Larangan-Larangan Bagi Perempuan dalam Masa Berkabung (Ihdad)
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/larangan-larangan-bagi-perempuan-dalam.html Tanya :
Ustadz, suami saya
baru saja meninggal. Mohon diterangkan hal-hal apa saja yang dilarang bagi
isteri yang berkabung karena ditinggal mati suaminya? (Farida, Yogyakarta).
Jawab :
Sebelumnya perlu
dijelaskan masa iddah untuk perempuan yang ditinggal mati suaminya dan hukum
syara’ yang terkait dengan masa iddah itu. Masa iddah mereka adalah empat bulan
sepuluh hari, sesuai firman Allah SWT (artinya) : “Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri
itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah
[2] : 234).
Ayat di atas berlaku
umum, berlaku untuk setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kecuali jika
perempuan itu hamil, maka masa iddahnya bukan empat bulan sepuluh hari,
melainkan hingga perempuan itu melahirkan, sesuai firman Allah SWT (artinya) :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS Ath-Thalaq [65] : 4).
Hukum yang terkait
dengan masa iddah ini ialah adanya larangan khitbah dan nikah dalam masa iddah.
Tidak boleh seorang laki-laki melamar (khitbah) perempuan yang ditinggal mati
suaminya jika disampaikan secara terang-terangan (tashrih), namun boleh jika
disampaikan secara sindiran (ta’ridh). Dalilnya firman Allah SWT (artinya) :
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu [yang ditinggal mati
suaminya dalam masa iddahnya] dengan sindiran.” (QS Al-Baqarah [2] : 235).
Tidak boleh pula dalam
masa iddah ini melakukan akad nikah. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) :”Dan
janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis
iddahnya.” (QS Al-Baqarah [2] : 235). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa para ulama
telah sepakat bahwa akad nikah tidak sah jika dilakukan dalam masa iddah.
(Tafsir Ibnu Katsir, I/509).
Adapun
larangan-larangan dalam masa iddah yang disebut masa berkabung (ihdad), ada 5
(lima) perkara sebagai berikut (lihat Shalih Al Fauzan, Tanbihat ‘Ala Ahkam
Tukhtashshu bil Mu`minat, hlm. 69-70) :
Pertama, tidak boleh
perempuan yang ditinggal mati suaminya menggunakan wangi-wangian dalam segala
jenisnya. Baik itu wangi-wangian di badan atau di pakaian, atau mempergunakan
sesuatu yang berbau wangi. Dalilnya sabda Nabi SAW,”Janganlah perempuan itu
menyentuh wangi-wangian.” (wa laa tamassu thiiban). (HR Bukhari no 5342, Muslim
no 938).
Kedua, tidak boleh dia
berhias di badan (az-ziinah fil badan), misalnya mewarnai rambut atau anggota
tubuh dengan inai (khidhab), menggunakan celak (iktihal) dalam segala jenisnya,
kecuali jika celak itu dibutuhkan untuk berobat, bukan untuk berhias, maka
boleh menggunakan di malam hari namun harus dihapus di pagi hari. Dalilnya
hadis Ummu Athiyah RA, dia berkata tentang larangan dalam masa berkabung,”Kami
tidak menggunakan celak, tidak menggunakan wewangian, tidak menggunakan baju
yang dicelup…” (HR Bukhari no 5341; Muslim no 938).
Ketiga, tidak boleh
dia bersolek dengan baju (tazayyun bi tsiyab) yang memang dimaksudkan untuk
berhias. Dalilnya hadits Ummu Athiyah RA di atas. Pendapat yang lebih shahih
dalam madzhab Syafii bahwa yang dilarang adalah semua baju, baik dicelup atau
tidak, yang penting merupakan baju untuk berhias/bersolek (tsiyab az-ziinah).
(Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1378)
Keempat, tidak boleh
dia menggunakan perhiasan dalam segala jenisnya, seperti kalung, gelang,
termasuk cincin. Dalilnya hadis Ummu Salamah RA bahwa wanita yang berkabung
dilarang menggunakan perhiasan (al hulli) (HR Ahmad, 6/302; Abu Dawud no 2304,
Nasa`i, 6/203).
Kelima, tidak boleh
dia bermalam di luar rumahnya, yaitu rumah tempat meninggalnya suami, kecuali
ada udzur syar’i. Dalilnya hadis Fari’ah binti Malik RA yang suaminya
meninggal, bahwa Nabi SAW berkata kepadanya,”Berdiamlah kamu di rumahmu…” (HR
Tirmidzi no 1204, Nasa`i, 6/199; Ibnu Majah no 2031). Wallahu a’lam.