Hadiah
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/hadiah.htmlUst. Yahya Abdurrahman
Hadiah
(hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ. Bentuk pluralnya hadâyâ atau hadâwâ
menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah secara bahasa berarti sesuatu yang Anda
berikan (mâ athafa bihi).1 Pengertian ini belum cukup karena tidak semua
pemberian merupakan hadiah. Pemberian itu bisa berupa sedekah, wakaf, hibah,
pinjaman ataupun wasiat.
Secara
istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah,
Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh
ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi
sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).2 Dalam Mu’jam Lughah
al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ ’iwadh ikrâman (pemberian tanpa kompensasi
sebagai suatu penghormatan). Hadiah juga bermakna i’thâ’ syay’[in] bighayr
‘iwadh shilat[an] wa taqarrub[an] wa ikrâm[an] (pemberian sesuatu tanpa
kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk
penghormatan).3
Yang jelas,
hadiah merupakan pemindahan pemilikan atas suatu harta dan bukan hanya
manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka
itu merupakan pinjaman (i’ârah). Karenanya hadiah haruslah merupakan tamlîkan
li al-’ayn (pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak
lain). Penyerahan pemilikan itu harus dilakukan semasa masih hidup karena jika
sesudah mati maka merupakan wasiat. Di samping itu penyerahan pemilikan yang
merupakan hadiah itu harus tanpa kompensasi (tamlîkan li al-’ayn bi lâ ’iwadh),
karena jika dengan kompensasi maka bukan hadiah melainkan jual-beli (al-bay’).
Pengertian
itu belum spesifik menunjuk hadiah. Menurut para ulama, tamlîkan li al-’ayn
itsnâ’ al-hayah bi lâ ’iwadh ini merupakan hibah, sementara hibah itu mencakup
tiga macam: hibah dalam arti khusus, sedekah dan hadiah. Imam an-Nawawi
mengatakan:4
Imam Syafii
membagi tabarru‘ât (pemberian) seseorang kepada yang lain menjadi dua bagian:
yang dikaitkan dengan kematian dan itu adalah wasiat; yang dilakukan saat masih
hidup. Pemberian saat masih hidup ini ada dua bentuk: murni pemindahan
pemilikan seperti hibah, sedekah dan wakaf. Yang murni pemindahan pemilikan itu
ada tiga macam: hibah, sedekah sunah dan hadiah. Jalan untuk menentukannya adalah
kita katakan pemindahan pemilikan tanpa kompensasi (tamlîk bi lâ ‘iwadh), jika
ditambah (adanya) pemindahan sesuatu yang dihibahkan dari suatu tempat ke
tempat orang yang diberi hibah (dimana pemberian itu) sebagai penghormatan
(ikrâman) maka itu adalah hadiah. Jika ditambah bahwa pemindahan pemilikan itu
ditujukan kepada orang yang membutuhkan, sebagai suatu taqarrub kepada Allah
dan untuk meraih pahala akhirat maka itu adalah sedekah. Perbedaan hadiah dari
hibah adalah dipindahkannya sesuatu yang dihibahkan dari suatu tempat ke tempat
lain. Karena itu, lafal hadiah tidak bisa digunakan dalam hal property. Dengan
demikian, tidak dikatakan, “Saya menghadiahkan rumah atau tanah.” Akan tetapi,
hadiah itu digunakan dalam hal harta bergerak yang bisa dipindah-pindahkan
seperti pakaian, hamba sahaya, dsb. Walhasil, dari macam-macam itu bisa
dibedakan antara yang umum dan yang khusus. Jadi semua hadiah dan sedekah
merupakan hibah, tetapi tidak sebaliknya.
Ketentuan
Tentang Hadiah
Hadiah
sebagai bagian dari hibah kehendaknya bisa datang dari satu pihak saja, yaitu
dari pihak pemberi hadiah. Namun, para fukaha tetap mengklasifikasikan hibah,
termasuk di dalamnya hadiah, sebagai akad. Hal itu karena meski kehendaknya
bisa dari satu pihak saja, namun jika penerima hibah atau penerima hadiah itu
menolaknya maka hibah atau hadiah itu tidak sempurna.
Sebagai
sebuah akad, hadiah memiliki tiga rukun. Pertama, adanya al-‘âqidân, yaitu
pihak pemberi hadiah (al-muhdî) dan pihak yang diberi hadiah (al-muhdâ ilayh).
Al-Muhdî haruslah orang yang layak melakukan tasharruf, pemilik harta yang
dihadiahkan dan tidak dipaksa. Al-Muhdâ ilayh disyaratkan harus benar-benar ada
saat akad. Ia tidak harus orang yang layak melakukan tasharruf saat akad hadiah
itu. Jika al-muhdâ ilayh masih kecil atau gila maka penerimaan hadiah diwakili
oleh wali atau mushi-nya.
