Agar Lisan Kita Mulia
https://rumah-tsaqofah.blogspot.com/2020/12/agar-lisan-kita-mulia.htmlOleh: Arief B. Iskandar
Salah satu nikmat terbesar bagi setiap
manusia adalah lisannya. Tanpa lisan, manusia tak bisa berkata-kata. Sayang,
tidak semua manusia memanfaatkan lisannya untuk hal-hal yang berguna. Tak
sedikit mereka menggunakan lisannya untuk hal-hal yang sia-sia bahkan
mengandung unsur dosa; berkata-kata kotor, keji, berdusta, menggunjing,
memfitnah, bersumpah palsu, merayu wanita asing, dsb.
Padahal setiap orang yang dianugerahi
nikmat, termasuk nikmat memiliki lisan, pasti akan dimintai pertanggung
jawaban. Allah SWT berfirman: Kemudian pasti kalian akn ditanya pada hari itu
(Hari Kiamat) tentang nikmat (QS at-Takatstsur [102]: 8).
Karena itu sudah selayaknya setiap
Muslim memperhatikan, menjaga dan memelihara lisannya. Hendaklah setiap Muslim
hanya menggunakan lisannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendatangkan
pahala. Jika tidak sanggup, maka Baginda Rasulullah Saw. telah memberikan pedoman,
“Man kâna yu’minu bilLâh wa al-yawm al-akhir, qul khayran aw liyashmuth
(Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, katakanlah yang baik atau
diamlah).” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, Ibn Abbas, sebagaimana
dituturkan oleh Said bin Zubair, pernah suatu kali memegang lisannya seraya berkata,
“Qul khayran taghnam aw ushmuth taslam qabla an tandam (Hai lisan!
Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung; atau diamlah, niscaya kamu
selamat, sebelum kamu menyesal).” (Ahmad bin Hanbal, Fadhâ’il
ash-Shahâbah, II,952)
Dalam riwayat lain, sebagaimana
disebutkan oleh Said al-Jurairi, bahwa Ibn Abbas pernah berkata sambil memegang
lisannya, “Celakalah kamu! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung.
Diamlah dari berkata-kata buruk, niscaya kamu selamat.” Seseorang lalu
berkomentar, “Mengapa Anda berkata demikian?” Ibn Abbas menjawab, “Karena
saya pernah mendengar bahwa pada Hari Kiamat nanti, seorang hamba sangat
membenci lisannya (karena keburukan lisannya saat di dunia, pen.).”
(Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, I/327, Al-Bayhaqi, Syu’ab al-Imân,
7/16).
Kata-kata Ibn Abbas ini selaras dengan
sabda Baginda Rasulullah Saw., “Inna aktsara khathâyâ ibn âdam fî lisânihi
(Sesungguhnya kesalahan manusia yang paling banyak bersumber dari lisannya).”
(Ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabîr, X/197)
Karena
itulah, agar lisan kita mulia dan jauh dari kehinaan di dunia maupun di
akhirat, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama: Lisan kita
banyak digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT. Saat Muadz bin Jabbal
bertanya kepada Nabi Saw., “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Lisanmu senantiasa basah karena selalu berzikir kepada
Allah.” (Ibn al-Mubarak, Az-Zuhd wa ar-Raqa’iq, I/328)
Seorang Arab pedalaman juga pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw., “Sesungguhnya bagi saya syariah Islam itu
banyak jumlahnya. Adakah satu saja yang bisa menghimpun semuanya?” Beliau
menjawab, “Lisanmu selalu basah karena senantiasa banyak berzikir kepada Allah.”
(HR ath-Thabrani)
Kedua: lisan kita digunakan untuk banyak
memberikan nasihat kepada sesama. Sebab, sabda Nabi saw., “Ad-Dîn
an-Nashîhah (Agama adalah nasihat).” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Nabi Saw. juga bersabda, “Afdhal
ash-Shadaqah shadaqah al-lisân (Sedekah yang paling utama adalah sedekah
lisan).” (Asy-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr, I/91). Yang
dimaksud di antaranya adalah lisan yang mengandung hidayah yang bisa
menyelamatkan penuturnya dan orang lain di akhirat (Al-Munawi, Faydh
al-Qadîr, 8/102).
Ketiga: Lisan kita digunakan untuk
dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Lisan yang mengandung unsur
dakwah adalah lisan terbaik dalam pandangan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya
(yang artinya): Siapakah yang lebih baik ucapan (lisan)-nya dibandingkan dengan
orang yang berdakwah (menyeru manusia) kepada Allah, beramal shalih dan
berkata, “Sesungguhnya aku adalah bagian dari kaum Muslim.” (TQS
Fushilat [41] 33)
Demikian pula lisan yang digunakan untuk
melakukan amar makruf nahi mungkar, apalagi terhadap para penguasa zalim.
Rasulullah Saw. bersabda, “Afdhal al-jihâd kalimatu haqq[in] ‘inda sulthân
jâ’ir [in] (Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di
hadapan penguasa zalim).” (HR ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Dengan itulah, di antaranya, lisan kita
akan menjadi mulia, di dunia maupun di akhirat.
Semua hal yang berkaitan dengan lisan
ini berlaku pula untuk tulisan (seperti yang banyak dilakukan oleh banyak orang
di media sosial (Facebook, BBM, WA, Telegram, dll) akhir-akhir
ini. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Al-Kitâbah fî mahal
al-maqâlah (Tulisan itu sama kedudukannya dengan ucapan [lisan]).” Karena
itu tulisan kita pun, sebagaimana lisan kita, bisa menjadikan kita mulia atau
hina, di dunia maupun di akhirat. Semua itu bergantung pada apakah dalam lisan
dan tulisan kita terkandung unsur zikir kepada Allah SWT, nasihat, dakwah dan
amar makruf nahi mungkar ataukah tidak. Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh.[]