HUKUM GADAI TANAH
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/hukum-gadai-tanah.htmlTanya :
Ustadz, ada kasus sbb : pihak A, mempunyai tanah
pertanian, membutuhkan dana untuk suatu kebutuhan. Lalu pihak A pinjam emas
kepada pihak B, dan menjual emas itu memenuhi kebutuhan tertentu. A menyerahkan
tanah pertanian miliknya kepada B sebagai jaminan utang, dan B kemudian
menggarap tanah itu dan mengambil hasil panennya. Jika pihak A sudah
mengembalikan emas tersebut kepada pihak B dengan ukuran yang sama/tetap,
barulah B mengembalikan tanah tersebut kepada si A. Akad ini di Sumatera Barat
disebut “gadai tanah”. Apakah ini boleh? (Rasyid S., Jogjakarta)
Jawab :
Hukum muamalah yang disebut “gadai tanah” di atas adalah haram menurut
syariah, walaupun diizinkan oleh pemilik tanah. Hal itu karena akad yang
terjadi adalah qardh (pinjaman) emas yang
menghasilkan manfaat bagi pemberi pinjaman, yaitu pemanfaatan tanah pertanian
berikut hasil-hasil panennya. Manfaat dari akad qardh ini
tiada lain adalah riba yang hukumnya haram. Sabda Rasulullah SAW,”Setiap-tiap
pinjaman yang menghasilkan suatu manfaat, maka dia adalah satu jenis dari
berbagai jenis riba.” (kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa wajhun
min wujuuh ar riba). (HR Al Baihaqi, dalam As Sunan Al Shughra, Juz IV, hlm. 353).
Dalam kasus di atas, objek akad qardh adalah emas,
yang diberikan oleh pihak B sebagai pemberi pinjaman (al muqridh) kepada pihak A sebagai penerima pinjaman (al mustaqridh). Dalam akad qardh tersebut, pihak A
menyerahkan jaminan utang (rahn) berupa
sebidang tanah pertanian kepada pihak B, dan mengijinkan pihak B untuk mengelola
tanah itu dan menikmati hasil panennya selama masa peminjaman emas.
Dalam kitab Al Mudawwanah Al Kubra karya
Imam Malik, terdapat penjelasan haramnya penerima gadai (murtahin) memanfaatkan jaminan utang (rahn) jika utangnya berupa qardh. Disebutkan,”Saya
bertanya, bagaimana pendapat Anda, jika seorang penerima gadai (murtahin) mensyaratkan suatu manfaat dari barang gadai
(rahn), bolehkah itu? Dia menjawab,’Jika [utang yang
ada] dari jual beli, maka manfaat itu boleh. Adapun jika utang yang ada berupa
qardh, maka manfaat itu tidak boleh, karena telah menjadi suatu salaf (qardh/pinjaman) yang
menghasilkan manfaat.’ Aku bertanya,”Apakah itu pendapat Imam Malik?” Dia
menjawab,”Ya.” (Imam Malik, Al Mudawwanah Al Kubra,
Juz IV, hlm. 317).
Dalam kitab Al Mughni karya
Imam Ibnu Qudamah terdapat penjelasan hukum serupa. Dijelaskan,”Jika pihak yang
menyerahkan gadai (raahin) mengizinkan penerima gadai
(murtahin) untuk memanfaatkan barang gadai tanpa
imbalan, sedangkan utangnya adalah dari qardh, maka hukumnya tidak boleh, sebab
penerima gadai telah memberikan qardh yang menghasilkan suatu manfaat, yang
demikian hukumnya haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IV,
hlm. 250).
Kutipan-kutipan di atas menjelaskan haram hukumnya
penerima gadai (murtahin) memanfaatkan jaminan
utang (rahn) jika utangnya berupa qardh. Adapun jika utangnya bukan qardh,
misalnya utang karena jual beli tidak tunai, boleh hukumnya memanfaatkan
jaminan utang (rahn).
Pendapat ini pula yang dipilih (ditabanni) oleh Imam
Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
yakni jika utang yang dijamin itu berupa pinjaman (qardh), misalkan
seseorang meminjam uang dari orang lain sebanyak 1000 dinar selama satu tahun,
maka penerima gadai (murtahin) haram hukumnya
memanfaatkan barang yang digadaikan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm.339).
Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah bahwa pada kasus
yang ditanyakan di atas, haram hukumnya penerima gadai (murtahin), yaitu pihak B, memanfaatkan tanah pertanian
milik pihak A dan menikmati hasil panennya. Karena utang yang ada adalah
pinjaman (qardh) emas, sehingga manfaat dari adanya qardh itu adalah riba yang hukumnya haram. Wallahu a’lam.