Jilbab dan Khimar, Busana Muslimah dalam Kehidupan Sehari-Hari
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/jilbab-dan-khimar-busana-muslimah-dalam.html Oleh
: KH. Muhammad Shidiq Al-Jawi
Soal: Ustadz yang terhormat, saya
ingin penjelasan seputar jilbab dan khimar, serta busanah muslimah dalam
kehidupan sehari-hari. Saya dengar bahwa memakai jilbab itu tidak wajib.
Sehingga banyak muslimah yang memakai baju-baju ketat dan celana panjang, karena
menurut mereka yang penting itu sudah menutupin auratnya.
Jawab:
1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja
jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah
kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam
al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya:
khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]:
59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari
atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah
itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau
potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model
potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah
menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah
secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat
bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat,
bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya
busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau
mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi
kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil yang
transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat
kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan,
pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang.
Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya
saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai
mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras
jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak
seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia
harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan
Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat
untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan
agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di
mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana jilbab— sebagaimana
awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus
tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti
memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti
ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan
dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi
Saw:
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang
asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran.
Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang
mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang
yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata, “Hai Rasululah, apakah
itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima
puluh orang di antara kalian (para shahabat).” [HR. Abu Dawud dengan sanad
Hasan]
2. Aurat Dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan
masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu
tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti
rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu
tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara
umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana
wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak
tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan
mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak
tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan
perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka
menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan)
(Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh
tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian
shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66).
Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan
fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan
“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat
yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan
adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam
Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal.
229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua
telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan
muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota
tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua
anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih
turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan
lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali
wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu
Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka
tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya
menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh
wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka
diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah Dalam
Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’
tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan
tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan
mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31) “wa laa yubdiina”
(Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura
minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi,
pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan
dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan
daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang,
rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak
ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi
aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat
secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang
dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit
sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap
tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan
sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna
merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup
aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak
diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya
Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian
tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak
boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Dawud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah
dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya
menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia
ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi
Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan
pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena
sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad dan
Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab
Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw
mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau
memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna
kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: “Suruhlah
isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.”
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas
bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang
dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk
menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak
tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah Dalam
Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam
kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita
dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah
tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak
berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum,
seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan
sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang
telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya
dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan,
yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan
mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat
menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di
hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah
menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan
dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal
mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia
telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj
dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal)
yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung).
Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum,
seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di
pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim
Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul
musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma
yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas
pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu
biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan
(dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai
pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung
pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa
dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di
dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar
atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar)
dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui
jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan
kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun,
sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang
umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil
yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah
SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):
“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs.
an-Nuur [24]: 31).
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs.
al-Ahzab [33]: 59).
Adapun dalil bahwa jilbab
merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari
Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied,
maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki
jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan
jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam
kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari
hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan
ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 :
93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian
wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini
dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam
kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini
dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau
seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan
umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak
wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman
jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke
bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina
‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab
mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila
asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’
berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia
berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak
akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa
yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi
dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina)
sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau
begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah
mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka
menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih]
(Al-Albani, 2001 : 89).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar
yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan
sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa
terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang
wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna
min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di
samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang
menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan
jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian
jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka
mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani,
1990 : 45-51).
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib
mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang
dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam
al-Qur’an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu,
dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju
yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap
pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan
dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [M.
Shiddiq al-Jawi]
Daftar Bacaan
1. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut
Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa
As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6.
(Solo : At-Tibyan).
2. ———-. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man
Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri
Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1.
(Yogyakarta : Media Hidayah).
3. Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan
Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani
Press).
4. Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah.
Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
5. Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan
Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
6. Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul
Ma’arif)
7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan
ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
8. Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat
Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
9. Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang,
Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa
Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).
10. Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat
(Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).
11. ———- et. al. 2002. 5 Risalah Hijab Kumpulan Fatwa-Fatwa Tentang Pakaian,
Hijab, Cadar, Ikhtilath, Berjabat Tangan, dan Khalwat (Majmu’ Rasail fi Al
Hijab wa As-Sufur). Alih Bahasa Muzaidi Hasbullah. Cetakan ke-1. (Solo :
Pustaka Arafah).
12. Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Cetakan ke-1. (Jakarta : Bina Mitra
Press