyadarkan dan semakin mendorong
kita untuk mewujudkan seorang khalifah yang akan bisa menghilangkan perbedaan
itu dalam tataran praktis. Kaidah syariah menyatakan: Amr al-Imâm yarfa’u
al-khilâf (Perintah imam menghilangkan perselisihan).
Halangan lainnya adalah sikap berpegang pada qawmiyah, nasionalisme, patriotisme dan sikap ’ashabiyah lainnya. Sikap inilah yang telah menyebabkan terpecahnya kaum Muslim dalam lebih dari 50 negara kecil dan lemah. Hendaknya diingat sabda Rasul saw.:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عَصَبِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِاْلآبَاءِ، إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ أَوْ فَاجِرٌ شَقِيٌّ، النَّاسُ بَنُوْ آدَمَ، وَآدَمَ مِنْ تُرَابٍ، وَلاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari diri kalian ‘ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan
Jahiliyah karena keturunan. Seseorang hanyalah seorang Mukmin yang bertakwa
atau seorang pendosa yang celaka. Manusia itu anak cucu Adam, sedangkan Adam
berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab kecuali karena
ketakwaannya. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Bahkan orang yang menyerukan ‘ashabiyah dinilai bukan bagian dari umat Muhammad
saw.1 dan termasuk debu Jahanam meski ia menunaikan shalat dan puasa.2 Orang
yang berperang membela ‘ashabiyah, jika mati. Ia mati Jahiliyah.3
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]