Kedua, adanya
ijab dan qabul. Hanya saja, dalam hal ini tidak harus dalam bentuk redaksi
(shighat) lafzhiyah. Hal itu karena pada masa Nabi saw., hadiah dikirimkan
kepada Beliau dan Beliau menerimanya, juga Beliau mengirimkan hadiah tanpa
redaksi lafzhiyah. Fakta seperti itu menjadi fakta umum pada masa itu dan
setelahnya.
Akad hadiah
merupakan al-‘aqd al-munjiz, yaitu tidak boleh berupa al-‘aqd al-mu’alaq (akad
yang dikaitkan dengan suatu syarat) dan tidak boleh berupa al-‘aqd al-mudhâf
(akad yang disandarkan pada waktu yang akan datang). Contoh al-‘aqd al-mu’alaq,
jika seseorang berkata, “Saya menghadiahkan satu juta kepada Anda jika Anda pergi
ke Bandung.” Akad hadiah ini tidak sah. Contoh al-‘aqd al-mudhâf, jika
dikatakan, “Saya menghadiahkan sepeda ini kepada Anda mulai bulan depan.” Akad
ini juga tidak sah. Sebagai al-‘aqd al-munjiz, implikasi akad hadiah itu
langsung berlaku begitu sempurna akadnya dan terjadi al-qabdh. Artinya,
al-muhdâ (hadiah) itu telah sah dimiliki oleh orang yang diberi hadiah.
Ketiga, harta
yang dihadiahkan (al-muhdâ). Al-Muhdâ (barang yang dihadiahkan) disyaratkan
harus jelas (ma‘lûm), harus milik al-muhdî (pemberi hadiah), halal
diperjualbelikan dan berada di tangan al-muhdî atau bisa ia serah terimakan
saat akad. Menurut Imam Syafii dan banyak ulama Syafiiyah, barang itu haruslah
barang bergerak, yaitu harus bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang
lain. Hal itu karena seperti itulah yang berlangsung pada masa Nabi saw,
disamping tidak ada riwayat yang menjelaskan adanya hadiah berupa rumah, tanah,
dsb itu pada masa Nabi saw. dan para Sahabat.
Di samping
ketiga rukun itu ada syarat yang harus terpenuhi sehingga hadiah itu sempurna,
yaitu harus ada al-qabdh (serah terima), yakni secara real harus ada penyerahan
al-muhdâ kepada al-muhdâ ilayh. Jika tidak ada ijab qabul secara lafzhiyah maka
adanya al-qabdh ini sudah dianggap cukup menunjukkan adanya pemindahan
pemilihan itu. Penyerahan harta itu dianggap merupakan ijab dan penerimaan
hadiah oleh al-muhdâ ilayh merupakan qabulnya. Untuk barang yang standarnya
dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn)
maka zat barang itu sendiri yang harus diserahterimakan. Adapun harta selain
al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn seperti pakaian, hewan, kendaraan, barang
elektronik, dsb maka yang penting ada penyerahan pemilikan atas barang itu
kepada al-muhdâ ilayh dan qabdh-nya cukup dengan menggesernya atau jika hewan
dengan melangkahkannya, atau semisalnya.
Hukum Memberi
Hadiah
Memberi
hadiah hukumnya sunnah. Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda:
تَهَادَوْا تَحَبُّوْا
Saling
memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari,
al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).5
Bahkan Nabi
saw. mendorong untuk memberi hadiah meski nilainya secara nominal kecil:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
Hai para
Muslimah, janganlah seorang wanita merasa hina (memberi hadiah) kapada wanita
tetangganya meski hanya tungkai (kuku) kambing. (HR al-Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi dan Ahmad).
Sebaliknya,
Nabi saw. melarang untuk menolak hadiah:
اَجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْا الْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا الْمُسْلِمِيْنَ
Penuhilah
(undangan) orang yang mengundang, jangan kalian tolak hadiah dan jangan kalian
memukul kaum Muslim. (HR al-Bukhari Ahmad, Abu Ya‘la dan Ibn Abi Syaibah).
Jika
seseorang diberi hadiah dan tidak ada halangan syar‘i untuk menerimanya maka
hendaknya ia menerimanya. Jika seseorang menolak hadiah kepadanya maka
hendaknya menjelaskan alasannya untuk menghilangkan perasaan buruk di hati si
pemberi. Hal itu seperti riwayat Sha’b ibn Jatstsamah bahwa ia menghadiahkan
seekor keledai liar kepada Nabi saw. saat Beliau berada di Abwa atau Wadan,
tetapi Beliau menolaknya. Lalu Beliau menjelaskan alasan penolakannya. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menolak hadiahmu kecuali karena aku sedang
berihram.” (HR al-Bukhari).
Boleh
menerima hadiah dari orang kafir, karena dalam Shahîh al-Bukhârî diriwayatkan
Nabi saw. pernah menerima hadiah dari Heraklius, Muqauqis, Ukaidir Dumatul
Jandal, dan Raja Ailah. Beliau pun menerima hadiah dari orang kafir lainnya.
