Khilafah Vs Nation-state
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/khilafah-vs-nation-state.htmlTulisan ini bertujuan untuk menjelaskan 3 (tiga) hal. Pertama: kritik terhadap konsep nation-state (negara-bangsa). Kedua:perbedaan negara Khilafah dengan nation-state. Ketiga: keunggulan Khilafah dibandingkan dengan nation-state.
Untuk memperjelas posisi dan konteks hubungan antara nation-state dan Khilafah, akan diuraikan terlebih dulu bagaimana perjalanan sejarah konsep nation-state dan kaitannya dengan Khilafah.
Sejarah Nation-State dan
Khilafah
Nation-state (negara-bangsa) adalah negara
yang didasarkan pada konsep nasionalisme. Dalam nation-state,
rakyat mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah “bangsa” (nation),
yaitu suatu komunitas manusia yang menganggap dirinya satu kesatuan karena
kesamaan etnis, sejarah, bahasa, budaya, atau faktor pemersatu lainnya.
Identitas sebagai “bangsa” inilah yang menjadi dasar adanya hak untuk
mendirikan sebuah negara. Ketika negara ini terwujud dalam realitas, ia
disebut negara-bangsa atau nation
state. Inilah konsep dasar dari nation-state.
Implikasi
dari konsep nation-state ini,
satu negara yang terdiri dari banyak bangsa (multibangsa) akan dianggap salah.
Demikian pula satu bangsa yang bercerai-berai ke dalam banyak negara akan
dianggap salah (Adams, 2004: 119 & 126).
Nation-state awalnya tumbuh di Eropa pasca
Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia)
tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal (monarki) di Eropa saat
itu. Dalam sistem feodal yang bersifat tradisional dan disakralkan oleh Gereja
Katolik ini, satu komunitas tidak didasarkan pada identitas sebagai “bangsa”,
tetapi sebagai sebuah dinasti yang dipimpin oleh para pangeran (prince)
yang menguasai satu wilayah tertentu yang telah mereka warisi. Misalnya, 300
tahun sebelum Revolusi Prancis (1789), wilayah yang disebut Belgia sekarang
ini, secara terus menerus diperintah oleh Duke of Burgundy, Raja Spanyol dan
Kaisar Austria (Adams, 2004: 120).
Setelah
Revolusi Prancis (1789), juga dua revolusi lainnya di Barat, yaitu Revolusi
Amerika (1776) dan “Gloriuous” Revolution di
Inggris (1688), konsep nation-state turut
menjadi penentu struktur geo-politik Eropa. Bersama-sama dengan ide-ide utama
yang dihasilkan pada Abad Pencerahan (abad ke-17 s/d ke-19), seperti demokrasi,
liberalisme, dan sekularisme, konsep nation-state akhirnya
diekspor melampaui tempat kelahirannya di Eropa, terutama melalui jalan
penjajahan. Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah saat itu
sedang dalam kondisi lemah secara internal. Khilafah pun digelari “sick
man of Europe”.
Ditambah
dengan faktor eksternal berupa imperialisme Barat di sebagian wilayahnya,
kondisi Khilafah kian memburuk dan akhirnya runtuh pada tahun 1924 pasca
kekalahannya dalam Perang Dunia I (1914-1918).
Dalam
konteks sejarah Khilafah yang demikian itu, konsep nation-state bukan
menjadi obat bagi “sick man of Europe”
itu, tetapi justru menjadi racun yang mematikan. Betapa tidak, karena
konsep nation-state telah menimbulkan
disorientasi jatidiri, juga disintegrasi dan perpecahan kaum Muslim. Gara-gara
ide nasionalisme yang terkandung dalam konsep nation-state,
umat Islam mengalami disorientasi jatidiri sehingga tersesat dalam
mengidentifikasikan dirinya.
