KALAU BUKAN KHILAFAH, SIAPA YANG AKAN MELINDUNGI UMAT? (SYARAH HADITS)
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/kalau-bukan-khilafah-siapa-yang-akan.htmlOleh: KH Hafidz Abdurrahman
Imam Bukhari
dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah radhiya-Llahu
‘anhu, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana]
perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di
belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada
Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala.
Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan
dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Makna dan Penjelasan Hadits
Hadits di atas menggunakan lafadz, al-Imâm, bukan lafadz al-Amîr. Nabi
Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama memilih dan menggunakan lafadz ini bukan tanpa
maksud, sebaliknya tentu dengan maksud. Dengan menelaan berbagai hadits yang
membahas Bab al-Khilâfah dan al-Imâmah, tampak sekali, bahwa Nabi Shalla-Llahu
‘alaihi wa Sallama, para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim dan para tabiin yang meriwayatkannya
tidak membedakan antara lafadz, Khalîfah dan Imâm. Dengan kata lain, lafadz,
Imâm di sini mempunyai konotasi, Khalîfah. Karena kedua lafadz ini konotasinya
sama, sehingga ketiga digunakan lafadz Imâm, maka yang dimaksud adalah
Khalîfah.
Setelah ‘Umar bin al-Khatthab, radhiya-Llahu ‘anhu, diangkat menjadi Khalifah,
menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq, para sahabat menambahkan lafadz, Amîru
al-Mu’minîn. Karena itu, para ulama’ kemudian menggunakannya, dan menjadikan
ketiga lafadz, Imâm, Khalîfah dan Amîru al-Mu’minîn tersebut sebagai sinonim,
dengan konotasi yang sama. Imam an-Nawawi menjelaskan:
«يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ: اَلْخَلِيْفَةُ، وَالْإِمَامُ، وَأَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ»
“Untuk seorang imam [kepala negara],
boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru
al-Mu’minîn.”
Penjelasan yang sama, diberikan oleh Ibn Khaldun. Beliau menegaskan:
«وَإِذْ قَدْ بَيَّنَّا حَقِيْقَةَ هَذَا اْلَمنْصَبَ وَأَنَّهُ نِيَابَةٌ عَنْ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ فِيْ حِفْظِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ تُسَمَّى خِلَافَةً وَإِمَامَةً وَالْقَائِمُ بِهِ خَلِيْفَةٌ وَإِمَامٌ»
“Ketika kami jelaskan hakikat jabatan
ini, dan bahwa jabatan ini merupakan substitusi [pengganti] dari pemilik
syariah dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama, maka disebut
Khilâfah dan Imâmah. Orang yang menjalankannya disebut Khalîfah dan Imâm.”
Berangkat dari sini, al-‘Allamah Najîb al-Muthî’i, dalam Takmilah al-Majmû’,
karya Imam an-Nawawi, menegaskan:
«الإمَامَةُ وَالْخِلاَفَةُ وَإِمرَةُ المؤْمِنِيْنَ مُتَرَادِفَةٌ»
“Imâmah, Khilâfah dan Imaratu al-Mu’minîn itu adalah sinonim [kata yang
berbeda, dengan konotasi yang sama].”
Imam Abu Zahrah, juga menjelaskan hal yang sama, bahwa Imâmah dan Khilâfah, begitu juga Imâm dan Khalîfah itu sama:
«اَلْمَذَاهِبُ السِّيَاسِيَّةُ كُلُّهَا تَدُوْرُ حَوْلَ الْخِلاَفَةِ وَهِيَ الإِمَامَةُ الْكُبْرَى، وَسُمِيَتْ خِلاَفَةً لأنَّ الَّذِيْ يَتَوَلاَّهَا وَيَكُوْنُ الْحَاكِمُ الأعْظَمُ لِلْمُسْلِمِيْنَ يَخْلُفُ النَّبِيَّ ﷺ (فِيْ إِدَارَةِ شُؤُوْنِهِمْ، وَتُسَمَّى إِمَامَةً: لأنَّ الْخَلِيْفَةَ كَانَ يُسَمَّى إِمَامًا، وَلأنَّ طَاعَتَهُ وَاجِبَةٌ، وَلأنَّ النَّاسَ كَانُوْا يَسِيْرُوْنَ وَرَاءَهُ كَمَا يُصَلُّوْنَ وَرَاءَ مَنْ يَؤُمُّهُمُ الصَّلاَةَ».
“Semua mazhab politik berkisar
tentang Khilâfah, yaitu Imâmah Kubrâ. Ia disebut Khilâfah, karena yang mengurus dan menjadi penguasa
tertinggi bagi kaum Muslim itu menggantikan Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa
Sallama dalam mengurus urusan mereka. Ia juga disebut Imâmah, karena Khalîfah
biasa dipanggil dengan sebutan Imâm. Karena mentaatinya hukumnya wajib, karena
masyarakat berjalan di belakangnya, sebagaimana orang yang berada di belakang
orang yang menjadi imam shalat mereka.”
