Berlaku Adil
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/berlaku-adil.html
Oleh : Ustadz M. Taufik Nusa
Salah satu sikap yang dekat dengan taqwa adalah sikap
adil.
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُواۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. (al Maidah : 8)[i]
Adil terlaksana jika memenuhi dua hal:
1) memposisikan siapa saja sejajar dihadapan hukum, baik orang tersebut
dicintai atau dibencinya.
2) hukum yang dipakai adalah hukum Allah Ta’ala.
Ketika menjelaskan ayat al Ma’idah ayat 2[1], Imam Ibn Katsir menyatakan:
لَا يَحْمِلَنَّكُمْ بُغْضُ قَوْمٍ قَدْ كَانُوا صَدُّوكُمْ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَذَلِكَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ، عَلَى أَنْ تَعْتَدُوا [فِي] حُكْمِ اللَّهِ فِيكُمْ، فَتَقْتَصُّوا مِنْهُمْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، بَلِ احْكُمُوا بِمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ بِهِ مِنَ الْعَدْلِ فِي كُلِّ أَحَدٍ
“Jangan
sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah
menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada
tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap
mereka. Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan
permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah
kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapa pun.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/12. Maktabah Syamilah)
Menentang Hukum Syari’ah: Tidak Adil
Adil bukanlah semata-mata memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang,
namun adil adalah ketika menjalankan hukum Allah kepada setiap orang.
Seseorang tidak bisa disebut adil kalau dia tenggelam dalam kubangan dosa-dosa
besar: biasa meninggalkan sholat wajib, bergelimang riba, zina, mendzolimi hak
orang lain, menebar fitnah, dll, atau terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil,
orang seperti ini dalam Islam disebut fâsiq.
Seorang hakim/qodhi tidak bisa disebut adil jika dia memutuskan perkara dengan
menggunakan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala, misalnya
memutuskan pembagian harta waris secara merata kepada seluruh ahli waris,
karena hukum Allah telah menentukan bagian masing-masing, tidak disamakan
antara ahli waris.
Seorang penguasa juga tidak bisa disebut adil, walaupun dia memutuskan dengan
hukum Allah di satu sisi, namun di sisi lain melanggar proses hukum yang telah
Syara’ tentukan, seperti menyelesaikan sengketa diantara manusia tanpa proses
pengadilan, hanya lewat konferensi pers, atau keputusan sepihak, tanpa
pembuktian dan atau sumpah dari pihak yang bersengketa. Rasulullah menyatakan:
قَضَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ اَلْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيِ اَلْحَاكِمِ
“Rasulullah
saw menetapkan bahwa dua pihak yang berselisih keduanya duduk didepan hakim”
(HR. Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, dishahihkan oleh al Hâkim)
Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah membeli seekor kuda dari
seseorang, kemudian beliau mengendarai kuda tersebut, namun tidak berapa lama
kemudian kuda itu cacat. Umar bermaksud mengembalikan kuda tersebut ke pemiliknya,
namun pemiliknya menolak.
Maka Umar berkata:
اجعل بيني وبينك حكما
“pilihlah
orang yang akan memutuskan antara aku dan engkau”
Penjual menjawab:
شريحٌ العراقي
“(aku
ingin) Syuraih al Iraqy (menjadi hakim bagi kita berdua).”
Maka mereka berdua mendatangi Syuraih untuk memutuskan masalah mereka. Setelah
mendengar alasan kedua belah pihak, Syuraih memutuskan:
يا اميرَ المؤمنين، خُذْ ما ابتعتَ، او رُدَّ كما اخذت
“Wahai
Amirul Mukminin, ambillah (kuda) yang telah Anda beli, atau kembalikan (kuda
tersebut) dalam keadaan seperti tatkala Anda membelinya.”
Umar berkata:
وهل القضاء الا هكذا؟
“Hanya
beginikah pengadilan ini?”, yakni sederhana saja penyelesaiannya, tidak
bertele-tele. Umar lalu mengangkat Syuraikh menjadi Qadhi di Kufah dan beliau
menjabat Qadhi di sana selama 60 tahun.” (Dr. M Husain Haikal, Al Faruq ‘Umar,
hal 204).
Bayangkan, Umar saat itu adalah khalifah, menguasai negara yang membentang luas
meliputi 7 negara di jazirah Arab, lalu Mesir, Suriah, Palestina, Iraq, Iran,
dll, namun tidak semena-mena, beliau mengikuti proses pengadilan walaupun hanya
dalam urusan seekor kuda.
Hilangnya Sikap Adil: Penyebab Kehancuran
Ibn Katsir mengutip pernyatan sebagian ulama salaf:
مَا عَامَلْتَ مَنْ عَصَى اللَّهَ فِيكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيعَ اللَّهَ فِيهِ وَالْعَدْلُ بِهِ، قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ.
“Selama
kamu memperlakukan orang yang durhaka kepada Allah terhadap dirimu dengan
perlakuan yang berlandaskan ketaatan kepada Allah, dan selalu berlaku adil
dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi akan tetap tegak.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/12. Maktabah Syamilah)
Bagaimana cara memperlakukan orang yang durhaka berlandaskan ketaatan kepada
Allah? Tidak lain adalah dengan menerapkan hukum Allah kepada mereka, bukan
hukum lain, tanpa pandang bulu.
Rasulullah pernah bersabda:
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sesungguhnya
hancurnya manusia sebelum kalian (adalah) karena apabila ada yang mencuri dari
kalangan bangsawan mereka, mereka membiarkannya, dan apabila yang mencuri dari
kalangan lemah, mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi dzat yang
diri Muhammad di tangan-Nya seandainya Fathimah anaknya Muhammad mencuri pasti
aku potong tangannya. (HR. al Bukhari).
Tidak menerapkan hukum Allah, atau menerapkan hukum Allah namun memilih-milih
hukumnya, atau memilih-milih kepada siapa hukum itu diberlakukan dan kepada
siapa hukum itu tidak dijalankan, adalah sikap tidak adil, yang akan berujung
pada kehancuran. Allaahu A’lam. [MTaufikNT]
Catatan kaki:
[1] وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
“Dan
jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya
(kepada mereka)” (Al Maidah : 2)
[i] [الْمَائِدَةِ:
8] أَيْ: لَا يَحْمِلَنَّكُمْ بُغْضِ أَقْوَامٍ عَلَى تَرْكِ الْعَدْلِ، فَإِنَّ الْعَدْلَ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ، فِي كُلِّ أَحَدٍ فِي كُلِّ حَالٍ.