Kembalikan Peran Perempuan pada Fitrahnya
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/kembalikan-peran-perempuan-pada.html
Oleh : Arum Rumiatun, S.Pd ( Anggota Komunitas Penulis Perindu jannah)
Isu perempuan merupakan isu yang tak pernah habis untuk diangkat dalam
pembahasan. Sampai detik ini, perbincangan masalah perempuan masih terus
dilakukan dalam berbagai forum mulai diskusi, seminar intelektual maupun
sekedar perbincangan santai dalam lingkup informal. Pasalnya, perempuan dewasa
ini menjadi salah satu sosok sorotan yang mempunyai banyak peran dalam segala
hal. Terlebih lagi, masalah-masalah seputar perempuan juga selalu tampil di
media cetak maupun elektronik seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah
tangga, perampasan hak dan lain sebagainya. Gaung feminisme yang berusaha
menyetarakan posisi antara perempuan dengan laki-laki juga merupakan salah satu
gerakan yang selalu mengangkat isu perempuan. Dalam Women’s March tahun ini,
Parade Juang Perempuan Indonesia menggelar aksi dengan menyuarakan delapan
tuntutan kaitannya dengan isu perempuan (CNN Indonesia, 07/03/18).
Dalam era modern ini, sebagian para perempuan berupaya memiliki kedudukan
sejajar dengan laki-laki. Atas nama kesetaraan gender, para perempuan
berlomba-lomba untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kaum
laki-laki. Jika laki-laki mempunyai hak untuk berbicara di depan orang banyak,
maka atas nama gender para perempuanpun menuntut hak yang sama. Begitupun jika
laki-laki mendapatkan hak-hak tertentu dalam masyarakat, maka para perempuanpun
meminta hal yang sama. Selain itu, dalam isu gender perempuan didorong untuk
berdaya dalam sektor publik. Artinya seroang perempuan dianggap bermanfaat
ketika dia mampu meninggalkan aktivitas rumahnya dan lebih menghabiskan banyak
waktu di sektor publik. Misalnya dengan bekerja dan aktivitas semacamnya.
Padahal, jika ditelaah lebih jauh isu gender sebenarnya bukan menjadikan
perempuan berdaya tapi justru hanya memperdayakan perempuan. Bagaimana
tidak, dengan alasan kesetaraan gender para perempuan harus meninggalkan rumah
dan lebih rela menghabiskan waktunya bekerja di luar rumah. Itu artinya waktu
berkumpul bersama keluarga akan berkurang dan berefek pada terkikisnya
keharmonisannya rumah tangga. Waktu yang seharusnya dihabiskan untuk berkumpul
dengan keluarga akhirnya terbeli dengan sedikit lembaran yang didapatkan.
Anak-anak menjadi tidak begitu terurus dan peran wanita sebagai seorang ibu
terpinggirkan begitu saja.
Dari sini, jelas akan banyak hal yang harus dikorbankan oleh perempuan ketika
dia memenuhi tuntutan gender. Mulai dari pengorbanan tenaga, hilangnya hak anak
untuk mendapatkan perhatian lebih, hak rumah yang harus diurus dengan baik.
Terlebih penjagaan keharmonisan rumah tangga seorang perempuan bisa jadi akan
terancam karena memenuhi tuntutan tersebut.
Sesungguhnya peran perempuan dan laki-laki tidaklah akan pernah sama. Karena
mereka diciptakan dengan fitrah pembawaan yang berbeda. Seorang laki-laki
dengan fitrahnya dianugerahi kekutan fisik yang kuat, kemampuan untuk lebih
menggunakan pikiran dalam menghadapi segala hal, dan berbagai sifat untuk
memimpin. Seperti dalam surat An-Nisa ayat : 34 bahwa “Laki-laki adalah
pelindung bagi perempuan…….” . Kepemimpinan ini tidak akan bisa diwakilkan
mengingat Al-Qur’an sebgaai standar baku kebenaran pasti memberikan penjelasan
yang sahih tentang peran manusia dalam kehidupan. Sedangkan wanita, pada
fitrahnya cenderung perasa, lemah lembut dan memiliki berbagai sifat lain
kaitannya sebagai orang yang akan dipimpin.
Maka, peran seorang perempuan hanya akan berdaya ketika dikembalikan kepada
fitrahnya. Fitrah seorang perempuan adalah sebagai al-ummu wa rabbatul bait
(Ibu dan pengatur rumah tangga). Konsep peran ini sangat mulia dan tidaklah
seperti anggapan kaum feminis. Jabatan al ummu warobbatu bait merupakan jabatan
perempuan yang berasal dari fitrahnya. Artinya jabatan yang telah tersematkan
sejak mulai diciptakannya sebagia makhluk oleh Sang pencipta, Allah SWT. Maka
peran inilah yang seharusnya diutamakan untuk dimainkan oleh perempuan dalam
kancah kehidupan.
Adalah salah besar ketika wanita menjabat sebagai ibu rumah tangga dikatakan
sebagai perempuan yang tidak berdaya. Justru dengan perannya itu para perempuan
bisa menghasilkan karya. Bukankah madrasah utama seorang anak ada dalam
keluarga? Bukanlah ibu berperan penting dalam mencetak generasi? Bukankah lewat
tangan dingin seorang ibulah yang bisa mengantarkan seorang anak menjadi sosok
yang dibanggakan ? seperti Ibunda ulama’ besar Imam syafi’i, Fatimah binti
Ubaidillah.
Meskipun Imam Syafi’i di bawah pengasuhan
ibunda nya yang miskin, tapi pengasuhan serta perhatian sang ibunda untuk
menjadikan Syafi’i ulama besar terus menyala. Sang ibu memberikan dukungan dan
motivasi yang sangat besar bagi Syafi’i untuk menuntut ilmu sampai kemudian
mampu menjadi ulama’ terkenang sepanjang zaman. Begitupun kesuksesan besar
dalam bidang hadist Imam Al-Bukhari yang juga tidak terlepas dari peran sang
ibu. Meskipun sempat menjadi buta, tapi berkat keteguhan dan do’a sang
ibu kebutaan Al-Bukhari atas izin Allah menjadi sembuh. Sampai kemudian beliau
mengantarkan Imam Al-Bukhari menjadi ulama besar yang disegani karena
kepiawaiannya dalam ilmu hadist.
Selain peran sebagai al ummu wa rabbatul bait, seroang perempuan juga bisa
menempati peran strategis dalam kaitannya dengah pendidikan. Seorang perempuan
boleh mengamalkan ilmu yang dimiliki dalam bidang pendidikan dengan tetap
menjaga perannnya sebagai Ibu dan pengurus rumah tangga. Sehingga para
perempuan bisa bergabung dalam lembaga-lembaga pendidikan untuk turut serta
mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti yang telah dicontohkan Ummul
Mukminin Aisyah binti Abu Bakr, beliau mempunyai ilmu yang
sangat luas mulai ilmu fikih, kesehatan serta syair Arab. Bahkan beliau tercatat
menjadi wanita yang paling banyak meriwayatkan hadist. Setidaknya ada 1.210
hadist yang Beliau riwayatkan dan disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim. Sangat
menakjubkan Bukan ? Oleh karenanya, peran strategis perempuan hanya bisa
didapatkan ketika dikembalikan kepada fitrahnya.