Bagaimana Memahami Hadits “Tidak Ada yang Bisa Menolak Qadha’ Kecuali Doa”
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/bagaimana-memahami-hadits-tidak-ada.html
Soal:
Dinyatakan di
buku at-Tafkîr al-Islâmî, yang merupakan salah satu buku mutabanat kita,
bahwa doa tidak menolak qadar, tidak mengubah qadha’ dan tidak pula mengubah
ilmu Allah SWT. …). Sementara ada nas-nas dari al-Quran dan as-Sunnah yang
tampak bagi saya bahwa itu berbeda dengan pemahaman ini. Dinyatakan dari Rasul
saw. Sabda beliau:
«لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang
menolak qadha’ kecuali doa”.
Dan ada banyak
hadits-hadits lainnya dengan makna ini. Hadits-hadits ini menetapkan bahwa doa
bisa mengubah al-qadar (takdir) … Lalu bagaimana memperlakukan kontradiksi
antara apa yang dinyatakan di dalam buku tersebut dengan nas-nas ini? Semoga
Allah SWT. memberi Anda balasan yang lebih baik.
Jawab:
Tampaknya Anda
menunjuk kepada apa yang ada di buku al-Fikru al-Islâmiy, bukan at-Tafkîr
al-Islâmiy seperti yang dinyatakan secara keliru di pertanyaan. Kekeliruan
lainnya di dalam pertanyaan adalah ucapan Anda, “dan itu merupakan salah satu
buku mutabanat kita”, sebab buku itu bukan mutabanat. Disebutkan di milaf idari
pada bab “buku-buku bukan mutabanat yang dikeluarkan oleh Hizb baik disebutkan
nama amir atau disebutkan nama anggota lainnya karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu, dan buku itu tidak dikaji di dalam halqah”, kemudian disebutkan buku
ini: al-Fikru al-Islâmiy … Di atas semua itu, seperti yang saya sebutkan
sebelumnya, tampaknya Anda menunjuk kepada apa yang ada di buku tersebut:
“tetapi wajib menjadi jelas bahwa doa tidak mengubah apa yang ada di dalam ilmu
Allah, tidak menolak qadha’, tidak mencabut qadar (takdir) dan tidak mengadakan
sesuatu tidak menurut sebabnya. Sebab ilmu Allah pasti terjadi. Qadha’ Allah
pasti berlangsung. Sebab seandainya doa itu bisa menolak qadha’ Allah niscaya
itu bukan merupakan qadha’. Dan al-qadar (takdir) diadakan oleh Allah dan tidak
bisa dicabut oleh doa…”. Sedangkan Anda mengatakan bahwa ini kontradiksi dengan
apa yang ada di dalam hadits:
«إِنَّ الدُّعَاءَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ»
“Sesungguhnya
doa itu menolak qadha”.
Atau hadits:
«لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang
menolak al-qadar (takdir) kecuali doa”.
Dan Anda
bertanya, bagaimana memperlakukan kontradiksi ini?
Sebelum saya
menjawab Anda, saya sebutkan beberapa perkara yang berkaitan sebagai
pendahuluan untuk jawaban:
1- Posisi
doa di dalam Islam dan jawaban terhadap doa dengan izin Allah… Terdapat
ayat-ayat dan hadits-hadits seputar topik ini, di antaranya:
Firman Allah
SWT.:
﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ﴾
“Dan Tuhanmu
berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (TQS Ghafir
[40]: 60).
Al-Hakim telah
mengeluarkan di al-Mustadrak dari Abu Hurairah ra, ia berkata:
Rasulullah saw bersabda:
«لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الدُّعَاءِ»
“Tidak ada
sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari doa”.
Imam Ahmad
telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari Abu Sa’id bahwa Nabi saw.
bersabda:
«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّل لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ»
“Tidaklah
seorang Muslim berdoa dengan doa yang di dalamnya tidak ada dosa dan pemutusan
hubungan kekerabatan kecuali Allah memberikannya satu dari tiga hal: disegerakan
untuknya doanya, disimpan untuknya di akhirat, atau dia dialihkan dari
keburukan semisalnya”. Mereka berkata: “kalau begitu kami memperbanyak doa”.