Umat
Islam dari berbagai bangsanya, seperti Turki dan Arab, yang awalnya
mengidentifikasikan diri mereka sebagai “umat Islam” yang dipersatukan dengan
akidah Islam, akhirnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “bangsa Turki”
dan “bangsa Arab”. Inilah racun yang menjadi cikal-bakal disintegrasi dan
perpecahan umat Islam. Selain itu adalah faktor eksternal berupa konspirasi
kafir penjajah untuk memaksakan perpecahan umat Islam melalui Perjanjian
Sykes-Picot pasca Perang Dunia I (1914-1918).
Kritik atas Nation-State
Nation-state dapat dikritik dengan dua
cara. Pertama: dengan menjelaskan kelemahan
konsep nation-state itu sendiri, baik secara
teori ataupun praktik. Kedua: dengan
menjelaskan pertentangannya dengan Islam.
Kelemahan
konsep nation-state dapat dilihat dari
berbagai segi. Pertama:
nasionalisme—sebagai dasar nation-state—adalah ide
yang paling lemah secara intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam
bukunya, Political Ideology Today (1993).
Artinya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan
didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir secara jernih
dan rasional.
Karena
alasan itulah, nasionalisme memerlukan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa
simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu
kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional,
peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga dll), rekayasa
sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan
sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dan sebagainya
(Adams, 2004: 143).
Kedua: pengertian nation (bangsa)—sebagai
dasar konsep nation-state—tidak
jelas. Konsep bangsa sebenarnya
lebih sebagai mitos atau imajinasi, bukan sebagai realitas faktual.Ini dapat
dibuktikan kalau kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu komunitas menjadi
suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab, kesamaan etnis.
Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau Mesir, kesamaan etnis
mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang terdiri dari multienis
dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas jawaban kesamaan etnis
tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu etnis, yaitu Melayu,
tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa. Orang suku Papua, di
satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang Indonesia lainnya yang
berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin di Australia yang
masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda.
Mungkin
akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak
memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa
resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa,
tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu
bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah-belah menjadi banyak negara.
Kemusykilan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut
nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan)
(Adams, 2004: 144).
Ketiga: nasionalisme adalah ide kosong
yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana sebuah masyarakat diatur.
Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu dan tempat, nasionalisme
ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti liberalisme, konservatisme,
berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang menjadi penyebab semua
perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme memang tidak mengatakan
apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata Ian Adams, “Ide
nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari
sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).
Kritik
di atas adalah kritik secara teori untuk nation-state.
Secara
praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat
racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti
sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat
Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di
bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat
Islam.
Adapun
pertentangan nation-state dengan
Islam, jelas sekali tampak dalam ikatan
pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state,
ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya
adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan
bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).
Rasulullah saw. dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang Muslim
adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan
bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586).
Sejalan
dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga menegaskan ketunggalan negara
Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa pun suku dan bangsanya, hanya
boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka, yaitu satu negara Khilafah
saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah. Rasulullah saw. telah
bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang
terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no. 1853).
Terkait
dengan ketunggalan Khilafah ini, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H)
menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii
dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di
seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun
bertentangan. (Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, V/416).
Perbedaan Negara Khilafah dan Nation-State
Terdapat
perbedaan tajam antara negara Khilafah dengan nation-state dalam
banyak segi. Beberapa perbedaan pokok di antara keduanya disajikan dalam tabel
berikut:
Dari segi ikatan,
juga ada perbedaan. Dalam nation-state,
ikatannya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Khilafah, ikatannya adalah akidah
Islam.
Dari segi
kepentingan tertinggi, nation-state mengenal
apa yang disebut “kepentingan nasional” yang dirumuskan oleh elit politiknya,
baik kepentingan dalam negeri maupun kepentingan luar negeri. Dalam Khilafah,
kepentingan tertinggi adalah kepentingan umat (mashalih al-ummah), yang tunduk kepada
syariah Islam. Secara garis besar kepentingan umat tercermin dalam dua
hal. Pertama:
penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (politik dalam
negeri). Kedua:
penyebaran dakwah Islam ke luar negeri dengan jihad fi sabilillah (politik luar
negeri).