Begitu pula boleh memberi hadiah kepada orang kafir selama orang itu bukan
kafir harbi fi‘l[an],6 atau selama hadiah itu tidak membuat orang kafir
bertambah kuat atau menjadi berani menyerang kaum Muslim.
Jika
seseorang mendapat hadiah dan ia memiliki kelapangan maka disunahkan untuk
membalasnya. Jika tidak, setidaknya memuji dan mendoakan pemberi hadiah. Jabir
ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
Siapa yang
diberi sesuatu lalu ia memiliki kelapangan harta, hendaklah ia membalasnya;
jika ia tidak memiliki kelapangan harta, hendaknya ia memuji (mendoakan)-nya.
(HR Abu Dawud, Tirmidzi, al-Baihaqi).
Dalam riwayat
at-Tirmidzi dari Usamah bin Zaid, pujian (doa) yang paling baik untuk itu
adalah dengan mengatakan, “Jazâkallâh khayr[an] (Semoga Allah membalasmu dengan
yang lebih baik).”
Sekalipun
diperintahkan untuk menerima hadiah dan dilarang menolaknya, ada beberapa macam
hadiah yang justru tidak boleh (haram) diterima, di antaranya: Pertama, hadiah
kepada penguasa, pejabat atau pegawai negara. Abu Humaid as-Sa’idi menuturkan
bahwa Nabi saw. pernah mengangkat seseorang dari Bani Azad yang bernama Ibn
al-Utbiyah (Ibn al-Lutbiyah) sebagai amil pemungut zakat, lalu ia kembali dan
mengatakan, “Ya Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.”
Nabi saw.
lalu berpidato, “Tidak pantas seorang petugas yang kami utus lalu datang dan
berkata, “Ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.” Mengapa ia tidak
duduk saja di rumah bapak dan ibunya lalu memperhatikan apakah itu dihadiahkan
kepadanya atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ia
datang membawa pemberian itu, kecuali ia pasti datang pada Hari Kiamat kelak
memanggul barang itu di pundaknya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu
Dawud).
Hadis ini
menunjukkan hadiah itu datang karena jabatan, kedudukan atau tugasnya.
Kedua, hadiah
yang diberikan karena adanya akad al-qardh (utang). Anas ra. menuturkan, Nabi
saw. pernah bersabda:
إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
Jika salah
seorang di antara kalian mengutangi suatu utang lalu yang berutang memberinya
hadiah atau membawanya di atas hewan tunggangan maka jangan ia menaikinya dan jangan
menerima hadiah itu, kecuali yang demikian itu biasa terjadi di antara keduanya
sebelum utang-piutang itu. (HR Ibn Majah).
Ketiga,
hadiah yang diberikan agar suatu kemungkaran dibiarkan atau agar penerima
hadiah mengendurkan aktivitas amar makruf nahi mungkar atau yang semisalnya.
Hadiah yang dimaksudkan untuk membatalkan yang hak dan mengokohkan yang batil,
termasuk hadiah agar yang haq tidak disuarakan dan agar yang batil dibiarkan
atau tidak dikritik, tidak boleh diterima. Apalagi hadiah yang diberikan agar
kebatilan disuarakan dan disebarkan, atau agar kemungkaran diperintahkan, tentu
lebih tidak boleh lagi diterima; termasuk di dalamnya hadiah dari negara atau
lembaga asing untuk penyebaran ide selain Islam seperti demokrasi, HAM,
pluralisme, liberalisme, dsb; atau hadiah agar ide-ide tidak islami seperti itu
dibiarkan.
Masih ada
beberapa macam hadiah yang tidak boleh diterima.7 Hal itu bisa kita lihat dalam
penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Wallâh a‘lam wa ahkam. [Yahya
Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-Fayruz
al-Abadi, al-Qâmus al-Muhîth, III/487; Ibn Sayidih, al-Mukhashish, III/67;
Murtadha az-Zabidi, Tâj al-‘Urûs min Jawâhir al-Qâmûs, 1/8663; Ibn Manzhur,
Lisân al-‘Arab, XIII/354.
2 Al-Qâmûs
al-Fiqhî, 1/367, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.
3 Mu’jam
Lughah al-Fukahâ’, 1/493, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.
4 An-Nawawi,
Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, V/364-365, al-Maktab al-Islami,
Beirut, cet. ii. 1405
5 Al-Bukhari,
al-Adab al-Mufrad; al-Baihaqi, Syu’ab al-خmân,
Abu Ya’la, Musnad Abiy Ya’lâ. Al-Hafizh
Ibn Hajar berkata: isnadnya hasan.
6 Lihat QS.
Mumtahanah [6]: 8-9
7 Tentang
undian lihat al-Wa’ie no. 38.