HUKUM TABUNGAN EMAS DI PEGADAIAN
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/hukum-tabungan-emas-di-pegadaian.htmlTanya :
Ustadz, mohon pencerahannya tentang hukum tabungan
emas di Pegadaian. (Widadi, Sleman)
Jawab :
Tabungan Emas adalah layanan pembelian dan penjualan
emas dengan fasilitas titipan. Prosedurnya: (1) nasabah membuka rekening
Tabungan Emas di kantor cabang Pegadaian dengan mengisi formulir pembukaan
rekening dan membayar bea administrasinya Rp 10.000; (2) nasabah membayar bea
fasilitas titipan selama 12 bulan sebesar Rp 30.000; (3) nasabah membeli emas
dengan kelipatan 0,01 gram atau sebesar Rp 5.520,- (harga per 23 Maret 2017).
Misal, jika membeli 1 gram, harganya = Rp 5.520 X 100 = Rp 552.000; (4) jika nasabah
membutuhkan uang tunai, nasabah dapat menjual kembali (buyback) saldo titipan emasnya kepada Pegadaian minimal
1 gram dan nasabah akan menerima uang tunai Rp 530.000 (bukan Rp 552.000); (5)
jika menghendaki emas batangan, nasabah dapat melakukan order cetak sesuai
dengan pilihan keping (5gr, 10gr, 25gr, 50gr, dan 100gr) dengan membayar bea
cetak. (www.pegadaian.co.id).
Berdasarkan fakta hukum (manath) di atas,
Tabungan Emas di Pegadaian hukumnya haram, karena 4 (empat) alasan sbb;
Pertama, karena dalam transaksi jual-beli emas
tersebut Pegadaian telah menjual emas yang tidak dimilikinya. Sebab emasnya
sendiri belum dicetak pada saat akad jual-beli. Padahal Islam telah melarang
jual-beli barang yang tak dimiliki, sesuai sabda Nabi SAW,”Janganlah kamu
menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (laa tabi’ maa laysa ‘indaka).
(HR Ahmad). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, kalimat “apa-apa yang tak ada
di sisimu” (maa laysa ‘indaka) dapat bermakna “apa-apa yang bukan
milikmu” (maa laysa fii milkika). (Imam Taqiyuddin An
Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II/288).
Kedua, karena dalam transaksi jual-beli emas
tersebut tak terjadi serah terima (taqaabudh) secara
kontan. Faktanya nasabah hanya menyerahkan uang tanpa menerima emasnya secara
fisik. Padahal emas termasuk 6 (enam) barang ribawi yang mensyaratkan
serah terima secara kontan sesuai sabda Nabi SAW,”Emas ditukarkan dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut (al sya’ir bi al sya’ir), kurma dengan kurma, garam
dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi
sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka
juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).”
(HR Muslim, no 1587). Hadits ini menunjukkan jika emas diperjualbelikan, wajib
ada serah terima (taqabudh) fisiknya secara kontan,
yang ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW “yadan bi yadin”
(dari tangan ke tangan) atau secara kontan, bukan sekedar dicatat dalam buku
tabungan.
Ketiga, karena pada akad penitipan terjadi
transaksi riba pada dua titik, yaitu biaya fasilitas penitipan dan harga buyback yang berbeda dengan uang yang dititipkan.
Apa yang diklaim “penitipan emas” sebenarnya tidak ada, karena emasnya sendiri
belum dicetak. Jadi penitipan yang ada sebenarnya bukan penitipan fisik emas
melainkan penitipan uang sebagai harga emas, yang secara syar’i tak dapat
dikategorikan titipan (wadi’ah) melainkan qardh (pinjaman). Maka biaya titipan sebenarnya
adalah riba karena merupakan tambahan atas qardh. Demikian pula
ketika terjadi buyback, sebenarnya faktanya bukan
nasabah menjual kembali emasnya tapi hanya meminta uangnya kembali tapi mendapat
pengembalian yang nilainya tidak sama. Maka selisih yang dinikmati Pegadaian
itu jelas riba.
Keempat, terjadi multiakad (hybrid contracs), yaitu gabungan akad jual-beli dengan
akad qardh (yang diklaim sebagai akad penitipan emas).
Padahal syariah telah melarang multiakad sesuai hadits Ibnu Mas’ud RA bahwa
Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fii shafqah wahdah). (HR Ahmad). Wallahu a’lam.