Karena itu,
jelas, bahwa yang dimaksud dengan Imâm di dalam hadits Bukhari dan Muslim di
atas, tak lain adalah Khalîfah. Konotasi makna Imâm di sini adalah Khalifah
bisa dijelaskan dengan shighat Hashr [bentuk pembatasan, dengan konotasi
“hanya”], Innamâ, yang artinya, “Sesungguhnya [imam] itu tak lain..”,
sebagaimana dalam beberapa nash syara’ yang lain, seperti:
«إِنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ»
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu
tak lain adalah bersaudara.” [Q.s.
al-Hujurat: 10]
Artinya, mereka tak lain adalah bersaudara, bukan musuh. Karena itu, ketika
mereka bermusuhan, diperintahkan, “Fa ashlihu..” [damaikanlah], maksudnya agar tetap bersaudara, dan
permusuhan di antara mereka pun sirna.
Ini dari aspek bahasa. Dari aspek fakta, baik historis maupun empiris, jelas
bahwa konotasi makna lafadz, Imâm di sini tak lain adalah Khalîfah [kepala negara]
yang memangku Khilâfah [Negara Islam]. Konotasi ini dijelaskan oleh lanjutan
frasa berikutnya:
«جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“[Imam/Khalifah itu tak lain] laksana
perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di
belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Makna, al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dijelaskan oleh
Imam an-Nawawi:
أَيْ: كَالسَّتْرِ؛ لأَنَّهُ يَمْنَعُ اْلعَدُوَّ مِنْ أَذَى المُسْلِمِيْنَ، وَيَمْنَعُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَيَحْمِي بَيْضَةَ الإِسْلاَمَ، وَيَتَّقِيْهِ النَّاسُ وَيَخَافُوْنَ سَطْوَتَهُ.
“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia
mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu
dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani
masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekutannya.”
Begitu juga frasa berikutnya, “Yuqâtalu min warâ’ihi, wa yuttaqâ bihi” [Dia
akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan
digunakan sebagai tameng]:
أَيْ: يُقَاتَلُ مَعَهُ الْكُفَّارُ وَالْبُغَاةُ وَالْخَوَارِجُ وَسَائِرُ أَهْلِ الْفَسَادِ وَالظُّلْمِ مُطْلَقًا، وَالتَّاءُ فِي (يُتَّقَى) مُبْدِلَةٌ مِنَ الْوَاوِ لأنَّ أَصْلَهَا مِنَ الْوِقَايَةِ.
“Maksudnya, bersamanya [Imam/Khalifah]
kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara
mutlak, akan diperangi. Huruf “Ta’” di dalam lafadz, “Yuttaqa” [dijadikan
perisai] merupakan pengganti dari huruf, “Wau”, karena asalnya dari lafadz,
“Wiqâyah” [perisai].”
Mengapa hanya
Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya
yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits
lain:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala,
dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan
Muslim]
Menjadi Junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya,
meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut
dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi
negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama,
yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa
Sallama dan para Khalifah setelahnya, sebagaimana tampak pada surat Khalid bin
al-Walid:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مِنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ إِلَى مُلُوْكِ فَارِسٍ، فَالْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ حَلَّ نِظَامَكُمْ وَوَهَّنَ كَيْدَكُمْ، وَفَرَّقَ كَلِمَتَكُمْ… فَأَسْلِمُوْا وَإِلاَّ فَأَدُّوْا الْجِزْيَةَ وَإِلاَّ فَقَدْ جِئْتُكُمْ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ المَوْتَ كَمَا تُحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ
“Dengan menyebut asma Allah, yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja
Persia. Segala puji hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian,
menghancurkan tipu daya kalian, dan memecahbelah kesatuan kata kalian.. Maka,
masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, maka aku akan
datangkan kepada kalian, kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian
mencintai kehidupan.”
Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani
Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama melindunginya,
menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10
tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah [perisai]
bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga
para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah
menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada
Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita
Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang
mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.
Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya
melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai].
Umat Islam,
Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya.
Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka
berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah,
rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh
mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim.
Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.”
Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa
dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada
dalam sistem Khilafah.
Sebaliknya, meski kini kaum Muslim mempunyai banyak penguasa, tetapi mereka
bukanlah Imâm yang dimaksud oleh hadits tersebut. Apa buktinya?
Karena Imâm di dalam hadits tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin
negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Karenanya, bukan hanya
agama, kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Karena tak
ada satu pun yang berani macam-macam. Bandingkan dengan saat ini, ketika
al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela
penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara Kafir penjajah, jangankan
mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak
berani. Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara Kafir,
sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan
susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang non-Muslim
menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela,
justru penyerangnya malah diundang ke istana.
Karena itu, makna hadits di atas dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa
Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah
dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan
keutuhan setiap jengkal wilayah mereka. Karena itu, hadits di atas sekaligus
meniscayakan adanya Khilafah.
Tetapi, syaitan dan teman-temannya, selalu mengatakan sebaliknya, fal’iyâdzu
bi-Llâh.[]