Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/jawaban-tuntas-pertanyaan-berulang.html1. Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh
seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat)
dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap
perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى
أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم
بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا
الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga
telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka
dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada
yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat
berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir)
menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin
seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana
kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara
yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya.
Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan
diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim
Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut
Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah
sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij
akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa`
wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad] rahimahumullah,
telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu
harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama
dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa
kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua
imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4
hlm.78)
Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat),
yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari
dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk
mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak
mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak
ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah
mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam
(Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad
Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ
وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah
telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara
kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul
fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah
perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah
itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan
perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut
berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk
menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam
(Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya
mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.
(Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al
Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had
bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang
pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat
semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam
(Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan
Imam itu.
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang mati sedangkan
di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah
mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di
atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat,
berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada
seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang
imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
(Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu
perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk
menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam
mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga
orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga
mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk
urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar
seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar
perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari
penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam
(Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya
Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع
بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya,
dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para
shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm.
191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم
أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث
اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat
-semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam
(khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka
menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri
dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah
Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah,
hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban
syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti
kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An
Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad
untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan
sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan
secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu
kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di
atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad
Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
2.
Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan
adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi
dalil?
Dalil wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits
Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah tentang
bakal kembalinya khilafah di masa mendatang. Meski tidak mengandung
tuntutan atau thalab, tapi hadits tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya,
tidak mungkin sesuatu itu, yakni Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal
kembali tegak bila sesuatu itu bukan perkara penting dan wajib dalam agama ini.
3.
Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya
kemungkinan tegaknya khilafah di muka bumi?
Pasti akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu
sebuah kewajiban, bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti
akan terwujud asal kita memenuhi semua syarat-syarat bagi terwujudnya
janji-janji itu. Sebagaimana jatuhnya Romawi Timur kepada Islam. Meski
itu sangat sulit, tapi karena keyakinan dari para sahabat, para pejuang Islam
pada waktu itu bahwa jatuhnya Romawi Timur ini adalah sebuah kemestian, sebuah
kewajiban dan sekaligus dijanjikan, maka misi sesulit itu tetap saja dilakukan.
Ekspedisi untuk menaklukkan Konstantinopel sudah di mulai semenjak Khalifah
Usman bin Affan. Dan Anda tahu, sejarah membuktikan Konstantinopel jatuh baru
pada tahun 1453. Jadi hampir 700 tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad
al-Fatih masuk ke benteng Konstantinopel, dia teringat kepada hadist yang
berbunyi Fala ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika
al-jaiz (sebaik-baik panglima perang adalah panglima perang
yang menaklukkan Konstantinopel, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang
menaklukkan Konstantinopel). Hadis itu dibaca oleh Muhammad al-Fatih,
seolah-olah Nabi memuji dirinya. Padahal hadis itu diucapkan pada 700 tahunan
sebelum peristiwa besar itu terjadi.
Bila untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari adikuasa
Romawi Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui upaya yang
luarbiasa dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah khilafah yang itu
sudah pernah ada, dan tinggal membangkitkan memori umat, tentu insha Allah akan
lebih mudah. Dalam pengalaman gerak Hizbut Tahrir, pengalaman gerak saya di
negeri ini sekian tahun lamanya, saya mendapatkan respon yang luar biasa dari
umat. Ketika umat ini makin lama makin mendukung, apalagi ditambah dengan
kondisi eksternal seperti bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur
Irak, juga Afganistan tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik
Israel dan Palestina yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para
pemimpin umat pun berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk
membela diri? PBB sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara besar.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena masing-masing
anggota lebih mementingkan negaranya sendiri-sendiri. Negara-negara Arab sama
saja, ASEAN apalagi. Pada puncaknya mereka, para pemimpin umat itu, akan
melihat bahwa gagasan khilafah ini yang paling pas. Meski cita-cita itu sangat
sulit. Dan kesulitan itu juga yang kami rasakan. Tapi semua masih sangat
mungkin berubah, baik karena faktor internal maupun tekanan eksternal. Ada
banyak tokoh-tokoh Islam yang pada 20 tahun yang lalu ketika kami pertama kali
muncul untuk menyampaikan ide khilafah ini tidak mau mendengar atau bahkan
mencibir dan sebagainya, sekarang berubah total, mereka mendukung betul.
Pada kenyataannya pengamat dunia internasional
pun juga memperkirakan khilafah Islam akan berdiri tidak lama lagi.
National Intelligence Council (NIC) yang bersidang di Amerika Serikat
baru baru ini, menskenariokan bahwa pada tahun 2020 Islamic Caliphate
(khilafah Islam) akan berdiri. Mereka menskenariokan empat kemungkinan pada
tahun 2020. Pertama, dunia tetap dipimpin oleh
Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India
atau China. Ketiga, dunia dipimpin oleh seorang
tiran, entah dari mana. Lalu yang keempat berdirinya Islamic Caliphate. Bila
mereka saja bisa memprediksi bahwa khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita
bilang itu tidak mungkin?
