OLAHRAGA DALAM PANDANGAN ISLAM
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/olahraga-dalam-pandangan-islam.htmlKH. Drs. Hafidz Abdurrahman, MA
Dunia
olahraga memang luas, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Potensi,
motivasi bahkan ambisi mereka dalam berolahraga pun berbeda-beda. Ada yang baik
dan positif, tetapi ada juga yang tidak baik dan negatif.
Olahraga
itu sendiri, apakah yang berbentuk fisik maupun psikis, ternyata ada yang
bermanfaat dan konstruktif, tetapi ada juga yang membahayakan dan merusak.
Karena
itu, kegiatan olahraga dan non-olahraga, bahkan semua urusan kehidupan manusia,
karena merupakan bagian dari kehidupan manusia, harus diatur, baik dengan
Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah saw. Baik dalam bentuk perbuatan, perkataan,
termasuk motivasi dan tindakannya.
Pengaturan
itu bukan karena tradisi dan budaya atau karena populer dan digandrungi, jika
ternyata bertentangan dengan syariat Allah harus dilarang.
Sebab,
syariatlah yang menjadi pemutus atas individu, jamaah dan negara. Syariat
pulalah yang menjadi penentu perasaan dan perilaku. Syariat pulalah yang mengatur
seluruh aspek kehidupan.
TUJUAN
OLAHRAGA
Kehidupan
umat Islam pada era di mana hukum Islam diterapkan dalam seluruh aspek
kehidupan di bawah naungan Khilafah adalah kehidupan yang dipenuhi dengan
ambisi dan cita-cita Islam yang agung dan mulia, yaitu i’la’i kalimatillah
(menjunjung tinggi kalimah Allah) dengan dakwah dan jihad, guna mengemban dan
menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya
melancong dan rekreasi umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Dawud,
Hakim, Baihaqi dan at-Thabrani).
Ini
menjadi bukti, bahwa kehidupan umat Islam bukan kehidupan yang dipenuhi dengan
sendagurau, main-main dan santai, tetapi kehidupan yang serius. Meski tidak
berarti, tidak boleh diselingi, sesekali dengan santai dan sendagurau. Tetapi,
selingan tetap selingan. Bukan justru, selingan ini mendominasi waktu dan
hari-hari seorang Muslim.
Karena
itu, jika Nabi memerintahkan agar kita mengajarkan renang, berkuda dan memanah
kepada anak-anak kita, konteks perintah tersebut ada dua: Pertama, menjaga
kebugaran tubuh agar tetap sehat; Kedua, melatih kekuatan fisik untuk persiapan
berjihad di jalan Allah. Tidak lebih dari itu. Maka, olahraga diperlukan dalam
dua konteks ini. Bukan untuk olahraga itu sendiri, juga bukan untuk mendapatkan
dan mengumpulkan harta, bukan pula untuk mendapatkan popularitas dan ketenaran,
yang diikuti dengan arogansi, kesombongan serta sikap destruktif lainnya,
sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh olahragawan dan atlet saat ini.
Dengan
kata lain, olahraga ini di-set up sedemikian rupa sebagai bagian dari aktivitas
politik dan ideologis. Inilah tujuan dan konteks olahraga, yang di era
permulaan Islam dikenal dengan istilah Furusiyyah (latihan berkuda untuk
menjadi kesatria), yaitu untuk memberikan, membela dan mengembalikan hak-hak
yang dirampas dari pemiliknya.
Dalam
konteks inilah, olahraga ini disyariat. Allah berfirman, “Siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang mampu kalian upayakan.” (QS. al-Anfal:
60). Nabi juga bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
oleh Allah, ketimbang orang mukmin yang lemah.” Dalam konteks itu pula, Nabi
saw mengizinkan orang-orang Abesenia untuk memainkan tombak di Masjid Nabawi
yang mulia. Nabi juga mengizinkan Aisyah, istri Baginda saw, untuk melihat
mereka (HR Muttafaq ‘Alaih).
KEBIJAKAN
OLAHRAGA YANG SALAH
Ketika
kehidupan umat Islam dipimpin oleh ideologi kapitalisme, dengan asas manfaat
sebagai pandangan hidupnya, maka orientasi hidup kaum Muslim pun berhasil
disesatkan. Mereka bukan hidup untuk Islam dan umatnya, apalagi persiapan untuk
kehidupan akhirat. Tetapi, mereka hidup untuk kesenangan duniawi dan materi.
Dunia olahraga pun disulap menjadi industri untuk mewujudkan ambisi materi,
duniawi dan polularitas.
Para
olahragawan dan atlet pun telah menjelma menjadi selebritas, yang diburu oleh
media dan penggemar, kemudian diikuti dengan iklan dan pendapatan yang
melimpah. Inilah industri olahraga yang telah keluar dari konteksnya untuk
menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat dan melatih kekuatan fisik untuk
persiapan berjihad di jalan Allah. Di negara-negara Barat, olahragawan dan
atlet pun terlibat skandal seks, minuman keras, kecanduan obat dan moralitas.
Fenomena
kehidupan mereka pun telah menyihir kaum Muslim. Mereka mengikuti berita dan
agenda olahraga dengan mendalam, sementara mereka nyaris tidak tahu urusan
agama dan umat mereka. Semuanya ini telah menyeret mereka dari berbagai usia,
mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Inilah musibah yang dihadapi oleh
kaum Muslim saat ini. Bahkan, olahraga telah digunakan sebagai sarana untuk
meracuni mereka dan menghalang-halangi mereka dari dzikir, shalat dan jihad di
jalan Allah, serta membuang-buang potensi mereka untuk bermain siang dan malam,
tanpa peduli terhadap peristiwa atau kondisi yang menimpa kaum Muslim. Ini
jelas dilarang oleh Islam.
KEPENTINGAN
POLITIK DAN KEPENTINGAN IDEOLOGIS
Jihad
sebagai ujung tombak Islam (dzarwah sanam al-Islam) dan cara yang disyariatkan
oleh Allah untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, jelas membutuhkan
persiapan, antara lain kebugaran badan. Dalam hal ini, olahraga dan latihan
fisik jelas mempunyai peranan. Sebagai contoh, keahlian memanah, melempar
lembing dan menembak, misalnya, jelas sangat dibutuhkan dalam berjihad.
Demikian
juga kebugaran fisik, merupakan prasyarat yang dibutuhkan dalam berjihad agar
bisa mengarungi medan jihad yang sangat berat. Ini membutuhkan latihan dan
olahraga, seperti jalan kaki, lari spring, termasuk renang yang sangat membantu
kebugaran fisik dan pernafasan. Selain itu, olahraga seperti karate, taekwondo,
kungfu, ninja dan keterampilan sejenisnya, di mana olahraga ini berguna untuk
mempertahankan diri dan menyerang lawan, juga dibutuhkan.
Hanya saja, olahraga tersebut bukan untuk olahraga itu sendiri, sehingga tidak untuk diperlombakan, sekaligus menjadi ajang pertunjukan, tontonan dan bisnis. Karena tradisi perlombaan seperti ini tidak ada dalam budaya Islam. Budaya ini merupakan budaya Yunani, dengan gimnasiumnya, dan ada sebelum Islam. Ketika Islam berkuasa, budaya dan tradisi seperti ini tidak pernah ditemukan dalam kehidupan Islam. Karena itu, apa yang kini berlangsung di tengah-tengah kaum Muslim, sesungguhnya bukan warisan budaya Islam dan bertentangan dengan cita-cita Islam. Wallahu a’lam.[]