Kiprah Politik Muslimah Era Rasulullah SAW
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/kiprah-politik-muslimah-era-rasulullah.htmlOleh : Purna Akbar, Islamic Institute for
Political and Socio-Economic Studies (Inpisos)
Mengupas permasalahan muslimah seperti
tidak ada habisnya. Kata sebagian pengamat, para muslimah adalah keajaiban ke
delapan setelah tujuh keajaiban dunia. Tak terhitung lagi jumlah buku, jurnal,
majalah, dan kaset ceramah yang mengupas tentang kemuslimahan. Terlebih, saat
memasuki abad ke dua puluh satu ini yang menjadi momentum bangkitnya
kajian-kajian terhadap eksistensi muslimah.
Tulisan singkat ini merupakan sebuah ikhtiar berupa
penjelasan ringan dan gambaran umum tentang bagaimana kiprah politik kaum
muslimah generasi awal Islam. Wacana politik muslimah sendiri merupakan isu
seksi yang menarik untuk dibahas. Terlebih dengan menghadirkan potret
pergerakan muslimah pada masa Rasulullah SAW.
Tak ada yang memungkiri bahwa shahabiyyat (sahabat-sahabat
perempuan Rasulullah SAW) dan ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah
SAW) merupakan cerminan muslimah yang memiliki kiprah pergerakan yang tinggi
dan sosok politisi sejati.
Segala potensi shahabiyyat teraktualisasikan
dalam amal islami sebagai bagian integral dari dakwah islam di bawah
kepemimpinan Rasulullah SAW. [1]
Jejaknya dapat kita telusuri pada peristiwa
Hudaibiyah. Ketika Rasulullah SAW menyepakati perjanjian Hudaibiyyah dengan
kaum kafir Makkah yang menimbulkan perselisihan batin di antara para sahabat.
Mereka menilai poin-poin pada perjanjian Hudaibiyyah tersebut merugikan kaum
muslimin.
Sehingga ketika Rasulullah SAW memerintahkan mereka
untuk menyembelih kurban dan memotong rambut tak ada seorang sahabatpun yang
melaksanakannya, bahkan Rasulullah SAW mengulang perintahnya sebanyak tiga
kali, namun para sahabat tetap bergeming.
Dalam kondisi inkompabilitas dan kritis menyaksikan
para sahabat tak ada seorangpun yang bangkit mau melaksanakan perintahnya,
Rasulullah masuk ke dalam tenda menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang
dialaminya.
Mendengar hal tersebut Ummu Salamah berkata “Wahai
Nabi Allah, apakah Engkau menyukai hal itu?",
"Ya", jawab beliau
"Keluarlah dan jangan berbicara dengan siapapun,
sebelum kamu menyembelih kurbanmu lalu panggil tukang cukurmu untuk
menyukurmu".
Rasulullah Saw lalu keluar dari tendanya dan tidak
berbicara kepada seorangpun dari sahabatnya sampai beliau melakukan semua yang
seharusnya dilakukan. Ketika para sahabat melihat hal tersebut mereka segera
bangkit dan menyembelih hewan kurban mereka serta mencukur rambut mereka. [2]
Kisah Ummu Salamah tersebut merupakan teladan tentang
bagaimana kematangan Ummu Salamah memahami realitas secara komprehensif dan
kecerdasannya menganalisis situasi sehingga ia mampu merumuskan solusi yang
cemerlang.
Hal ini menunjukkan pula bahwa para muslimah di era
Rasulullah SAW adalah para komunikator politik ulung yang mampu
merasionalkan hal-hal yang bersifat emosional.
Kita juga tercerahkan oleh kisah seorang shahabiyyat
yang mendapatkan gelar dzaatun nithaaqain (pemilik dua ikat
pinggang), Asma' binti Abu Bakar. Wanita muda yang sedang hamil tua memainkan
peran politik krusial melindungi seorang Rasul yang juga seorang revolusioner.
Asma' binti Abu Bakar berhasil menyediakan logistik
bagi Rasulullah dan Abu Bakar yang mendampingi Rasulullah SAW Hijrah ke madinah
menuntaskan proyek revolusi.