4.
Bagaimana dengan adanya pihak yang
mengatakan, khilafah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam?
Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama adalah sistem yang
baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang amanah. Sistem yang baik itu
adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah
syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang mau tunduk kepada
sistem yang baik tadi, dan dia memimpin dengan penuh keadilan.
Secara i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah
pasti akan membawa rahmat. Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam
sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin).
Dari berbagai ayat dan hadits, kita dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah’, dimana
ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan. Sejarah pun membuktikan hal
itu. Kejayaan Islam masa lalu pun diraih ketika kehidupan Islam
dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud serta umat Islam bersatu dan
bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka, kejayaan yang sama
akan diraih kembali di masa yang akan datang melalui jalan serupa.
Kalau kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang untuk
membawa rahmat, dan rahmat adalah segala kebaikan yang kita angankan
berupa kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kebersamaan dan
sebagainya, maka bagaimana mungkin rahmat itu akan terwujud kalau kemudian kita
menolak ketentuan syariat Islam itu sendiri di mana di dalam syariat itu ada
perintah agar kita bersatu.
Kejayaan Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun
yang membaca sejarah dengan jujur. Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga
batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para
khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang
memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah
yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah)
setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar
luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar
biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju
peradabannya selama lima abad.
Jadi, bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih
kembali kejayaannya?
5.
Bagaimana dengan pandangan yang tidak
setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh HT menyangkut penyelesaian
problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan pemimpin sekaligus. Bagi
mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti otomatis sebuah
negara/bangsa akan bagus.?
Itu asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual. Nyatanya, orang akan
cenderung menjadi baik dalam lingkungan dan sistem yang baik. Begitu
sebaliknya, orang yang baik akan cenderung tergerus kebaikannya dalam
lingkungan dan sistem yang buruk. Lihatlah sekarang ini, dalam lingkungan yang
korup banyak birokrat yang baik, akhirnya terseret juga menjadi korup. Oleh
karena itu dalam menyelesaikan problem kita harus menggarap dua sisi sekaligus
yakni sistem dan kepemimpinan.
6.
Bagaimana dengan tudingan bahwa HT
mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah?
Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena
mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga
Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara kelompok Khawarij
ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga
yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran
an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang
pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka
juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka
telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh.
Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau
kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan
meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia
kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang
berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah
berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu,
mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat
imam atau khalifah.[2]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali
perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain: Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut
Tahrir berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘).
Karena itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis
kafir.[3] Kedua, Hizbut Tahrir
juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam,
betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir
tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan
seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir
tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya
darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan
seisinya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى
اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya)
benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR
at-Tirmidzi).
Ketiga, Hizbut
Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul).
Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan
menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis
Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.
Keempat, Hizbut
Tahrir juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap
berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang
terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa
al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam
masalah tahkîm, bukan sebaliknya.
Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan
khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6] jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat,
yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah
tindakan Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka
secara terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij,
sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang
nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan
hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik
kebijakan mereka secara terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh
pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan
negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.
Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan
cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana
yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir,
sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut.
Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di
dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut Tahrir tetap hanya
menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa sedikitpun menggunakan
cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak
berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh
pada garis perjuangan Nabi saw. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski
hanya seutas rambut.
Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya
disamakan dengan Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka
yang membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut
Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena
ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan
membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?
Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara
lain: Pertama, dalam masalah akal. Muktazilah dan
Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa batas, sehingga digunakan
melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan tentang Sifat Allah;
apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah
menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan
mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang
dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizb. Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung
menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya,
sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan
pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak
oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa
dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah
hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.
7.
Mengapa HT tidak banyak berkembang
di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?
Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan
hanya HT, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi
tidak berkembangnya HT bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena
tekanan penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan
mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu
tumbang, HT dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan
negara-negara Timur Tengah lain.
8.
Mengapa HT sering dipojokkan?
HT memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT tidak
pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gasannya juga
cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa HT
sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham
substansi dari perjuangan HT, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali
kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai
khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena
memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak
sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah
memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu
substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk
menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa
juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini.
Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide
syariah dan khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan
Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan
negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang.
Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung
karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
9.
Siapa yang ada di balik upaya itu?
Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim maupun non
muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti mereka
tidak memahami esensi perjuangan HT dengan baik dan sudah keblanjur ada
kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka
adalah muslim yang telah tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru
menentang perjuangan bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa
Islam kembali jaya.
Kedua, adalah negara Barat, yang memang akan terus berusaha
melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi
kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap
kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu.
Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan
kedua tadi.
10.
Bagaimana HT menghadapi itu semua?
HT menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut menghadapi
semua itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan
rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, HT akan datang
memahamkannya. Bila itu fitnah, HT akan menjernikah fitnah itu. Dan dalam
menghadapi semua tantangan itu, HT yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang
pasti akan diberikan kepada para pejuang agamaNya.