Dari segi batas
wilayah, nation-state akan
memiliki batas teritori yang tetap. Adapun batas wilayah Khilafah tidak tetap,
melainkan akan terus meluas seiring dengan politik luar negerinya, yaitu
penyebaran dakwah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah (M. Husain
Abdullah, Mafahim
Islamiyyah, II/42-44).
Dari segi sistem
hukum, nation-state juga
berbeda dengan Khilafah. Dalam nation-state,
sistem hukumnya adalah hukum nasional, yang bisa jadi berupa macam-macam sistem
hukum yang dicampur-aduk menjadi satu. Kalaupun ada satu sistem hukum, tidak
pernah menjadikan hukum Islam (syariah) sebagai sistem hukum tunggal. Di
Indonesia, misalkan, berlaku tiga sistem hukum: hukum Barat, hukum adat dan
hukum Islam. Dalam Khilafah, sistem hukumnya hanyalah syariah Islam, tidak ada
yang lain.
Dari segi bendera
dan bahasa, nation-state akan
mempunyai bendera dan bahasa nasional masing-masing. Dalam Khilafah, bendera
dan bahasa resminya hanya satu, yaitu bendera dan bahasa yang telah ditetapkan
syariah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Benderanya berupa Bendera Islam
yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu Liwa’ dan Rayah. Liwa‘ adalah bendera
berwarna putih dengan tulisan hitam yang berbunyi: “La ilaha illalLah Muhammadur
RasululLah”. Rayah adalah
bendera berwarna hitam dengan tulisan putih yang berbunyi: “La ilaha illalLah Muhammadur
Rasulullah”. (Lihat: Abdul Hayyi al-Kattani, At-Taratib al-Idariyah).
Bahasa resmi
negara Khilafah juga hanya satu, yaitu bahasa Arab, yang diberlakukan dalam
bidang pemerintahan, pendidikan dan urusan negara lainnya, seperti diplomasi
dan dakwah ke luar negeri. Namun, ini bukan berarti haram hukumnya menggunakan
bahasa lokal antar individu rakyat (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur).
Keunggulan
Konsep Khilafah atas Nation-State
Keunggulan konsep
Khilafah dapat dirumuskan dengan kata al-quwwah
wat tha’ah (kekuatan dan ketaatan). Artinya, Khilafah akan
mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh sebuah nation-state. Pasalnya,
dengan Khilafah, umat Islam di seluruh dunia akan menjadi satu kesatuan yang
bersatu. Persatuan ini dengan sendirinya akan menyatukan pula segala sumberdaya
yang dimiliki oleh umat Islam, seperti sumberdaya manusia (tentara, ahli,
pekerja, dll) dan sumberdaya alam dalam berbagai jenisnya (minyak, gas, emas,
dll).
Jelas persatuan
ini akan menjadi satu kekuatan dahsyat yang dapat memberikan maslahat yang
besar bagi umat Islam. Persatuan tersebut juga akan menjadi satu kekuatan besar
untuk melawan hegemoni Kapitalisme global yang kejam dan rakus di bawah
kepemimpinan AS saat ini.
Adapun terkait
ketaatan, artinya Khilafah jika diperjuangkan dan diamalkan oleh umat Islam,
akan menjadi ketaatan kepada Allah SWT. Karena Khilafah itu diwajibkan oleh
Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Khulafaur Rasyidin. Adapun nation-state,
sebaliknya, yaitu akan menjadi kemaksiatan kepada Alah SWT. Pasalnya, nation-state tidak
lahir dari ajaran dan sejarah Islam, melainkan lahir dari konteks
sosio-historis Eropa, yang dipraktikkan oleh kaum kafir penjajah. Karena itu
menerapkan nation-state artinya
adalah membuang contoh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, dan sebaliknya
mengikuti gaya hidup kaum kafir penjajah. Na’uzhu bilLah min dzalik. [KH. M. Shiddiq
Al-Jawi]