Ada empat orang yang memegang peran penting dalam
rangka mensukseskan proses hijrah Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Pertama,
Abdullah bin Uraiqit yang bertugas menjadi penunjuk jalan. Kedua, Abdullah
bin Abu Bakar yang merupakan seorang intel Rasulullah. Ketiga, Amir bin
Fuhairah bertugas menggiring hewan ternak untuk menghapus jejak para sahabat
dan mengelabuhi musuh. Keempat, Asma' binti Abu Bakar, yang bertugas menyuplai
stok logistik.[3]
Kalau melihat pembagian tugas ini, maka dapat
disimpulkan bahwa proses hijrah telah direncanakan dengan matang, penuh
kehati-hatian, dan perhitungan terhadap segala kemungkinan teknis yang bakal
terjadi. Dan luar biasanya Asma' binti Abu Bakar adalah seorang muslimah yang
turut berkontribusi dalam peristiwa revolusioner tersebut dengan sangat baik.
Dalam sebuah kisah yang cukup masyhur disebutkan, Abu
Jahal yang gagal menangkap Rasulullah SAW lantas menyatroni Rumah Abu Bakar dan
keluarlah Asma' binti Abu Bakar.
“Di mana Muhammad dan ayahmu?” tanya Abu Jahal.
“Mengapa kau bertanya kepadaku? Sejak kapan seorang
laki-laki Arab memberitahu kepada anaknya ke mana ia pergi. Bukankah Abu Bakar
biasa berdagang ke banyak tempat tanpa memberitahuku?”
Mendengar jawaban ini Abu Jahal naik pitam. “Di mana
Muhammad dan ayahmu sekarang?”
“Bukankah sudah kujawab bahwa Abu Bakar bisa pergi ke
mana saja. Apalagi Muhammad yang bukan ayahku,” jawab Asma’ diplomatis.
Tak tahan dan naik pitam Abu Jahal menampar Asma' hingga anting-antingnya
terpelanting. [4]
Tak bisa dibayangkan bayangkan bagaimana kondisi Asma'
saat itu yang sedang dalam kondisi hamil tua. Tapi, yang jelas ia tetap teguh
menjalankan misi yang diembannya walaupun risikonya adalah keselamatanya dan
keselamatan kandungannya. Ia berhasil menjaga sebuah rahasia, menjaga amniyah,
menjaga keselamatan Rasulullah SAW dan menyukseskan revolusi.
Kita juga disuguhi peristiwa politis ketika dua orang
muslimah Madinah yang turut membai'at Rasulullah pada masa transisi kekuasaan
dari elit politik (kepala qabilah) madinah kepada Rasulullah SAW di bukit
Aqabah.
Dari jumlah 75 orang yang berbai'at pada bai'at aqabah
kedua tersebut terdapat dua orang muslimah yang turut berpartisipasi yakni,
Nasibah binti Ka'ab dan Asma' binti Amru bin Adi.[5]
Peristiwa yang dikenal dengan bai'at aqabah kedua dan
bai'at nisaa' ini juga menunjukkan kepada kita bahwa Rasulullah SAW telah
mendirikan negara di Madinah yang ditandai dengan transisi kekuasaan dari elit
politik madinah kepada Rasulullah SAW.
Para elit politik madinah sebagai ahl al-nushrah wa
al-man’ah (kaum yang memberikan pertolongan dan perlindungan) telah memberikan
nushrah dan man’ah-nya kepada Rasulullah SAW. Isi bai'at yang bukan hanya baiat
untuk menolong dan melindungi, tetapi juga bai'at untuk berperang melawan
musuh-musuh mereka menunjukkan bahwa Rasulullah telah mendirikan negara di
Madinah, dan uniknya adalah adanya partisipasi dari dua orang muslimah pada
peristiwa politik yang esensial tersebut.
Kisah-kisah di atas bukanlah sekedar penggalan cerita
yang menampilkan romantika belaka, bukan pula riwayat yang hanya dihafal
matannya. Kisah di atas menunjukkan bahwa shahabiyyat dan ummahatul
mukminin memiliki partisipasi dan kontribusi politik yang bernilai
strategis.
Partisipasi dan kontribusi yang diberikan oleh para shahabiyyat
dan ummahatul mukminin tersebut tidak hanya dalam ranah privat
tapi juga ranah domestik dan publik. Selain itu juga menunjukkan bahwa shahabiyyat
dan ummahatul mukminin adalah para aktor dan komunikator politik
yang ulung. []