Hizbut Tahrir, Wahabi ?
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/hizbut-tahrir-wahabi.html
Soal:
Siapa sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi
atau setidaknya mirip Wahabi? Jika tidak, ada apa sebenarnya di balik tuduhan
seperti ini?
Jawab:
Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada
Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab
sebenarnya merupakan pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam
beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir
as-Sahsawani.1 Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh
ulama Sunni yang lainnya.
Nama Wahabi sendiri
telah dikubur oleh para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah
kelam pada masa lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka,
ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya
sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang
berarti “orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.
Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami
beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni yang
bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah,
kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan
penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan
berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari
Muhammad bin Saud, yang notabene bermusuhan
dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujun tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah,
dakwah Wahabi berkembang pesat.
Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan secara
terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan
Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10
tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi.
Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan
pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun,
pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.
Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M, kepemimpinannya diteruskan
oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari
gerakan ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun
(1957-1788 M), gerakan ini stagnan.
Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu,
mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787
M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam
ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang
dianutnya. Tahun 1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode
baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah Utsmani; di
semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut
dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari Madinah
tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di Dar’iyyah pun berhasil diratakan
dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah terkubur
dan lenyap ditelan bumi.2
Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak mati. Demikian juga
hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.
Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah
nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi
digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri
mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah
tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali,
bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi.
Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa menjadi
pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan
politik.
Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir
adalah partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang menerapkan sistem
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah
aktivitasnya.3 Meski begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah terlibat dalam
pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah
terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua
negara yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun
berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam
pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh
dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah
dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di
dalamnya menggunakan Wahabi.
Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).4 Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.5
Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti ini.
Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma
dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la takyîf
wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan,
mengabaikan, mendes-kripsikan tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang
lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.6 Hizb membahas sifat justru untuk
meluruskan perdebatan yang tidak berkesudahan, antara Muktazilah, yang
menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang
menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb,
perdebatan seperti ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak
berangkat dari fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.7
Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi (pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.8
Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.
Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang
kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang
hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan,
dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum
Allah di muka bumi.
Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-kekesaran).
Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas
dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti
tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb,
agar disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang
sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini,
tentu bukan Islam dan kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para
boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia,
ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh. [] KH Hafidz Abdurrahman
Catatan kaki:
1 Lihat, Muhammad Basyir as-Sahsawani, Shiyânah al-Insân, hlm. 475.
2 Lihat, ‘Abdul Qadîm Zallûm, Kayfa Hudimat al-Khilâfah, Dâr al-Ummah, Beirut, 1994.
3 Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr,
cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2001, hlm. 84.
4 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali
as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarah Kitâb at-Tawhîd,
Muassasah Qurthubah, t.t., hlm. 25.
5 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah,
Makatabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, cet. II, 1423 H, hlm. 30.
6 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali
as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarh Kitâb at-Tawhîd,
hlm. 25; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala
ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, hlm. 20.
7 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz al-Awwâl, Min
Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2003, hlm. 116-124.
8 Dr. Fauzan bin ‘Abdullah Fauzan, ‘Aqîdah at-Tawhîd, Mamlakah al-’Arabiyyah
as-Sa’udiyyah, Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah, Riyadh, hlm. 176-177.