Nabi saw bersabda: “Allah lebih banyak lagi membalas”.
Al-Hakim juga
mengeluarkannya dari Abu Sa’id ra..
Dalil-dalil ini
menjelaskan bahwa Allah SWT. menyukai hamba-Nya yang mukmin untuk berdoa
meminta kepada-Nya dan memperbanyak doa. Juga bahwa ada jawaban untuk doa
dengan satu dari tigal hal seperti yang ada di Musnad Ahmad … Jawaban
itu dicatat di Lauh al-Mahfuzh. Tidak terjadi sesuatupun kecuali telah dicatat
sejak azali, seperti yang dijelaskan di dalam dalil-dalil al-qadar di bawah.
2- Jika ada
dalil qath’iy atas suatu masalah yang memberikan hukum tertentu dan ada dalil zhanniy yang sanadnya shahih atas masalah yang sama yang
memberi hukum lain yang di dalamnya terdapat syubhat kontradiksi dengan dalil
qath’iy, maka dalam kondisi ini dilakukan al-jam’u bayna ad-dalîlayn
(mempertemukan atau mengkompromikan di antara dua dalil), sebab mengamalkan dua
dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya (I’mâlu ad-dalîlayn
awlâ min ihmâli ahadihima). Jika tidak mungkin dipertemukan atau
dikompromikan maka diambil dalil yang qath’iy dan dalil zhanniy ditolak secara
dirayah sebab sanadnya adalah shahih. Adapun andai sanadnya dhaif maka ditolak
karena kedhaifannya itu.
3- Di antara
dalil-dalil al-qadar:
Allah SWT.
berfirman:
﴿وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَراً مَقْدُوراً﴾
“Dan adalah
ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” (TQS al-Ahzab [33]: 38).
Makna “qadran”
di sini yakni perkara yang telah berlangsung penetapannya sejak azali. Dan
makna “ maqdûran “ yakni pasti terjadi. Jadi qadran maqdûran
yakni keputusan yang pasti, yakni pasti terjadinya.
﴿ومَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ﴾
“Tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di
langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (TQS Yunus [10]: 61).
﴿عَالِمِ الْغَيْبِ لا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأَرْضِ وَلا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرُ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِين﴾
“Tidak ada
tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di
bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar,
melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (TQS Saba’ [34]: 3).
﴿مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾
“Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (TQS al-Hadid [57]: 22).
Juga terdapat
hadits-hadits pada topik al-qadar atau tulisan di Lauh al-Mahfuzh, di
antaranya:
Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda kepadaku:
«جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا أَنْتَ لاَقٍ» رواه البخاري
“Telah kering
pena dengan apa yang pasti engkau temui” (HR
al-Bukhari).
Yakni telah
dituliskan pada azali apa yang engkau temui … Dan hadits Umar ra. dari Nabi
saw. yang di dalamnya diriwayatkan kedatangan Jibril as. dan tentang iman.
Dinyatakan di dalam hadits tersebut, Jibril as. berkata: “beritahu aku tentang
iman!”. Nabi saw. bersabda:
«أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ» رواه مسلم
“Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari
Akhir dan engkau beriman kepada al-qadar baik dan buruknya” (HR Muslim).
Yakni, engkau
beriman bahwa Allah SWT. menetapkan kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan
makhluk … Dan dari Jabir ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ» رواه الترمذي
“Tidak beriman
(dengan sempurna) seorang hamba hingga dia mengimani al-qadar baik dan
buruknya, hingga dia tahu bahwa apa yang menimpanya tidak akan meluputkannya
dan bahwa apa yang luput darinya tidak akan menimpanya” (HR at-Tirmidzi).
