Mengusir Sepi Saat Sendiri
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/mengusir-sepi-saat-sendiri.html***
Ungkapan beliau yang sudah berusia lebih dari 60 tahun ini mengingatkan saya pada perkataan Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187 H) yang dikutip Imam an-Nawawi dalam al-Adzkâr:
لا تستوحشْ طرقَ الهدى لقلّة أهلها، ولا تغترَّ بكثرة السالكين الهالكين
“Janganlah engkau merasa galau meniti jalan petunjuk karena sedikitnya orang yang berada di atasnya, jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang melewati jalan kebinasaan.”[1]
Ungkapan ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa untuk meniti jalan kebenaran dan kemuliaan harus bersiap menjalaninya dengan hanya sedikit teman. Dalam mendaki gunung saja, tidak setiap orang sanggup menempuh puncak ketinggian, sebagian orang akan berhenti di tengah jalan karena takut ketinggian, sebagian yang lain akan berhenti di tengah pendakian karena kelelahan, sebagian yang lain lagi akan merasa nyaman di pertengahan pendakian lalu berkemah dan bersenang-senang dengan udara sejuk dan pemandangan indah yang mereka dapatkan, lalu merasa cukup untuk menetap di situ. Begitulah, makin tinggi tujuan, makin sedikit teman perjalanan. Allah berfirman:
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu”.” (QS. At Taubah: 42)
Adalah manusiawi jika terkadang seseorang merasa kesepian. Rasa ini bisa disikapi dengan dua hal; pertama dengan menguatkan kesadaran akan hubungan dengan Allah Ta’ala, bahwa selalu ada Dia yang membersamai. Kedua, dengan ‘mengejar’ dan membersamai orang-orang yang posisinya telah berada ‘di depan’, bukan dengan ‘melambatkan’ diri untuk menunggu orang-orang yang ‘di belakang’.
Dalam Madârij as-Sâlikîn dinyatakan:
وَكُلَّمَا اسْتَوْحَشْتَ فِي تَفَرُّدِكَ فَانْظُرْ إِلَى الرَّفِيقِ السَّابِقِ، وَاحْرِصْ عَلَى اللَّحَاقِ بِهِمْ، وَغُضَّ الطَّرْفَ عَمَّنْ سِوَاهُمْ، فَإِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا، وَإِذَا صَاحُوا بِكَ فِي طَرِيقِ سَيْرِكَ فَلَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِمْ، فَإِنَّكَ مَتَى الْتَفَتَّ إِلَيْهِمْ أَخَذُوكَ وَعَاقُوكَ… الظَّبْيُ أَشَدُّ سَعْيًا مِنَ الْكَلْبِ، وَلَكِنَّهُ إِذَا أَحَسَّ بِهِ الْتَفَتَ إِلَيْهِ فَيَضْعُفُ سَعْيُهُ، فَيُدْرِكُهُ الْكَلْبُ فَيَأْخُذُهُ
”Setiap kali kamu merasa galau karena kesendirianmu, maka lihatlah teman perjalanan yang telah berada di depan, berusahalah untuk ‘menyusul’ mereka. Tutuplah matamu dari memperhatikan kepada selain mereka (yang lebih lambat dari jalanmu), karena hal itu tak akan berguna bagimu di sisi-Nya. Jika mereka menyerumu untuk melambatkan jalanmu, janganlah menoleh kepada mereka. Karena jika kamu menoleh, mereka bisa mengejarmu dan memperlambatmu… kijang lebih kencang larinya daripada anjing pemburu, hanya saja tabiat kijang yang begitu merasakan sesuatu selalu menoleh kepadanya, itulah yang akan memperlambat larinya, sehingga anjingpun bisa mengejar dan menangkapnya (karena dia hanya fokus dengan apa yang menjadi tujuannya).”[2]
***
Di tengah perjalanan pulang, saat malam merayap mendekati pertengahannya, saya tercenung mendengar sebait syair lagu yang diputar oleh teman kami di mobil yang kami tumpangi:
“Hidup sebuah misteri. Mati sebuah hal pasti. Do’a ku dan harapan. Akhir dalam kebaikan. Ya Allah Biha Ya Allah Biha Ya Allah Bihusnil Khotimah”
Hidup memang misteri. Ada yang sama-sama menghalangi dakwah, yang satu dapat ‘kompensasi’ jabatan yang wah, yang satunya lagi kehilangan jabatannya dan masuk hotel prodeo yang bikin gelisah. Ada pula yang sama-sama serius menjalankan dakwah, yang satu ekonominya berkembang hingga mampu membeli mobil mewah, sementara yang satunya lagi ekonominya masih susah.
Namun, apapun hasil duniawi yang diperoleh seseorang karena amalnya, mati tetaplah sebuah hal pasti. Balasan akhirat bagi penghalang dakwah jika tidak sempat bertaubat juga pasti. Balasan bagi yang ikhlas meniti jalan ketaatan dan bersabar menghadapi kesukaran juga pasti. Jika yakin begini, pantaskah orang yang berakal berjibaku melakukan kemaksiatan dalam rangka mengejar ketidakpastian duniawi sembari meninggalkan kepastian ukhrawi?. [Ustadz MTaufikNT]