Kiat Menambah Penghasilan Keluarga
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/kiat-menambah-penghasilan-keluarga.html
Ir. Rezkiana Rahmayanti; Pemerhati Masalah Keluarga
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
"Orang-orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain." (QS at-Taubah [9]: 71).
Krisis keuangan
dapat dialami keluarga manapun, termasuk keluarga Muslim. Apalagi dengan
kezaliman penguasa saat ini yang menaikkan harga BBM, yang telah memukul
masyarakat, tak terkecuali keluarga Muslim.
Akibatnya,
kebutuhan keluarga baik kebutuhan primer, sekunder, apalagi tersier sangat
sulit untuk dapat dipenuhi. Namun demikian, kepala keluarga dari keluarga-keluarga
Muslim menyadari betul, bahwa Allah subhanahu wa ta'ala telah membebani mereka
untuk bertanggung jawab mencari nafkah (QS al-Baqarah [2]: 233).
Nabi shallallahu
'alaihi wassalam bahkan bersabda:
"Cukuplah
seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan upayanya untuk menafkahi
orang-orang yang menjadi tanggungannya." (HR Muslim).
Hanya saja,
saat kepala keluarga telah mengerahkan segala upaya untuk mencari nafkah, namun
kebutuhan keluarga belum terpenuhi, maka istri/ibu sebagai sahabat di dalam kehidupan
pernikahan akan segera terlibat untuk memberikan solusi-solusi yang membantu
penyelesaian masalah ini.
Ada beberapa kiat yang dapat
dilakukan istri/ibu:
1. Mengatur
pengeluaran keluarga secara efektif dengan menerapkan prinsip prioritas.
Para istri/ibu
saat ini dihadapkan pada berbagai kesulitan, di antaranya dalam mengatur
anggaran belanja rumahtangga. Harga-harga kebutuhan pokok melangit hingga
memaksa istri/ibu harus berhitung konsentrasi antara kecukupan gizi keluarga
dan anggaran yang tersedia.
Belum lagi
dihadapkan pada harga pakaian anak-anak yang mahal, pemilikan rumah layak huni
yang tidak terjangkau, pendidikan anak-anak dan biaya kesehatan yang tidak
murah, dll. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Pada saat yang
sama, penghasilan suami tidak bertambah. Tentu, para istri/ibu muslimah
dituntut memiliki prioritas yang jelas dalam mengelola keuangan dengan
mengikuti prioritas dalam tuntunan syariah: pembelanjaan yang wajib
didahulukan, lalu yang sunnah, baru kemudian yang mubah.
Istri/Ibu juga
sangat diharapkan bisa kreatif dalam mengelola pendapatan keluarga, termasuk
mengolah makanan. Ibu dapat mengolah bahan makanan yang sederhana menjadi
makanan yang lezat dan mengundang selera makan anggota keluarga.
Begitu juga untuk
pekerjaan rumah. Saat suami/kepala keluarga tidak mampu menyediakan pembantu,
seorang istri/ibu dengan ringan tangan dan cekatan mengatur waktu dalam
melakukan pekerjaan rumahtangga tanpa menuntut secara berlebihan kepada suami.
Dorongan
akidahlah yang mendominasi ibu/istri dalam merawat rumah (rabb al-bayt)
agar senantiasa bersih dan tertata dengan baik sehingga membuat anggota
keluarga merasa nyaman dan betah di dalam rumah.
Cukuplah
Fatimah radhiallahu 'anha sebagai suri teladan bagi para istri/ibu dalam
hal kesabaran dan keuletannya mengurus rumah tangga, dalam keadaan memiliki
kekurangan finansial.
Sikap istri/ibu
muslimah saat keluarga mengalami kekurangan finansial adalah sabar dan ikhlas,
tidak menuntut suami karena dorongan seleranya atau selera tetangga sekalipun
mereka selalu memprovokasi untuk membeli ini-itu yang tidak sejalan dengan
tuntunan syariah.
Kecerdasan
seorang istri/ibu sangat diperlukan untuk memberi penjelasan kepada tetangga
dan anak-anak, bahwa hidup ini bertujuan untuk menaati Allah subhanahu wa
ta'ala secara keseluruhan. Karena itu, segala keperluan yang mengarah pada
tegaknya kewajiban untuk taat kepada-Nya harus didahulukan.
Misal: membeli buku-buku yang relevan untuk memahami Islam, membeli peralatan
belajar atau pakaian syar‘i, membiayai transportasi untuk menjalani dakwah,
harus lebih didahulukan daripada membeli perlengkapan bermain (yang tidak
mendidik) dan hiburan.