Dan dari Abu
al-‘Abbas Abdullah bin Abbas ra., ia berkata: “aku di belakang Nabi saw suatu
hari, lalu beliau bersabda:
«يا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتْ الأَقْلامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ» رواه الترمذي
“Nak, aku
ajarkan kepadamu beberapa kalimat: jagalah Allah niscaya Allah menjagamu.
Jagalah Allah niscaya engkau mendapati Allah di hadapanmu. Jika kamu meminta
maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu minta tolong maka mintalah tolong
kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika umat bersatu untuk memberi manfaat
kepadamu dengan sesuatu, tiadalah mereka dapat memberi manfaat kepadamu kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan andai mereka bersatu
untuk mencelakakan kamu dengan sesuatu, tiadalah mereka dapat mencelakakanmu
kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan atasmu. Pena telah diangkat
dan lembaran-lembaran itu telah kering” (HR
at-Tirmidzi).
4- Dan sekarang
kita sampai kepada dua hadits bahwa doa menolak qadha dan di dalam riwayat
lainnya, menolak al-qadar:
Al-Hakim telah
mengeluarkan di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dari Ibnu Abbas dari
Tsawban bahwa Nabi saw bersabda:
«إِنَّ الدُّعَاءَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ»
“Sesungguhnya
doa itu menolak qadha’ “.
Dan di dalam
riwayat al-Hakim yang lainnya dari Abdullah bin Abiy al-Ja’di dari Tsawban ra.,
ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang
bisa menolak al-qadar kecuali doa”.
Al-Hakim berkata:
“ini adalah hadits shahih sanadnya meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak
mengeluarkannya”.
5- Dengan
mengkaji apa yang dinyatakan tentang al-qadar, khususnya ayat-ayat yang qath’i
dalalah, dipahami dari dalil-dalil ini bahwa tidak ada
sesuatupun di muka bumi dan di langit kecuali Allah SWT. telah menetapkannya
dan mencatatnya di sisi-Nya. Jadi tidak terjadi di dalam eksistensi ini
sesuatupun kecuali telah lebih dahulu Allah menetapkannya dan mencatatnya. Apa
yang telah lebih dahulu Allah tetapkan dan Allah catat pasti terjadi dan tidak
ada ruang menghindar dari terjadinya, artinya tidak ada sesuatu pun yang
bisa menolak al-qadar dan menghalangi terjadinya.
Sementara dari
kedua hadits di atas bisa dipahami bahwa doa menolak al-qadar atau menolak
al-qadha’, makna keduanya sama. Kalau begitu, di sini ada syubhat
kontradiksi dengan dalil-dalil qath’iy yang dinyatakan tentang al-qadar. Dan
seperti yang kami sebutkan di atas, pertama-tama harus dilakukan al-jam’u
(mempertemukan) antara hadits-hadits tersebut dengan dalil-dalil qath’iy. Jika
mungkin maka itu yang dipakai, dan jika tidak mungkin maka hadits-hadits itu
ditolak secara dirayah …
6- Berdasarkan
hal itu dan dengan mendalami perkara ini, saya katakan dengan tawfik dari
Allah:
a- Hadits “lâ
yaruddu al-qadar illâ ad-du’â` -tidak ada yang menolak al-qadar kecuali
doa-“ dengan makna hakiki kata “yaruddu al-qadar -menolak al-qadar-“,
yakni menghapusnya dari Lauh al-Mahfuzh, hadits ini dengan makna ini ditolak secara
dirayah karena perkara yang telah ditetapkan atau diputuskan dicatat di Lauh
al-Mahfuzh pasti terjadi dan tidak ada ruang menghindar dari terjadinya dan
tidak akan luput, artinya al-qadar tidak bisa dihapus dari Lauh al-Mahfuzh.
Berdasarkan hal itu, hadits tersebut ditolak secara dirayah jika tidak mungkin
dipertemukan atau dikompromikan. Dan ketika itu, diambil dalil-dalil qath’iy
tentang al-qadar, yakni bahwa al-qadar pasti terjadi dan tidak bisa ditolak …
Tetapi, sebelum menolak hadits tersebut secara dirayah, wajib dikerahkan
segenap upaya dalam mempertemukan atau mengkompromikan di antara dalil-dalil
qath’iy dengan dalil-dalil zhanniy itu sebab mengamalkan dua dalil lebih utama
daripada mengabaikan salah satunya.
b- Di dalam
Ushul, jika hakikat terhalang karena adanya indikasi yang menghalangi makna
hakiki, dan di sini adalah dalil-dalil qath’iy tentang al-qadar yang telah
disebutkan di atas, maka digunakan makna majaz dan hadits tersebut dipahami
menggunakan makna majaz jika hal itu mungkin menurut bahasa. Dan ini mungkin di
sini. Kata al-qadar atau al-qadha’ di dalam hadits tersebut dengan makna secara
majaz dipahami, “apa yang menjadi akibatnya atau dampaknya”. Dengan ungkapan
lain, apa yang disebabkannya melalui hubungan sebab akibat. Jadi disebutkan
sebab padahal yang dimaksud adalah akibat. Hal itu seperti Anda katakan, “anbatat
al-ardhu matharan -bumi menumbuhkan hujan-“. Anda sebutkan sebab “matharan”
padahal yang Anda maksud adalah musabab (akibat) yakni hasilnya (tumbuhan). Di
sini disebutkan al-qadar, padahal yang dimaksud adalah makna majazi yakni
dampaknya atau apa yang dihasilkannya. Pada saatnya, penolakan itu bukan untuk
al-qadar atau al-qadha’, melainkan untuk dampaknya. Seorang Mukmin jika terjadi
padanya suatu qadar atau qadha’, misalnya sakit, kehilangan anak, hilang harta,
rugi perdagangan … dsb, maka doa bisa menolak dampak hal itu terhadapnya.
Seperti yang ada di dalam hadits al-Hasan bin Ali ra., “Rasulullah saw
mengajarkanku kalimat-kalimat yang aku ucapkan di dalam doa Qunut shalat witir:
«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ… وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ…»
“Ya Allah,
tunjukilah aku pada orang yang Engkau beri petunjuk … dan jagalah aku dari
keburukan apa yang Engkau tetapkan”.
Seorang Mukmin
jika dia berdoa kepada Allah SWT. dan memperbanyak doa agar Allah menghalangi
keburukan al-qadha’ maka Allah meringankan darinya dampak al-qadha’ itu dan
membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya, dan berikutnya hidupnya
menjadi baik meski terjadi al-qadha terhadapnya. Yakni, Allah meringankan
al-qadha’ terhadapnya dan meringankan kejadiannya seolah-olah doanya secara
majaz telah menolak al-qadha’ itu, yakni Allah SWT. membantunya untuk
menanggungnya dan bersabar atasnya … Betapa banyak orang yang tertusuk duri
lalu kekuatannya melemah dan keadaannya kacau. Sebaliknya, betapa banyak orang
yang ditimpa musibah tetapi lisannya senantiasa basah melafalkan dzikir
mengingat Allah berdoa kepada-Nya agar menjaganya dari keburukan musibah ini
dan dampaknya, lalu dia bersabar atasnya dan keadaannya pun tetap lurus,
seolah-olah doanya telah menolak musibah itu secara majazi. Begitulah,
hadits itu dipahami bahwa al-qadar pasti terjadi, tetapi doa seorang Mukmin
dengan benar dan ikhlas bisa menolak dampak al-qadar itu terhadap dirinya yakni
meringankannya dan membantunya menanggungnya dan bersabar atasnya serta
meringankan beban musibah itu terhadapnya, dan berikutnya kehidupannya menjadi
baik seolah-olah musibah itu tidak terjadi. Dan semua itu telah dicatat di Lauh
al-Mahfuzh. Allah SWT. telah menetapkannya dan mengetahuinya sejak azali …
Yakni dicatat di Lauh al-Mahfuzh bahwa itu telah ditetapkan terjadi pada hamba
ini musibah tertentu dan bahwa musibah itu pasti terjadi … dan bahwa hamba ini
berdoa kepada Allah SWT. agar melindunginya dari keburukan musibah itu dan
Allah menjawabnya serta membantunya untuk menanggung musibah itu dan bersabar
atasnya sehingga seolah-olah musibah itu tidak terjadi padanya, secara majazi.