2. Mencarikan
berbagai informasi tentang berbagai alternatif pekerjaan/pekerjaan sampingan
bagi suami.
Istri/ibu dapat
juga berperan mencarikan berbagai informasi tentang alternatif pekerjaan yang
dapat dilakukan oleh suami/kepala keluarga tanpa harus mengorbankan waktu untuk
akivitas penting lainnya. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan, karena
istri/ibu yang memiliki interaksi yang tinggi dengan ibu-ibu yang lain (apakah
dalam aktivitas dakwah, menuntut ilmu maupun kegiatan-kegiatan sosial) dapat
mencari info mengenai berbagai peluang yang dapat dilakukan suami tanpa harus
merasa malu. Istri/ibu yang dapat mengakses internet dapat mencarikan berbagai
informasi lowongan pekerjaan melalui situs internet. Ia juga bisa mencarikan
lowongan pekerjaan bagi suami melalui jalur kekerabatan dalam keluarga besar.
3. Membantu
menambah penghasilan keluarga.
Pada saat
alternatif-alternatif di atas belum memberikan solusi yang tepat dalam
mengatasi krisis keuangan keluarga, maka istri/Ibu dapat membantu secara
langsung (bekerja). Hanya saja, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama: kewajiban mencari nafkah tetap pada suami, bukan pada istri; istri sekadar
membantu (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34).
Kedua: harus disadari bahwa bekerja bagi perempuan hukumnya mubah saja, bukan
wajib. Artinya, bekerja bagi istri/ibu hanyalah pilihan; bisa dilakukan atau
tidak. Suami/kepala keluarga tidak berhak memaksa istri untuk bekerja. Jika ini
terjadi berarti suami telah telah menzalimi istrinya.
Ketiga: Saat istri/ibu memilih bekerja demi menambah penghasilan keluarga tidak
berarti kewajiban sebagai Ibu/manager rumahtangga (ummu wa rabb al-bayt)
terbebaskan; tidak dibenarkan ia meminta keringanan untuk meninggalkan
kewajiban-kewajiban yang lainnya. Misal: karena ia bekerja, urusan mendidik
anak diserahkan kepada pembantu; karena alasan bekerja, ia meminta kelonggaran
untuk tidak berdakwah.
Karena itulah,
istri/ibu sangat diharapkan cerdas dalam memilih jenis pekerjaan; tidak menyita
waktu dan energi yang banyak. Misal: bekerja paruh waktu, bekerja dengan
pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah, membuka usaha bersama suami; dll.
Dalam kondisi
istri ikut bekerja, akan sangat arif sekali jika suami pun membantu pekerjaan
istri di rumah jika mungkin untuk dilakukan. Misal: bapak dapat mempersiapkan
perlengkapan pakaian sendiri untuk ke kantor, membantu memandikan anak,
bergantian bersama istri menemani anak belajar, dan lain-lain.
Keempat: memilih pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Dalam hal ini, jangan
sampai demi membantu suami, seorang istri bekerja dengan melanggar syariah.
Suami juga harus harus memastikan apakah pekerjaan yang dipilih istrinya
dibenarkan oleh syariah.
Sebelum
menerima suatu pekerjaan, pastikan kejelasan akad dalam hal jenis pekerjaan,
jumlah jam kerja perhari, berapa hari perminggu, kesesuaian jumlah gaji,
pekerjaan tersebut tidak mengandung riba, dll.
Islam telah
memberikan alternatif bagi Muslimah untuk bekerja terkait dengan bidang
pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang ini adalah yang terdekat dengan kodrat
kewanitaan.
Selain itu,
Muslimah yang bekerja juga harus memperhatikan suasana dan tempat bekerja.
Misal: tempat bekerjanya tidak menyuburkan terjadinya percampuran antara
laki-laki dan perempuan (ikhtilat) serta khalwat (bersepi-sepi
dengan lawan jenis yang bukan mahram); harus menutup aurat; tidak ber-tabarruj;
tidak melakukan safar tanpa ditemani mahram; dll.
Kelima: Senantiasa menjalani seluruh aktivitas dengan motivasi ruhiah (dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah ), bukan karena materi semata. Seorang istri/ibu
yang bekerja demi membantu suami tidak akan terjebak dalam suasana konsumtif
dan hedonis (hura-hura dalam menghamburkan uang). Ia tetap menyadari bahwa
bekerja hanyalah aktivitas sementara yang dilakukan dalam rangka membantu
tercukupinya kebutuhan-kebutuhan dalam standar yang dibenarkan oleh syariah. []