Begitulah
hadits tersebut dipahami, seperti yang saya rajihnya, wallâh a’lam wa ahkam.
7- Untuk
pengetahuan dan menambah faedah, saya sebutkan hal berikut:
a- Dinyatakan
di buku saya at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr:
[Makna
pemenuhan doa bukanlah perubahan dalam al-qadar atau tulisan di Lauh al-Mahfuzh
atau di ilmu Allah. Yakni pemenuhan itu tidak berarti bahwa Allah tidak
mengetahui permintaan (doa) hamba-Nya dan pemenuhan Allah untuk doa itu, dan
berikutnya tidak tercatat di Lauh al-Mahfuzh, tetapi Allah mengetahuinya dan
mencatatnya sejak azali … Sesungguhnya al-qadar itu adalah ilmu Allah, yakni
pencatatan di Lauh al-Mahfuzh dan semua yang ada/terjadi telah tertulis di
dalamnya sejak azali. Jadi Allah mengetahui bahwa Fulan akan berdoa kepada-Nya.
Jika Allah telah menetapkan pemenuhannya maka ditulis bahwa Fulan akan meminta
kepada-Nya begini, begitu, dan bahwa ini akan terjadi begini dan begitu … Jadi
doa itu bukanlah pembuatan baru yang tidak ada di ilmu Allah atau tidak
tertulis di Lauh al-Mahfuzh. Demikian juga pemenuhan itu. Tetapi, semuanya yang
ada/terjadi telah dicatat di Lauh al-Mahfuzh. Jadi Allah mengetahui yang ghaib
dan mengetahui ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh hamba. Dan segala
sesuatu telah ditulis lebih dahulu sejak azali. Jadi doa dan pemenuhan doa
bukan di atas ilmu Allah, tetapi keduanya telah dicatat di Lauh al-Mahfuzh
menurut ketentuannya sebagaimana akan terjadi. Jadi Allah Mahatahu yang ghaib
dan yang tampak.
﴿لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ﴾ [سبأ/ آية 3.]
“Tidak ada
tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di
bumi” (TQS Saba’ [34]: 3).]
b- Dinyatakan
di Syarhu as-Sunnah karya Abu Muhammad al-Husain al-Baghawiy
asy-Syafi’iy (w. 516 H):
[Telah
memberitahu kami Abdul Wahid bin Ahmad al-Malihi …. Dari Abdullah bin Abi
al-Ja’di dari Tsawban, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
«لا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلا الدُّعَاءُ»…
“Tidak ada yang
bisa menolak al-qadar kecuali doa”. …
Saya katakan:
Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, “bahwa kontinunya seseorang berdoa membuat
baik baginya terjadinya al-qadha’, jadi seolah-olah doa menolaknya …”].
c- Dinyatakan
di Mirqâtu al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh karya Abu al-Hasan
Nuruddin al-Mula al-Harawi al-Qari (w. 1014 H):
[Sabda Rasul
saw:
«لا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang
menolak al-qadha’ kecuai doa”.
Al-qadha’
adalah perkara yang telah ditetapkan … atau yang dimaksudkan penolakan
al-qadha’ jika yang dimaksudkan adalah makna hakikatnya adalah memudahkannya
dan mempermudah perkara tersebut sehingga seolah-olah tidak turun …].
Saya berharap
di dalam jawaban ini ada kecukupan. Dan segala puji hanya milik Allah Rabb
semesta alam.
16 Rabiul Awal
1441 H
13 November
2019 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/ideological-questions/63893.html